KUMPULAN KARYA ILMIAH ( MAKALAH DAN HASIL PENELITIAN) Untuk melengkapi berkas usulan kenaikan pangkat /jabatan
KUMPULAN KARYA ILMIAH
( MAKALAH DAN HASIL PENELITIAN)
Untuk melengkapi berkas usulan kenaikan
pangkat /jabatan :
Nama : H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
NIP: 131 567 004
Fisip unpad
2
STRATEGI PERENCANAAN
SUMBER DAYA MANUSIA YANG EFEKTIF
M a k a l a h
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2007
3
KATA PENGANTAR
Makalah ini mengangkat judul tentang “Strategi Perencanaan
Sumberdaya Manusia yang efektif”. Hal ini didasarkan pada suatu
pemikiran bahwa organisasi publik maupun bisnis saat ini
dihadapkan pada suatu perubahan kondisi lingkungan yang semakin
cepat . Keselarasan antara perencanaan sumber daya manusia (SDM)
dapat membangun kinerja organisasi yang mampu mengadaptasi
dengan perubahan tadi.
Untuk merancang dan mengembangkan perencanaan sumber
daya manusia yang efektif bukanlah pekerjaan yang mudah, dia
membutuhkan suatu pemikiran, pertimbangan jangka pendek maupun
jangka panjang. Tiga tahap perencanaan yang saling terkait, seperti
strategic planning yang bertujuan untuk mempertahankan
kelangsungan organisasi dalam lingkungan persaingan. Kedua,
operational planning, yang menunjukkan demand terhadap SDM, dan
ketiga, human resources planning, yang digunakan untuk memprediksi
kualitas dan kuantitas kebutuhan sumber daya manusia dalam jangka
pendek dan jangka panjang yang menggabungkan program
pengembangan dan kebijaksanaan SDM.
Dalam pelaksanaannya, perencanaan sumber daya manusia
harus disesuaikan dengan strategi tertentu. Hal ini dimaksudkan
untuk meminimalisikan adanya kesenjangan agar tujuan dengan
kenyataan dan sekaligus menfasilitasi keefektifan organisasi dapat
dicapai. Perencanaan sumber daya manusia harus diintegrasikan
dengan tujuan perencanaan jangka pendek dan jangka panjang
organisasi. Hal ini diperlukan agar organisasi bisa terus survive dan
dapat berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan yang sangat
cepat dan dinamis .
Dengan selesainya makalah ini ,kami ucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam
penulisan makalah ini. Semoga bermamfaat.
Bandung, Pebruari 2007
Penulis
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................... ii
1. Pendahuluan .................................................................. 1
2. Berbagai Pengertian dan Strategi Perencanaan SDM ....... 3
3. Manfaat Pengembangan SDM di Masa Depan ................. 6
4. Tahapan Perencanaan SDM .................................................. 8
5. Kesenjangan dalam Perencanaan Sumber daya Manusia ... 9
6. Implementasi Perencanaan SDM........................................ 11
7. Penutup ............................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................. 16
5
STRATEGI PERENCANAAN
SUMBER DAYA MANUSIA YANG EFEKTIF
1. PENDAHULUAN.
Sebuah organisasi dalam mewujudkan eksistensinya dalam rangka
mencapai tujuan memerlukan perencanaan Sumber daya manusia yang efektif.
Suatu organisasi, menurut Riva’i( 2004:35) “tanpa didukung pegawai/karyawan
yang sesuai baiik segi kuantitatif,kualitatif, strategi dan operasionalnya ,maka
organisasi/perusahaan itu tidak akan mampu mempertahankan keberadaannya,
mengembangkan dan memajukan dimasa yang akan datang”.
Oleh karena itu disini diperlukan adanya langkah-langkah
manajemen guna lebih menjamin bahwa organisasi tersedia tenaga kerja
yang tepat untuk menduduki berbagai jabatan, fungsi, pekerjaan yang
sesuai dengan kebutuhan . Perencanaan sumber daya manusia (Human
Resource Planning) merupakan proses manajemen dalam menentukan
pergerakan sumber daya manusia organisasi dari posisi yang diinginkan di
masa depan, sedangkan sumber daya manusia adalah seperangkat
proses-proses dan aktivitas yang dilakukan bersama oleh manajer sumber
daya manusia dan manajer lini untuk menyelesaikan masalah organisasi
yang terkait dengan manusia.
Tujuan dari integrasi system adalah untuk menciptakan proses
prediksi demand sumber daya manusia yang muncul dari perencanaan
strategik dan operasional secara kuantitatif, dibandingkandengan prediksi
6
ketersediaan yang berasal dari program-program SDM. Oleh karena itu,
perencanaan sumber daya manusia harus disesuaikan dengan strategi
tertentu agar tujuan utama dalam memflitasi keefektifan organisasi dapat
tercapai..
Strategi bisnis di masa yang akan datang yang dipengaruhi
perubahan kondisi lingkungan menuntut manajer untuk mengembangkan
program-program yang mampu menterjemahkan current issues dan
mendukung rencana bisnis masa depan. Keselarasan antara bisnis dan
perencanaan sumber daya manusia (SDM) dapat membangun
perencanaan bisnis yang pada akhirnya menentukan kebutuhan SDM.
Beberapa faktoreksternal yang mempengaruhi aktivitas bisnis dan
perencanaan SDM, antara lain: globalisasi, kemajuan teknologi,
pertumbuhan ekonomi dan perubahan komposisi angkatan kerja.
Perubahan karakteristik angkatan kerja yang ditandai oleh berkurangnya
tingkat pertumbuhan tenaga kerja, semakin meningkatnya masa kerja bagi
golongan tua, dan peningkatan diversitas tenaga kerja membuktikan
perlunya kebutuhan perencanaan SDM. Dengan demikian, proyeksi
de3mografis terhadap angkatan kerja di masa depan akan membawa
implikasi bagi pengelolaan sumber daya manusia yang efetif.
Peramalan kebutuhan sumber daya manusiadi masa depan serta
perencanaan pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia tersebut
merupakan bagian dalam perencanaan sumber daya manusia yang
meliputi pencapaian tujuan dan implementasi program-program. Dalam
perkembangannya, perencanaan sumber, perencanaan sumber manusia
7
juga meliputi pengumpulan data yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi keefektrifan program-program yang sedang berjalan dan
memberikan informasi kepada perencanaan bagi pemenuhan kebutuhan
untuk revisi peramalan dan program pada saat diperlukan. Tujuan utama
perencanaan adalah memfasilitasi keefektifan organisasi, yang harus
diintegrasikan dengan tujuan perencanaan jangka pendek dan jangka
panjang organisasi (Jackson & Schuler, 1990). Dengan demikian,
perencanaan sumber daya manusia merupakan suatu proses
menterjemahkan strategi bisnis menjadi kebutuhan sumber daya manusia
baik kualitatif maupun kuantitatif melalui tahapan tertentu.
2. Berbagai Pengertian dan Strategi Perencanaan SDM
Mondy & Noe (1995) mendefinisikan Perencanan SDM sebagai
proses yang secara sistematis mengkaji keadaan sumberdaya manusia
untuk memastikan bahwa jumlah dan kualitas dengan ketrampilan yang
tepat, akan tersedia pada saat mereka dibutuhkan”. Kemudian Eric Vetter
dalam Jackson & Schuler (1990) dan Schuler & Walker (1990)
mendefinisikan Perencanaan sumber daya manusia (HR Planning)
sebagai; proses manajemen dalam menentukan pergerakan sumber daya
manusia organisasi dari posisinya saat ini menuju posisi yang diinginkan di
masa depan. Dari konsep tersebut, perncanaan sumber daya manusia
dipandang sebagai proses linear, dengan menggunakan data dan proses
masa lalu (short-term) sebagai pedoman perencanaan di masa depan
(long-term).
8
Dari beberapa pengertian tadi ,maka perencanaan SDM adalah
serangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sistematis dan
strategis yang berkaitan dengan peramalan kebutuhan tenaga
kerja/pegawai dimasa yang akan datang dalam suatu organisasi
(publik,bisnis ) dengan menggunakan sumber informasi yang tepat guna
penyediaan tenaga kerja dalam jumlah dan kualitas sesuai yang
dibutuhkan.
Adapun dalam perencanaan tersebut memerlukan suatu strategi
yang didalamnya terdapat seperangkat proses-proses dan aktivitas yang
dilakukan bersama oleh manajer sumber daya manusia pada setiap level
manajemen untuk menyelesaikan masalah organisasi guna meningkatkan
kinerja organisasi saat ini dan masa depan serta menghasilkan
keunggulan bersaing berkelanjutan. Dengan demikian, tujuan perencanaan
sumber daya manusia adalah memastikan bahwa orang yang tepat berada
pada tempat dan waktu yang tepat,sehingga hal tersebut harus disesuaikan
dengan rencana organisasi secara menyeluruh.
Untuk merancang dan mengembangkan perencanaan sumber daya
manusia yang efektif menurut Manzini (1996) untuk, terdapat tiga tipe
perencanaan yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan sistem
perencanaan tunggal.
Pertama, strategic planning yang bertujuan untuk mempertahankan
kelangsungan organisasi dalam lingkungan persaingan,
Kedua, operational planning, yang menunjukkandemand terhadap SDM, dan
9
Ketiga, human resources planning, yang digunakan untuk memprediksi
kualitas dan kuantitas kebutuhan sumber daya manusia dalam jangka pendek
dan jangka panjang yang menmggabungkan program pengembangan dan
kebijaksanaan SDM.
Perencanaan sumber daya manusia dengan perencanaan strategik
perlu diintegrasikan untuk memudahkan organisasi melakukan berbagai
tindakan yang diperlukan ,manakala terjadi perubahan dan tuntutan
perkembangan lingkungan organisasi yang demikian cepat . Sedangkan
tujuan pengintegrasian perencanaan sumber daya manusia adalah untuk
mengidentifikasi dan menggabubungkan faktor-faktor perencanaan yang
saling terkait, sistematrik, dan konsisten. Salah satu alasan untuk
mengintegrasikan perencanaan sumber daya manusia dengan
perencanaan strategik dan operasional adalah untuk mengidentifikasi
human resources gap antara demand dan supply, dalam rangka
menciptakan proses yang memprediksi demand sumber daya manusia
yang muncul dari perencanaan strategik dan operasional secara kuantitatif
dibandingkan dengan prediksi ketersediaan yang berasal dari programprogram
SDM.
Pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia organisasi di masa depan
ditentukan oleh kondisi faktor lingkungan dan ketidakpastian, diserta tren
pergeseran organisasi dewasa ini. Organisasi dituntut untuk semakin
mengandalkan pada speed atau kecepatan, yaitu mengupayakan yang
terbaik dan tercepat dalam memenuhi kebutuhan tuntutan/pasar (Schuler
& Walker, 1990).
10
3. Manfaat Pengembangan SDM di Masa Depan
Pimpinan yang secara teratur melakukan proses pengembangan
strategi sumber daya manusia pada organisasinya akan memperoleh
manfaat berupa distinctive capability dalam beberapa hal dibandingkan
dengan mereka yang tidak melakukan, seperti :
Yang sifatnya strategis yakni :
1. Kemampuan mendifinisikan kesempatan maupun ancaman bagi
sumber daya manusia dalam mencapai tujuan bisnis.
2. Dapat memicu pemikiran baru dalam memandang isu-isu sumber
daya manusia dengan orientasi dan mendisdik patisipan serta
menyajikan perluasan perspektif.
3. Menguji komitmen manajemen terhadap tindakan yang dilakukan
sehingga dapat menciptakan proses bagi alokasi sumber daya
program-program spesifik dan aktivitas.
4. Mengembangkan “sense of urgency” dan komitmen untuk
bertindak.
Kemudian yang sifatnya opersional ,perencanaan SDM dapat
bermamfaat untuk :
1. Meningkatkan pendayagunaan SDM guna memberi kontribusi
terbaik,
2. Menyelaraskan aktivitas SDM dengan sasaran organisasi agar
setiap pegawai/tenaga kerja dapat mengotimalkan potensi dan
ketrampilannya guna meningkatkan kinerja organisasi,
11
3. Penghematan tenaga,biaya, waktu yang diperlukan ,sehingga
dapat meningkatkan efisiensi guna kesejahteraan
pegawai/karyawan.(Nawawi, 1997: 143)
Adapun pola yang dapat digunakan dalam penyusunan strategi
sumber daya manusia organisasi di masa depan antara lain , (Schuler &
Walker, 1990) :
· Manajer lini menangani aktivitas sumber daya manusia (strategik dan
manajerial), sementara administrasi sumber daya manusia ditangani oleh
pimpinan unit teknis operasional.
· Manajer lini dan Biro kepegawaian/ sumber daya manusia saling berbagi
tanggung jawab dan kegiatan, dalam kontek manajer lini sebagai pemilik
dan sumber daya manusia sebagai konsultan.
· Departemen sumber daya manusia berperan dalam melatih manajer
dalam praktik-praktik sumber daya manusia dan meningkatkan kesadaran
para manajer berhubungan dengan HR concerns
4. Tahapan Perencanaan SDM
Menurut Jackson dan Schuler (1990), perencanaan sumber daya manusia
yang tepat membutuhkan langkah-langkah tertentu berkaitan dengan aktivitas
perencanaan sumber daya manusia menuju organisasi modern. Langkahlangkah
tersebut meliputi :
1.Pengumpulan dan analisis data untuk meramalkan permintaan
maupun persediaan sumber daya manusia yang diekspektasikan
bagi perencanaan bisnis masa depan.
2.Mengembangkan tujuan perencanaan sumber daya manusia
12
3.Merancang dan mengimplementasikan program-program yang dapat
memudahkan organisasi untuk pencapaian tujuan perencanaan
sumber daya manusia
4.Mengawasi dan mengevaluasi program-program yang berjalan.
Keempat tahap tersebut dapat diimplementasikan pada pencapaian
tujuan jangka pendek (kurang dari satu tahun), menengah (dua sampai
tiga tahun), maupun jangka panjang (lebih dari tiga tahun).
Rothwell (1995) menawarkan suatu teknik perencanaan sumber
daya manusia yang meliputi tahap :
(1) investigasi baik pada lingkungan eksternal, internal, organisasional:
(2) forecasting atau peramalan atas ketersediaan supply dan demand
sumber daya manusia saat ini dan masa depan;
(3) perencanaan bagi rekrumen, pelatihan, promosi, dan lain-lain;
(4) utilasi, yang ditujukan bagi manpower dan kemudian memberikan
feedback bagi proses awal. Sementara itu, pendekatan yang digunakan
dalam merencanakan sumber daya manusia adalah dengan actiondriven
,yang memudahkan organisasi untuk menfokuskan bagian
tertentu dengan lebih akurat atau skill-need, daripada melakukan
perhitungan numerik dwengan angka yang besar untuk seluruh bagian
organisasi.
Perencanaan sumber daya manusia umumnya dipandang sebagai
bciri penting dari tipe ideal model MSDM meski pada praktiknya tidak
selalu harus dijadikan prioritas utama. Perencanaan sumber daya manusia
merupakan kondisi penting dari “integrasi bisnis” dan “strategik,”
implikasinya menjadi tidak sama dengan “manpower planning” meski
13
tekniknya mencakup hal yang sama. Manpower planning menggambarkan
pendekatan tradisional dalam upaya forecasting apakah ada
ketidaksesuaian antara supply dan demand tenaga kerja, serta
merencanakan penyesuaian kebijakan yang paling tepat. Integrasi antara
aspek-aspek perencanaan sumber daya manusia terhadap pengembangan
bisnis sebaiknya memastikan bahwa kebutuhan perencanaan sumber daya
manusia harus dilihat sebagai suatu tanggung jawab lini.
5. Kesenjangan dalam Perencanaan Sumber daya Manusia
Dalam perencanaan SDM tidaklah semudah apa yang
dibayangkan, kendati telah ada perhitungan dan pertimbangan
berdasarkan kecenderungan dan data yang tersedia, tapi kemelencengan
bisa saja terjadi. Hal ini wajar karena selain adanya dinamika organisasi
juga adanya perubahan faktor lingkungan , kebijakan yang tidak
diantisipasisi sebelumnya. Proses perencanaan sering tidak berjalan
sebagaimana mestinya, karena kebijakan perencanaan tidak dibuat secara
detil, sehingga terjadi kesenjangan antara kebijakan sebelumnya dengan
aspek teknis operasional secara empiris . Persoalan yang dihadapi dalam
perencanaan sumber daya manusia dalam pengembangan dan
implementasinya dari strategi sumber daya manusia dapat dikelompokkan
ke dalam empat permasalah (Rothwell, 1995) :
Pertama, perencanaan menjadi suatu problema yang dirasa tidak
bermanfaat karena adanya perubahan pada lingkungan eksternal
14
organisasi, meskipun nampak adanya peningkatan kebutuhan bagi
perencanaan.
Kedua, realitas dan bergesernya kaleidoskop prioritas kebijakan dan
strategi yang ditentukan oleh keterlibatan interes group yang memiliki
power.
Ketiga, kelompok faktor-faktor yang berkaitan dengan sifat manajemen
dan ketrampilan serta kemampuan manajer yang memiliki preferensi bagi
adatasi pragmatik di luar konseptualisasi, dan rasa ketidakpercayaan
terhadap teori atau perencanaan, yang dapat disebabkan oleh kurangnya
data, kurangnya pengertian manajemen lini, dan kurangnya rencana
korporasi.
Keempat, pendekatan teoritik konseptual yang dilakukan dalam pengujian
kematangan perencanaan sumber daya manusia sangat idealistik dan
preskriptif, di sisi lain tidak memenuhi realita organisasi dan cara manajer
mengatasi masalah-masalah spesifik.
Permasalahan tersebut merupakan sebuah resiko yang perlu
adanya antisipasi dengan menerapkan aspek fleksibilitas ,manakala terjadi
kesenjangan di lapangan. Namun sedapat mungkin manajer telah
menyiapkan langkah-langkah antisipasi secara cermat setiap
perkembangan yang terjadi , karena pada dasarnya sebuah bangunan
perencanaan SDM tidak harus dibongkar secara mendasar , jika ada
kekurangan dan kelemahan ,tentu ada upaya mengatasi jalan keluar yang
terbaik. Oleh karena itu diperlukan analisis terhadap perencanaan yang
dibuat dengan menreapkan analisi SWOT.
15
6. Implementasi Perencanaan SDM
Pemilihan teknik merupakan starting point dalam melaksanakan
berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gaya manajeral, nilai dan
budaya secara keseluruhan. Beberapa teknik perencanaan sumber daya
manusia (Nursanti, 2002 : 61) dapat diimplementasikan dalam proses
rekrutmen dan perencanaan karir.
a. Rekrutmen
Identifikasi kemungkinan ketidakcocokan antara supply dan demand
serta penyesuaian melalui rekrutmen, sebelumnya dilihat sebagai alasan
perencanaan manpower tradisional. Oleh karena itu diperlukan pendekatan
baru yang mempertimbangkan kombinasi kompetensi karyawan melalui
pengetahuan, keterampilan dan sikap dan pengalaman yang dimiliki.
Perencanaan MSDM dapat dijadikan petunjuk dan memberikan wawasan
masa yang akan datang bagi orang-orang yang diperlukan untuk
m,enyampaikan produk-produk inovatif atau pelayanan berkualitas yang
difokuskan melalui strategi bisnis dalam proses rekrutmen.
b. Perencanaan Karir
Hal ini membutuhkan pengertian proses-proses yang diintegrasikan
pada karekteristik individual dan preferensi dengan implikasinya pada :
budaya organisasi, nilai dan gaya, strategi bisnis dan panduan, struktur
organisasi dan perubahan, sistem reward, penelitian dan sistem
pengembangan, serat penilaian dan sistem promosi. Beberapa organisasi
dewasa ini menekankan pada tanggung jawab individual bagi
16
pengembangan karir masing-masing. Sistem mentoring formal maupun
informal diperkenalkan untuk membantu pencapaian pengembangan karir.
Seberapa jauh fleksibelitas dan efisiensi organisasi ditentukan oleh
kebijakan pemerintah, baik fiskal maupun pasar tenaga kerja.
c. Evaluasi Perencanaan SDM
Perencana sumber daya manusia dapat digunakan sebagai indikator
kesesuaian antara supply dan demand bagi sejumlah orang-orang yang
ada dalam organisasi dengan keterampilan yang sesuai : perencanaan
sumber daya manusia juga berguna sebagai “early warning” organisasi
terhadap implikasi strategi bisnis bagi pengembangan sumber daya
manusia dengan melakukan audit terhadap SDM. Teknik-teknik yang dapat
digunakan dalam evaluasi perencanaan sumber daya manusia meliputi :
a. Audit sederhana terhadap sasaran apaqkah memenuhi tujuan,
kekosongan terisi, biaya berkurang, dan sebagainya. Sedangkan
tingkat audit tergantung pada tujuan organisasi dan seberapa jauh
analisis terhadap keberhasilan maupunb penyimpangan dapat
dilakukan.
b. Evaluasi sebagai bagian dari tinjauan prosedur organisasi lain sesuai
standar penggunaan :
a. Prosedur total kualitas; perlu bagi kebutu8han pengawasan dan
dapat menggambarkan atensi bagi ketidakcukupan SDM
17
b. Prosedur investasi manusia; perlu pengawasan bagi hasil pelatihan
terhadap analisis kebutuhan pelatihan bagi seluruh karyawan
berbasis kontinyuitas.
c. Pendekatan analitis bagi utilisasi sumber daya manusia dan
pengawasan hasil
c. Evaluasi sebagai bagian dari audit komunikasi generalv atau survai
sikap karyawan
d. Dimasukkannya hal-hal berikut sebagai bagian audit yang lebih luas
atau tinjauan fungsi SDM :
· Nilai tambah yang diperoleh organisasi, misalnya dalam
mengembangkan manusia atau pengurangan perpindahan tenaga
kerja.
· Dalam pemenuhan target departemen sumber daya manusia atau
penetapan fungsi
· Dalam pengwasan pencapaian “equal opportunity target” dalam hal
gender atau ras
· Sebagai bagian bentuk internal atau eksternal bench-marking
komporasi dari perencanaan sumber daya manusia yang digunakan
dan outcomes dalam bagian lain di organisasi yang sama
e. Melakukan review atas penilaian individu.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa tujuan perencanaan
sumber daya manusia adalh memastikan bahwa orang yang tepat berada
pada tempat dan waktu yang tepat, sehingga hal tersebut harus
18
disesuaikan dengan rencana organisasi secara menyeluruh. Salah satu
hasil evaluasi penerapan program jangkan panjang dapat ditujukan bagi
perencanaan program suksesi.
7 . Penutup.
Berdasarkan uraian sebelumnya, pada bab ini penulis
mengemukakan beberapa kesimpulan :
1. Perencanaan sumber daya manusia (Human Resource Planning)
merupakan salah satu fungsi dalam Manajemen Sumberdaya manusia
yang mengorientasi pada bagaimana menyusun langkah-langkah
strategi menyiapkan sumberdaya manusia (pegawai/karyawan) dalam
suatu organisasi secara tepat dalam jumlah dan kualitas yang
diperlukan .Perencanaan SDM sebagai; proses manajemen dalam
menentukan pergerakan sumber daya manusia organisasi dari
posisinya saat ini menuju posisi yang diinginkan di masa depan dengan
menggunakan data sebagai pedoman perencanaan di masa depan .
2. Perencanaan sumber daya manusia awal difokuskan pada perencanaan
kebutuhan sumber daya manusia di masa depan serta cara pencapaian
tujuannya dan implementasi program-program, yang kemudian
berkembang, termasuk dalam hal pengumpulan data untuk
mengevaluasi keefektifan program yang sedang berjalan dan
memberikan informasi kepada perencana bagi pemenuhan kebutuhan
untuk revisi peramalan dan program daat diperlukan.
3. Dalam pelaksanaannya, perencanaan sumber daya manusia harus
disesuaikan dengan strategi tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk
19
meminimalisikan adanya kesenjangan agar tujuan dengan kenyataan
dan sekaligus menfasilitasi keefektifan organisasi dapat dicapai.
Perencanaan sumber daya manusia harus diintegrasikan dengan
tujuan perencanaan jangka pendek dan jangka panjang organisasi. Hal
ini diperlukan agar organisasi bisa terus survive dan dapat berkembang
sesuai dengan tuntutan perubahan yang sangat cepat dan dinamis .
20
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, S.E., & Schuler, R.S. 1990. Human Resource Planning:
Challenges for Industrial/Organization Psychologists. New York,
West Publishing Company .
Mondy ,R.W & Noe III,RM,1995,Human Resource Management,
Massahusetts, Allyn & Bacon
Nawawi, Hadari, 2001, Manajemen Sumberdaya Manusia, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press.
Nursanti, T.Desy, 2002, Strategi Teintegrasi Dalam Perencanaan SDM ,
dalam Usmara, A (ed), Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya
Manusia, Yogyakarta, Amara books.
Purnama, N. 2000. Membangun Keunggulan Bersaing Melalui Integrasi
Perencanaan Strategik dan Perendanaan SDM. Jakarta,
Usahawan, 7(29):3-8
Riva’i, Veithzal, 2004, Manajemen Sumberdaya Manusia untuk
Perusahaan : dari teori ke praktek, Jakarta ,RadjaGrapindo Persada.
Rothwell, S. 1995. Human Resource Planning. In J. Storey (ED). Human
Resource Management: A Critical Text . London: Routledge
Schuler. R.S., & Walker, J.W. 1990. Human Resource Strategy: Focusing
on Issues and Actions. Organizational Dynamics, New York, West
Publishing Company .
21
PERANAN KOMPETENSI DALAM
PENGEMBANGAN
MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERISTAS PADJADJARAN
2006
22
KATA PENGANTAR
Makalah dengan mengmbil judul tentang “Peranan
Kompetensi Dalam Pengembangan Manajemen SDM” didasarkan
pada suatu pemikiran bahwa permasalahan kompetensi merupakan
wacana yang tengah berkembang, ketika organisasi dihadapkan
pada berbagai tantangan dan persaingan yang semakin tajam.
Organisasi di negara maju telah menunjukkan keberhasilan dengan
menggunakan praktek pengelolaan SDM yang efektif melalui cara
peningkatan keterampilan dan keahlian SDM .
Dengan semakin tingginya tingkat kompetisi antar
organisasi/perusahaan ,maka tidak ada pilihan lain bagi setiap
manajer kecuali bagaimana organisasi mampu menghasilkan produk
yang berkualitas dan kompetif di pasaran. Dalam organisasi publik
lebih pada bagaimana memberi pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat ,sehingga organisasi tersebut tetap memiliki reputasi dan
citra yang baik dimata masyarakat.
Karakteristik yang diperlukan dalam Organisasi publik
dewasa ini adalah kompetensi di orietasikan pada aspek
entrepreneurship,sensitivitas dan responsivitas , mempunyai
wawasan pengetahuan ( knowledge) , ketrampilan (skill) dan sikap
perilaku (attitude) yang relevan dengan visi,misi dan budaya kerja
organisasi. Karakteristik kompetensi tersebut amat membantu
keberhasilan organisasi dalam membawa misinya dengan
memperhatikan keterkaitan dengan seleksi, perencanaan suksesi.
Namun demikian, peranan kompetensi bagi organisasi tidak akan
mampu memacu produktivitas yang tinggi tanpa dibarengi sistem
penghargaan dan evaluasi kinerja yang terukur.
Dalam penulisan makalah ini tentu
masih ada kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan. Semoga.
Bandung, Desember 2006
Penulis
23
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................ ii
1. Pendahuluan....................................................................... 1
2. Konsep Kompetensi dalam perspektif historis .............. 2
3. Pengertian dan karakteristik Kompetensi ........................ 4
4. Model Kompetensi dalam Manajemen SDM ..................... 7
5. Beberapa Kompetensi yg dibutuhkan untuk Masa Depan.. 11
6.Penutup ............................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 18
24
PERANAN KOMPETENSI DALAM PENGEMBANGAN
MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
1. Pendahuluan.
Permasalahan kompetensi dalam kaitannya dengan pengembangan
SDM merupakan wacana yang tengah berkembang, ketika organisasi
dihadapkan pada berbagai tantangan dan persaingan yang semakin tajam.
Organisasi di negara maju telah menunjukkan keberhasilan dengan
menggunakan praktek pengelolaan SDM yang efektif melalui cara
peningkatan keterampilan dan keahlian SDM .
Dalam pengelolaan SDM suatu organisasi di era kompetisi ini
memberi kesadaran bahwa dunia kerja masa kini dan yang akan datang
telah mengalami perubahan. Peran SDM dalam organisasi mempunyai arti
yang sama pentingnya dengan pekerjaan itu sendiri, sehingga interaksi
antara organisasi dan SDM menjadi fokus perhatian para pimpinan di
berbagai tingkatan manajemen dan berbagai organisasi baik publik
maupun bisnis. Karenanya penting untuk mengadopsi dan
mensosialisasikan nilai-nilai (values) baru yang sesuai dengan tuntutan
lingkungan organisasi kepada semua unsur dalam organisasi. Ancok
dalam Usmara (2002, 139) menyebutkan pergeseran pandangan tentang
SDM sebagai refleksi dari adanya revitalisasi peran SDM dalam kegiatan
organisasi yang memandang “manusia tidak lagi dianggap sebagai biaya
tetapi dianggap sebagai aset (modal), Karyawan tidak lagi difokuskan
untuk ‘berkompetensi’ pada kemajuan diri sendiri, tetapi lebih pada
kerjasama untuk kepentingan bersama”. Inilah konsekwensi dari
25
pergeseran pardigma manajemen sebagaimana dikatakan Alfin Tofler
memasuki ke gelombang ke tiga (third wave) dalam manajemen (termasuk
dalam manajemen SDM).
2. Konsep Kompetensi dalam perspektif historis
Perkembangan kompetensi sebagai konsep maupun praktek dalam
manajemen tidak dapat dipisahkan dengan sejarah perkembangan
Manajemen Sumberdaya Manusia itu sendiri. Timbulnya teori motivasi
pada dekade empat puluhan dengan Maslow sebagai pelopornya
merupakan bukti konkrit bahwa penekanan pentingnya sumberdaya
manusia sebagai aset,potensi yang memiliki pengaruh besar terhadap
kemajuan organisasi di sektor bisnis maupun publik. Salah satu kebutuhan
yang diperlukan perusahaan/organisasi adalah menyangkut kompetensi
SDM. Hal ini mengingat kini organisasi menghadapi berbagai kemajuan di
bidang informasi dan teknilogi sehingga diperlukan orang yang memiliki
keahlian tertentu.
Istilah “kompetensi” sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Menurut
Organisasi Industri Psikologi Amerika (Mitrani, Palziel, and Fitt, 1992)
gerakan tentang kompetensi telah dimulai pada tahun 1960 dan awal 1970.
Menurut gerakan tersebut banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa
hasil test sikap dan pengetahuan, prestasi belajar di sekolah dan diploma
tidak dapat memprediksi kinerja atau keberhasilan dalam kehidupan.
Unsur tersebut sering menimbulkan bias terhadap minoritas, wanita dan
orang yang berasal dari strata sosio ekonomi yang rendah.
26
Temuan tersebut telah mendorong dilakukan penelitian terhadap
variabel kompetensi yang diduga memprediksi kinerja individu dan tidak
bias dikarenakan faktor rasial, jender dan sosio ekonomi. Oleh sebab itu
beberapa prinsip yang perlu diperhatikan adalah :
· Membandingkan individu yang secara jelas berhasil di dalam
pekerjaannya dengan individu yang tidak berhasil. Melalui cara ini
perlu diidentifikasikan karakteristik yang berkaitan dengan
keberhasilan tersebut.
· Mengidentifikasikan pola perilaku individu yang berhasil. Pengukuran
kompetensi harus menyangkut reaksi individu terhadap situasi yang
terbuka ketimbang menggantungkan kepada pengukuran responden
seperti test “multiple choice” (pilihan ganda) yang meminta individu
mem8ilih alternatif jawaban. Prediktor yang terbaik atas apa yang
dapat dilakukan oleh seseorang adalah mengetahui apa yang
dipikirkan individu secara spontan dalam situasi yang tudak terstrutur.
(Mitrani, Palziel, and Fitt, 1992)
Pertanyaan yang harus di jawab atas permasalahan tersebut
adalah jika cara klasik menggunakan pengukuran sikap tidak
memprediksi kinerja. Menurut David Mc. Clellands dalam (Mitrani, Palziel,
and Fitt, 1992), yang harus dilakukan adalah:
Pertama, mencari individu yang memiliki kinerja yang tinggi, dan
membandingkannya dengan individu yang berkinerja rendah.
Kedua, mengembangkan teknik Behavioral Event Interview (BEI)
yang menggabungkan teknik seleksi sebelumnya (critical incident
method) dalam teknik yang baru. Falnagan lebih tertarik untuk
mengindentifikasikan unsur tugas dalam pekerjaan, sementara
Mc.Clelland lebih tertarik kepada karakteristik SDM yang
27
melakukan pekerjaan dengan baik. Teknik BEI meminta individuindividu
untuk memikirkan beberapa aspek penting atas keadaan
yang berkaitan dengan pekerjaannya sehingga menimbulkan hasil
yang baik atau buruk.
Ketiga, menganalisis transkrip BEI atas informasi tentang
keberhasilan dan ketidakberhasilan para pemim[pin untuk
mengindentifikasi karakteristik yang membedakan kedua sampel
tersebut. Analisis biasanya lebih ditekankan kepada perilaku yang
menunjukkan kinerja yang tinggi ketimbang yang rata-rata.
Perbedaan kedua karakteristik tersebut diterjemahkan kedalam
tujuan dan definisi sistem skoring yang dapat dipercaya oleh
masing-masing pengamat.
Adapun esensi dari teori Mc.Clelland tentang pendekatan penilaian
kompetensi terhadap job analisys, bahwa penelitian lebih menekankan
kepada orang-orang yang melakukan pekerjaan dan berkinerja baik, dan
mendifinisikan job berdasarkan karakteristik dan perilaku orang-orang
tersebut, ketimbang menggunakan pendekatan tradisional dengan
menganalisis unsur yang ada dalam job tersebut.
3. Pengertian dan karakteristik Kompetensi
Kompetensi didefenisikan (Mitrani et.al, 1992; Spencer and
Spencer, 1993) ; “an underlying characteristics of an individual which is
related to criterion-referenced effective and or superior performance in a
job or situation (sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan
berkaitan dengan efetivitas kinerja individu dalam pekerjaannya ).
Berdasarkan difinisi tersebut bahwa kata “ underlying charateristic”
mengandung makna kompetensi adalah bagian kepribadian yang
mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat
diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Sedangkan kata
“causally related” berarti kompetensi adalah suatu yang menyebabkan
28
atau memprediksi perilaku dan kinerja. Sedangkan kata “Criterionreferenced”
mengandung makna bahwa kompetensi sebenarnya
memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik, diukur dari
kriteria atau standar yang digunakan. Misalnya, kriteria volume penjualan
yang mampu dihasilkan oleh seseorang tenaga.
Kompetensi dapat berupa penguasaan masalah, ketrampilan
kognitif maupun ketrampilan perilaku, tujuan,perangai, konsep diri, sikap
atau nilai. Setiap orang dapat diukur dengan jelas dan dapat ditunjukkan
untuk membedakan perilaku unggul atau yang berberstasi rata-rata.
Penguasaan masalah dan ketrampilan relatif mudah diajarkan, mengubah
sikap dan perilaku relatif lebih sukar. Sedangkan mengubah tujuan dapat
dilakukan tetapi prosesnya panjang,lama dan mahal.
Penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan agar dapat mengetahui
tingkat kinerja yang diharapkan untuk katagori baik atau rata-rata.
Penentuan ambang kompetensi yang dibutuhkan tentunya akan dapat
dijadikan dasar bagi proses seleksi, suksesi perencanaan, evaluasi kinerja
dan pengembangan SDM. Menurut Spencer and Spencer (1993), Mitrani
et. Al, (1992), terdapat 5 (lima) karakteristik kompetensi, yaitu :
· “Knowledge” adalah informasi yang memiliki seseorang untuk bidang
tertentu. Pengetahuan (knowledge) merupakan kompetensi yang
kompleks. Skor atas tes pengetahuan sering gagal untuk memperidiksi
kinerja SDM karena skor tersebut tidak berhasil mengukur
pengetahuan dan keahlian seperti apa seharusnya dilakukan dalam
pekerjaan. Tes pengetahuan mengukur kemampuan peserta tes untuk
memilih jawaban yang paling benar, tetapi tidak bisa melihat apakah
seseorang dapat melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya.
· “Skill” adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu
baik secara pisik maupun mental. Misalnya, seorang dokter gigi secara
29
pisik mempunyai keahlian untuk mencabut dan menambal gigi tanpa
harus merusak saraf. Selain itu kemampuan seorang programer
komputer untuk mengorganisasikan 50.000 kode dalam logika yang
sekuensial.
· Motives adalah drive, direct and`select behavior to ward certain
actions or goals and away from other Seseorang memiliki motif
berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang
memberikan tantangan pada dirinya dan bertanggungjawab penuh
untuk mencapai tujuan tersebut serta mengharapkan feed back untuk
memperbaikii dirinya.
· “Traits” adalah watak yang membuat orang untuk berperilaku atau
bagaimana seseorang merespon sesuatu dengan cara tertentu.
Misalnya percaya diri (self-confidence), kontrol diri (self-control),
steress resistance, atau hardiness (ketabahan / daya tahan)
· “Self-Concept” adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang.
Sikap dan nilai diukur melalui tes kepada responden untuk mengetahui
bagaimana value (nilai) yang dimiliki seseorang, apa yang menarik bagi
seseorang melakukan sesuatu. Seseorang yang dinilai menjadi “leader”
seyogyanya memiliki perilaku kepemimpinan sehingga perlu adanya tes
tentang leadership ability.
Dalam kaitannya dengan karakteristik ke lima kompetensi tadi,
maka dapat dikatakan adanya 3 kecenderungan yang terjadi:
Pertama , bahwa kompetensi pengetahuan (Knowledge Competencies) dan
kahlian (Skill Competencies) cenderung lebih nyata (visible) dan relatip
berada di permukaan sebagai salah satu karakteristik yang dimiliki
manusia. Oleh karenanya kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif
mudah untuk dikembangkan sehingga program pelatihan merupakan cara
yang baik untuk menjamin tingkat kemampuan SDM.
Kedua, motif kompetensi dan “trait” berada pada “personality iceberg”
sehingga cukup sulit untuk dinilai dan dikembangkan sehingga salah satu
cara yang paling efektif adalah memilih karakteristik tersebut dalam proses
seleksi.
30
Ketiga, self-concep (konsep diri), trait (watak / sifat) dan motif kompetensi
lebih tersembunyi (hidden), dalam (deeper) dan berada pada titik central
kepribadian seseorang (Spencer and Spencer, 1993). Konsep diri (selfconcept)
terletak diantara keduanya. Sedangkan sikap dan nilai (values)
seperti percaya diri “self-confidence” (seeing ones self as a “manajer”
instead of a “technical/profesional”) dapat dirubah melalui pelatihan,
psikoterapi sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan sulit.
Dengan melihat kecenderungan di atas, maka dapat memberikan
gambaran pada manajemen bagaimana upaya meningkatkan kualitas SDM
ke depan baik dalam perencanaan maupun dalam pengembangannya.
Disisi lain bahwa karakteristik tersebut memiliki hubungan satu dengan
yang lain yang saling menentukan.
4. Model Kompetensi dan Pendekatan yang Terintegrasi dalam
ManajemenSumber Daya Manusia.
Model kompetensi adalah suatu cara bagaimana memetakan suatu
sistem pemikiran yang dapat memberi gambaran terintegrasi mengenai
kompetensi kaitannya dengan strategi manajemen SDM. Dalam konteks
strategi manajemen SDM tersebut terdapat beberapa unsur terkait yakni
1. sistem rekruitmen dan seleksi, 2. Penempatan dan rencana suksesi, 3.
Pengembangan karier 4, Kompensasi . Adapun penjelasan selanjutnya
sebagai berikut :
Pertama, sistem rekruitmen dan seleksi .
31
Sistem rekrutmen yang berbasis kompetensi biasanya memusatkan
pada metode seleksi yang dapat digunakan untuk memilih sejumlah calon
dari populasi pelamar yang cyukup besar secara cepat dan efisien. Seleksi
dalam proses rekrutmen memerlukan tantangan yang khusus, seperti
menseleksi dari jumlah pelamar dalam kurun waktu yang pendek. Oleh
karena itu sistem rekrutmen yang berbasis kompetensi perlu menekankan
kepada usaha mengindetifikasikan 3 kompetensi yang memenuhi kriteria
seperti :
· Kompetensi yang telah dikembangkan dan diperlihatkan oleh pelamar
dalam suatu pekerjaan (misalnya : inisiatif)
· Kompetensi yang dapat mempridiksi prospek keberhasilan calon
pegawai jangka panjang dan kompetensi tersebut sulit dikembangkan
melalui training atau pengalaman kerja (misalnya : Motivasi
berprestasi)
· Kompetensi yang dapat dipercaya dengan menggunakan wawancara
perilaku yang singkat dan tertentu. Misalnya, jika kolaborasi tim
ladership merupakan kompetensi yang diinginkan, para pewancara
dapat meminta calon menunjukkan kompetensi tersebut.
Kedua, Penempatan dan rencana suksesi
Penetapan dan rencana suksesi berbasis kompetensi memusatkan
kepada usaha identifikasi calon yang dapat memberikan nilai tambah pada
suatu pekerjaan organisasi. Oleh karena itu, sistem seleksi dan penetapan
harus menekankan kepada identifikasi kompetensi yang paling dibutuhkan
32
bagi kepentingan suatu pekerjaan tertentu. Usaha yaqng dilakukan adalah
mengunankan sebanyak mungkin sumber informasi tentang calon sehingga
dapat ditentukan apakah calon memiliki kmpetensi yang dibutuhkan
Metode penilaian atas calon yang dapat dilakukan melalui berbagai
cara seperti wawancara perilaku (behavioral event review) tes, simulasi
lewat assesment centers, menelaah laporan evaluasi kinerja atas penilaian
atasan, teman sejawat dan bawahan, calon pegawai direkomendasikan
untuk promosi atau ditetapkan pada suatu pekerjaan berdasarkan atas
rangking dari total bobot skor berdasarkan kriteria kompetensi.
Ketiga , Pengembangan Karier
Kebutuhan kompetensi untuk pengembangan dan jalur karier akan
menentukan dasar untuk pengembangan karyawan. Karyawan yang dinilai
lemah pada aspek kompetensi tertentu dapat diarahkan untuk kegioatan
pengembangan kompetensi tertentu sehingga diharapkan dapat
memperbaiki kinerjanya. Beberapa pilihan pengembangan kompetensi
termasuk pengalaman “ássessment center”, lembaga-lembaga training,
pemberian tugas-tugas pengembangan, mentor dan sebagainya.
Proses perolehan kompetensi (competency acquisition process)
telah dikembangkan untuk meningkatkan tingkat kompetensi yang meliputi:
· Recognition; suatu simulasi atau studi kasus yang memberikan
kesempatan peserta untuk mengenali satu atau lebih kompetensi yang
dapat memprediksi individu berkinerja tinggi di dalam pekerjaannya
sehingga seseorang dapat belajar dari pengalaman simulasi tersebut.
33
· Understanding; instruksi khusus termasuk modelling perilaku tentang
apa itu kompetensi dan bagaimana penerapan kompetensi tersebut.
· Assessment; umpan balik kepada peserta tentang berapa banyak
kompetensi yang dimiliki peserta (membandingkan skor peserta) .Cara
ini dapat memotivasi peserta mempelajari kompetensi sehingga mereka
sadar adanya gap antara kinerja yang aktual dan kinerja yang ideal.
· Feedback; suatu latihan dimana peserta dapat mempraktekkan
kompetensi dan memperoleh umpan balik bagaimana peserta dapat
melaksanakan pekerjaan tertentu dibanding dengan seseorang yang
berkinerja tinggi.
· Job Application; peserta menetapkan tujuan dan mengembangkan
tindakan yang spesifik agar dapat menggunakan kompetensi di dalam
kehidupan nyata.
Keempat, Kompensasi untuk Kompetensi dan Manajemen Kinerja
Sistem kompensasi yang didasarkan pada keahlian secara ekplisit
mengkaitkan reward terhadap pengembangan keahlian. Cara ini sangat
tepat untuk dilakukan apabila karyawan tidak memiliki kontrol terhadap
hasil-hasil kinerjanya
Efektifitas evaluasi kinerja tergantung pada ketepatan penggunaan
masing-masing bentuk data yang ditentukan sebagai sasaran suatu sistem
dan tingkat pengawasan atas kinerja karyawan untuk masing-masing
variabel yang dinilai. Data hasil kinerja biasanya digunakan untuk
keputusan pemberian “reward”. Jika karyawan mempunyai pengawasan
34
yang bersifat individual atas hasil suatu pekerjaan (misalnya, dalam kerja
tim), maka reward hanya akan didasarkan atas hasil tersebut. Hasil
pekerjaan tersebut tentunya dapat mengakibatkan demotivasi bagi individu
yang berkinerja tinggi. Dalam hal ini beberapa porsi “reward” harus
didasarkan atas “job behavior”. Data job behavior biasanya digunakan
untuk keputusan pengembangan skill individu. Misalnya, bagaimana
evaluasi terhadap kinerja manajer Y menunjukkan adanya kelemahan
dalam aspek Motivator , maka orang tersebut dapat disarankan untuk
mengikuti pelatihan Achievement Motivation Training (AMT) untuk
mengembangkan keahliannya.
5. Beberapa Kompetensi yang dibutuhkan untuk Masa Depan
Dengan semakin tingginya tingkat kompetisi antar
organisasi/perusahaan ,maka tidak ada pilihan lain bagi setiap manajer
kecuali bagaimana organisasi/perusahaan mampu menghasilkan produk
yang berkualitas dan kompetif di pasaran. Dalam organisasi publik lebih
pada bagaimana memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat
,sehingga organisasi tersebut tetap memiliki reputasi dan citra yang baik
dimata masyarakat. Dari pemikiran tersebut , maka kompetensi yang
dibutuhkan pada setiap level manajemen memiliki penekanan yang
spesifik, kendati tidak berarti sesuatu yang berbeda dengan level lainnya.
Tiga tingkatan pada level manajemen yakni level eksekutif,
manajer/pimpinan dan karyawan.
35
1. Tingkat Eksekutif
Kompetensi apa yang dibutuhkan ,hal ini sangat tergantung pada
organisasi apa mereka bergerak dengan melakukan analisis terhadap
kebutuhan dan dinamika perubahan lingkungan. Tapi pada umumnya
pada tingkat pimpinan /eksekutif diperlukan beberapa kompetensi , yakni
(1) strategic thingking;
(2) change leadership dan
(3) relationship management.
Strategic thingking adalah kompetensi untuk memahami
kecenderungan ancaman, kekuatan dan kelemahan organisasi agar dapat
mengidentifikasikan “strategic response” secara optimum. Strategi ini
dilakukan melalui analisis SWOT yang akan memberikan gambaran nyata
terhadap kekuatan,kelemahan,peluang dan ancaman yang mungkin bakal
dihadapi organosasi/perudsahaan. Analisis ini memerlukan kemampuan
konseptual kognitif dengan berbagai pertimbangan rasional yang dapat
diuji tingkat kebenarannya.
Dari aspek change leadership yakni kompetensi untuk
mengkomunikasikan visi dan strategi perusahaan dapat ditransformasikan
kepada pegawai/karyawan terkait. Pemahaman atas visi organisasi oleh
para karyawan akan mengakibatkan motivasi dan komitmen sehingga
karyawan dapat bertindak sebagai sponsor inovasi dan “enterpreneurship”
terutama dalam mengalokasikan sumber daya organisasi sebaik mungkin
untuk menuju kepada proses perubahan.
36
Sedangkan kompetensi relationship management adalah
kemampuan untuk meningkatkan hubungan dan jaringan dengan semua
pihak terkait baik dengan unsur pemerintah, masyarakat, maupun
stakeholder lainnya. Kerjasama dengan negara lain sangat dibutuhkan
bagi keberhasilan organisasi.
2. Tingkat Manajer
Pada tingkat manajer, paling tidak diperlukan aspek-aspek
kompetensi seperti: fleksibilitas, change implementation, interpersonal
understanding and empowering. Aspek fleksibelitas adalah kemampuan
merubah struktur dan proses manajerial; apabila strategi perubahan
organisasi diperlukan untuk efektivitas pelaksanaan tugas organisasi.
Dimensi “interpersonal understanding” adalah kemampuan untuk
memahami nilai dari berbagai tipe manusia. Aspek pemberdayaan
(empowerment) adalah kemampuan berbagai imformasi, penyampaian ideide
oleh bawahan, mengembangkan pengembangan karyawan,
mendelegasikan tanggungjawab, memberikan sarau umpan balik,
menyatakan harapan-harapan yang positif untuk bawahan dan memberikan
reward bagi peningkatan kinerja. Kesemua faktor-faktor tersebut membuat
karyawan merasa termotivasi dan memiliki tanggung jawab yang lebih
besar.
Adapun dimensi “team facilitation” adalah kemampuan untuk
menyatukan orang untuk bekerja sama secara efektif dalam mencapai
tujuan bersama; termasuk dalam hal ini adalah memberikan kesempatan
37
setiap orang untuk berpartisipasi dan mengatasi konflik. Sedangkan
dimensi “portability” adalah kemampuan untuk beradapsi dan berfungsi
secara efektif dengan lingkungan luar negeri sehingga manajer harus
“portable” terhadap posisi-posisi yang ada di negara manapun
3. Tingkat Karyawan (tingkat pelaksana)
Pada tingkat karyawan diperlukan kualitas kompetensi seperti
fleksibelitas; kompetensi motivasi dan kemampuan untuk belajar, motivasi
berprestasi, motivasi kerja di bawah tekanan waktu; kolaborasi, dan
orientasi pelayanan kepada pelanggan. Dimensi fleksibelitas adalah
kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang
mengembirakan ketimbang sebagai ancaman. Aspek mencari informasi,
motivasi dan kemampuan belajar adalah kompetensi tentang antusiasme
untuk mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan
interpersonal.
Dimensi motivasi berprestasi adalah kemampuan untuk
mendorong inovasi; perbaikan berkelanjutan dalam kualitas dan
produktifitas yang dibutuhkan untuk memenuhi tanyangan kompetensi.
Aspek motivasi kerja dalam tekanan waktu merupakan kombinasi
fleksibelitas, motuvasi berprestasi, menahan stress dan komitmen
organisasi yang membuat individu bekerja dengan baik dibawah
permintaan produk-produk baru walaupun dalam waktu yang terbatas.
Dimensi kolaborasi adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam
38
kelompok yang multi disiplin; menaruh harapan positif kepada yang lain,
pemahaman interpersonal dan komitmen organisasi.
Sedangkan dimensi yang terakhir untuk karyawan adalah
keinginan yang besar untuk melayani pelanggan dengan baik; dan inisiatif
untuk mengatasi hambatan-hambatan di dalam organisasi agar dapat
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi pelanggan.
Dalam kaitan dengan kualitas sumberdaya birokrasi yang
berkembang dalam organisasi publik dalam mendukung konsep good
governance , Tjokrowinoto (2001: 27) menyebutkan bahwa kompetensi
yang diperlukan bagi seorang birokrat mencakup . a.l :
1. Memiliki sensitivitas dan responsivitas terhadap peluang dan
tantangan baru yang timbul di dalam pasar ,
2. Mempunyai wawasan pengetahuan ( knowledge) , ketarampilan
(skill) dan sikap perilaku (attitude) yang relevan dengan
visi,misi dan budaya kerja organisasi .
3. Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumberdaya
yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang
berproduksi rendah menuju kegiatan yang berproduksi tinggi,
4. Tidak terpaku pada kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi
instrumental birokrasi, tetapi harus mampu melakukan
terobosan ( break throuh ) melalui pemikiran yang kreatif dan
inovatif.
5. Dapat bekerja secara profesional dan komitmen pada prestasi,
loyalitas,dedikasi pada pekerjaan dan organisasi.
6. Memilki jiwa entrepreneurship yang tinggi dan kosnsisten
Kompetensi yang dimiliki oleh pegawai /karyawan ini tentu tidak
begitu saja muncul, tantu diperlukan perencanaan pengembangan SDM,
komitmen Pimpinan dan seluruh unit/divisi terkait ,kearah kemajuan dan
daya dukung instrumen lainnya, termasuk soal rewards dan punishment.
Upaya ke arah tersebut tentu menjadi sebuah keniscayaan,kendati dalam
39
penerapannya tentu disesuaikan dengan kemampuan, iklim organisasi dan
budaya kerja yang tengah dikembangkan.
6.Penutup.
Berlandaskan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat penulis
simpulkan sebagai berikut :
1. Pergeseran pandangan tentang SDM sebagai refleksi dari adanya
revitalisasi peran SDM dalam kegiatan organisasi yang memandang
manusia sebagai salah satu faktor keberhasilan organisasi dalam
merealisasikan misinya sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan
demikian bagaimana upaya manajemen meningkatkan kualitas SDM
ke depan baik dalam perencanaan maupun dalam pengembangannya.
2. Kompetensi sangat diperlukan bagi organisasi yang adaptif terhadap
dinamika perubahan dalam masyarakat maupun pasar. Didalamnya
menyangkut perubahan paradigma , orietasi, nilai, perilaku ,struktur ,
tujuan yang berkinerja tinggi . Kompetensi bagi organisasi/ karyawan
menjadi hal yang krusial tetapi sekaligus sebuah keniscayaan , karena
berbagai tantangan dan keterbatasan.
3. Kompetensi yang dibutuhkan pada setiap level manajemen memiliki
penekanan yang spesifik, yang akan memberi kontribusi bagi kemajuan
organisasi. Tiga tingkatan pada level manajemen yakni level eksekutif,
manajer/pimpinan dan karyawan. Pada tingkat pimpinan /eksekutif
diperlukan beberapa kompetensi , yakni (1) strategic thingking; (2)
change leadership dan (3) relationship management. Pada tingkat
40
manajer, kompetensi seperti: fleksibilitas, change implementation,
interpersonal understanding and empowering , Pada tingkat karyawan
diperlukan kualitas kompetensi seperti fleksibelitas; kompetensi
motivasi dan kemampuan untuk belajar, motivasi berprestasi,
kolaborasi, dan orientasi pelayanan kepada pelanggan.
4. Dalam Organisasi publik kompetensi lebih di orietasikan pada aspek
entrepreneurship,sensitivitas dan responsivitas , mempunyai wawasan
pengetahuan ( knowledge) , ketrampilan (skill) dan sikap perilaku
(attitude) yang relevan dengan visi,misi dan budaya kerja organisasi .
5. Karakteristik kompetensi dan keterkaitan penerapannya dengan seleksi,
perencanaan suksesi, pengembangan, sistem penghargaan dan
manajemen kinerja sangat membantu keberhasilan organisasi agar
tetap surveve dan berkembang.
41
DAFTAR PUSTAKA
Gilley. W.J and May Cunich, Ann, 2000, Beyond the Learning
Organization: Creating a Culture Growth and Development Through
State of the Art Human Resource Practice. Perseus Book, USA.
Janszen, Felix, 2000, The Age of inovation. Pearson Education Limited,
Great Britain.
Mitrani, A, Daziel, M. And Fitt, D. ,1992, Competency Based Human
Resource Mangement: Valua-Driven Strategies for Recruitmen,
Development and Reward; Kogan Page Limited: London
Spencer, M. Lyle and Spencer, M. Signe ,1993, Competence at Work
Modelas for Superrior Performance, John Wily & Son, Inc, New
York, USA.
Tangkilisan, Hessel Nogi.S, 2005, Manajemen Publik, Jakarta, Gramedia
Widiasara Indonesia.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001, Birokrasi dalam
Polemik,Yogyakarta,Pustaka Pelajar.
42
M a k a l a h
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2007
43
KATA PENGANTAR
Makalah ini menyajikan uraian tentang bagaimana
membangun jiwa kewirausahaan dalam tubuh birokrasi yang nota
bene memiliki karakteristik yang spesifik. Dewasa ini
entrepreneurship menjadi sebuah kebutuhan bagi para personel,
karena hampir semua jenis organisasi besar berhubungan dengan
pengelolaan resources (sumber-sumberdaya) dari mulai input
menjadi output organisasi yang dengan menerapkan prinsip-prinsip
birokrasi modern .
Perkembangan birokrasi di Indonesia dalam menjalankan
misinya, kini masih sangat mekanistik dan cenderung lebih
mengorientasikan pada produktivitas yang bersifat materialistik
sehingga menimbulkan dehumanisasi.
Model organisasi humanistis sebagai model alternatif, lebih
mengedapankan nilai kualitas dan eksisten seorang yang dilihat
dari segi kemanfaatannya, kompetensinya, profesionalitas dan
komitmennya pada kemajuan organisasi daripada sebagai mesin
produksi dalam pencapaian tujuan organisasi semata. Dengan
demikian nilai-nilai humanis haruslah menjadi nilai yang inherent
dalam pengembangan organisasi birokrasi ke depan.
Dalam penyusunan makalah ini , kendatipun penulis telah
berupaya secara maksimal, tentu masih jauh dari sempurna. Kritik
dan saran yang bersifat membangun akan sangat bermamfaat .
Semoga bermamfaat.
Bandung, Agustus 2007
Penulis
44
! " # $ % &
' (
) *
45
MEMBANGUN ENTREPRENEURSHIP
MENUJU BIROKRASI HUMANISTIK
1. Pendahuluan.
Salah satu kualitas sumberdaya birokrasi yang dituntut
dalam good governance adalah kualitas entreprenerial yang dapat
menjembatani antara negara (state) dengan civil society dan pasar .
Karena dalam pengaturan pemerintahan yang baik memungkinkan
layanan publik yang efisien, berkinerja organisasi ynagn tinggi
dengan menggunakan sumberdaya secara optimal sesuai dengan
nilai-nilai humanistik.
Intrepreneurship adalah kemampuan yang kuat untuk
berkarya dengan semangat kemandirian termasuk keberanian untuk
mengambil resiko usaha dan meminimalisasi resiko tersebut menjadi
keuntungan. Pada saat sekarang, entrepreneurship menjadi
kebutuhan bagi para personel, karena hampir semua jenis organisasi
besar berhubungan dengan pengelolaan input menjadi output
organisasi yang diselenggarakan dengana menggunakan prinsipprinsip
organisasi, efektivitas dan produktivitas.
Entrepreneurship terjemahan dari istilah Prancis yang
kemudian diterima dalam bahasa Inggris maupun Indonesia, yaitu
entrepreneur, yang mengandung arti sebagai a person in effective
control of commercial undertaking. Istilah entrepreneur, menurut
46
Burch (1986) , dimaksudkan sebagai seseorang yang tidak hanya
menjalankan atau memimpin suatu perusahaan dengan baik,
melainkan seseorang yang berani mengambil inisiatif guna
mengembanagkan dan memajukan usahanya dengan menggunakan
atau bahkan menciptakan lapangan-lapangan kerja baru. Dalam
rangka tindakannya itu, ia sudah harus memperhitungkan resiko
dengan cerma. Beberapa asas entrepreneurship, menurut Burch,
antara lain dikemukakan sebagai kemampuan berpikir dan bertindak
kreatif dan inovatif, bekerja secara teliti, tekun, dana produktif.
Jiwa-jiwa inilah yang dapat mengantarkan individuke dalam
pengambilan peran dalam berkarya dan mengendalikan sumbersumber
yang dimiliki (resources) ke dalam proses produktif.
Dalam konteks kelahirannya, jiwa entrepreneurship ini lebih
banyak dibutuhkan kalangan industriawan dan bisnisman, atau
bahkan untuk usaha mandiri perseorangan, dan tidak untuk
organisasi dan pegawai publik, seperti pegawai pemerintah. Namun
pada perkembangan sekarang ini, sektor pemerintahan seharunya
juga mengambil peran aktif dalam pengelolaan bidang-bidang bisnis
baik secara langsung maupun melalui kerja sama mereka dengan
para pengusaha. Bahkan adalah keniscayaan bagi negara (pegawai),
dalam negara yang sumberdaya alamnya melimpah dan luas bidang
sektornya untuk mengoptimalisasikan secara efisien untuk sebesarbesarnya
kemakmuran masyarakat.
47
Sebagaimana dikatakan Peter Drucker (1999) dalam The sage
of Management Theory, “The most entreprenurial, innovative
people be have like the worst time surving bureaucrat of power
hungry politicion six month after they have taken over the
management of public service institution. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa semua orang mungkin menjadi seorang
entrepeneur jika organisasinya menyelenggarakan sistem
manajemen entrepreneurship. Sebaliknya hampir semua
entrepreneur dapat berubah menjadi seorang birokrat organisasinya
menyelenggarakankebiasaan birokratik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jiwa
entrepreneurship amat dipengaruhi model organisasinya.
Sebelumnya , peran organisasi publik dan pegawai pemerintah lebih
diasumsikan untuk melayani masyarakat (public service), dengan
sedikit meninggalkan orientasi input. Namun sekarang pemerintah
daerah disyaratkan untuk memikirkan input-input dalam rangka
memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) dengan
mengoptimalisasikan semua sumberdaya alam, lingkungan,
teknologi dan sumberdaya manusia yanag ada.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa organisasi
pemerintahan yang akan datang membutuhkan nilai
entrepreneurship ke dalam sistem manajemennya. Dalam kaitan
tersebut, adalah niscaya dibutuhkan jiwa entrepreneurship yang
positif sesuai dengan aturan-aturan kelembagaan dalam
48
melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, termasuk
di dalamnya mencari input-input yang sah dalam rangka
memperkuat organisasi daerahnya. Beberapa kebijakan pemerintah
yang diajukan pada dekade ini berupa otonomi daerah, eselonisasi
bupati, deregulasi investasi di daerah, pemangkasan pngutan non-
Perda dan kebijakan stream-linning aparatur di tingkat pusat
menunjukkan pentingnya pengembangan kelembagaan struktur
birokrasi yang ada.
2. Tantangan Birokrasi Indonesia
Perkembangan manajemen pemerintahan di Indonesia dan
juga para aparatur negara masih belum menampakkan pergeseran ke
arah kondisi tantangan luar (erxternal challenges) berupa
perkembangan sistem komunikasi, teknologi dan pendekatanpendekatan
baru dalam pemerintahan. Hal ini lebih terasa pada level
pemerintahan menengah ke bawah di mana persepsi tentang
aparatur birokrasi adalah warga yang status tinggi dan harus
memperoleh penghargaan yang sewajarnya dari masyarakat yang
dipimpinnya masih melekat kuar.
Tidak dapat dipungkiri sebagian besar jumlah pegawai kita
terutama di tingkat menengah ke bawah adalah mereka yang
memiliki pengalaman dan masa pengabdian yang lama daripada
mereka yang memiliki pendidikan yang memadai dalam rangka
mengisi dan mengembangkan metode pendekatan baru dalam
49
pembangunan. Oleh sebab itu, ditengarai bahwa pegawai kita yang
jumlahnya besar itu kurang bisa amenyesuaikan diri dengan
perkembangan di sekitarnya.
Dwight Waldo, ahli administrasi dan manajemen memberi
gambaran tentang pentingnya manajemen modern yang dipakai
sebagai sistem penyanagga dari semakin meningkatnya tuntutan
akan pelayanan publik (public services) pada negara-negara yang
sedang berkembang yang akan datang. Waldo mengingatkan, bahwa
dalam perkembangan sekarang, para pengelola negara mesti
mempunyai dan mengembangkan visi-visi baru pelayanan kepada
masyarakat—visi aparatur modern—yang mendukung meluas dan
kompleksnya tuntutan internal dan eksternal organisasi publik
maupun bisnis. Dwight Waldo (1980, 70) menulis, willy-nilly;
administration is every one concern, if we wish to survive, we have
batter be intellegent about it.
Dalam tahap sekarang, perubahan budaya-budaya sosial, tidak
saja terjadi pada masyarakat bisnis, juga pada masyarakat publik
(birokrasi). Di samping itu gaya penampilan (performance) dari
aparatur birokrasi modern telah sampai pada tuntutan sebagai
aparatur modern yang siap mendukung semakin kompleksnya
masyarakat ‘yang diperintah’ . Visi baru itu menyangkut tiga hal/
Pertama, their doing, yaitu cara kerja mereka; Kedua, kapasitas
yang menyangkut skil and attitude; dan Ketika, wawasan
50
pemerintahan yang luas yang menyangkut pendekatan (approahes)
baru dalam merumuskan dan memecahkan masalah.
Pada saat berbagai item pembangunan dipacu dengan cepat,
laju komunikasi dan transportasi yang tak terkirakan (the
unprecedented speed of communiation and transportation),
meningkatnya tensi-tensi politik dalam negeri serta kompleksitas
masyarakat, maka para aparatur negara dalam birokrasi dihadapkan
tantangan baru dalam era birokrasi modern. Yang dimaksudkan
dengan birokrasi modern ialah birokrasi di mana nuansa kerja dan
orientasinya berdasarkan kaidah-kaidah organisasi modern yang tak
saja mekanistis (sesuai prosedur) melainkan yang organis—adaptis
(saxena, Bennis), 1969), yaitu organisasi birokrasi yang lebih
terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas aparat, mempunyai
hubungan yang lebih longgar dan terbuka.
Demikian pula ahli birokrasi dan komunikasi, Adam Ibrahim
Indrawijaya mengutip tulisan Wendell French menyebutkan
“Organization development refers to cope with changes in it’s
external environment…..”. Dalam kaitan tersebut dibutuhkan orangorang
yang mendukung organisasi yang berubah menuju modern
tersebut .
Dalam rangka untuk mendukung keanadalan organisasi yang
modern dibutuhkan 3 hal: (1) Personel yang mempunyai dalam
jumlah yang cukup; (2) Sarana dan sistem yang mendukung
51
(enabling system); dan (3) Komitmen baru dan tradisi birokrasi yang
berwawasan kerakyatan. Sebagaimana dikatakan Douglas Yetes
(1982) saat membahas tentang birokrasi dan demokrasi untuk
pemerintah AS, menyangsikan ketemunya dua nuansa keluwesan
dana kepastian dalam birokrasi (Sintesa No. 10 th. 2 1994).
Secara teoritis untuk memacu (racing) kemajuan yang
demikian pesat, birokrasi seharusnya dapat mengimbangi
perkembangan praktik-praktik yang menjadi tanggung jawabnya.
Persyaratan pokok agar bisa mengimbangi perkembangan
masyarakat adalah penekanan pada aparat birokrasi untuk dapat
mengatasi atau memperbaiki proses dan struktur birokrasi yang
secara aslinya (an sich) kaku rigid. Apabila kelemahan proses yang
rigid tersebut tidak diimbangi oleh nuansa prkarsa aparat yang lebih
bebas (self qrowth) tentu akan terjadi lack antara teori dan praktek
birokrasi semestinya.
Dalam kaitannya dengan perana sistem administrasi negara
ini, ada beberapa hambatan pada sistem yang perlu dihilangkan agar
pembangunan kualitas manusia dapat terlaksana dengan baik.
Hambatan paling utama adalah semakin lestarinya rutinisasi tugastugas
pembangunan serta penekanan yang terlalu berlebihan pada
pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada pejabat atasan dan
penilaiana prestasi kerja petugas pelaksana atas dasar keberhasilan
dalam mencapai target.
52
Secara garis besar hambatan-hambatan pada sistem
administrasi pembangunan bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni:
hambatan proses dan hambatan orientasi (Saxena, 1986: 49).
Hambatan proses mencakup baik aspek prosedur dan struktur.
Birokratisasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan
pembangunan telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat
hirarkis dan legalistik, sehingga prosedur lebih bertujuan untuk
memenuhi tuntutan struktur daripada manfaat. Fleksibilitas dan
arus komunikasi yang lancar, yang amat diperlukan dalam
penyelenggaraan program pembangunan menjadi terhambat, dan
dalam birokrasi pembangunan yang luar biasa besarnya di
Indonesia, prosedur menjadi amat kaku dan lamban. Yang lebih
parah, prosedur yang mencekik ini ditumpangi kepentingan pribadi
dan dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk keuntungan
pribadi maupun kelompok.
Peranan birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan dalam
pengelolaan program pembangunan juga telah menimbulkan etos
kerja yang memaksa para aparat untuk mempertahankan status quo.
Sifat yang menonjol adalah semangat untuk mempertahankan
keadaan dan kurang mkementingkan kemajuan yang identik dengan
perubahan yang terus menerus. Orientasi status quo ini tumbuh
sangat subur dalam suatu sistem administrasi yang kmenggunakan
prinsip kemampuan pencapaian target atau delapan sukses dan
akuntabilitas kepada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi sebagai
53
dasar penilaian prestasi kerja pejabat bawahan. Untuk merubah
orientasi ini diperlukan tak sekedar modifikasi dalam prosedur
pertanggungjawaban kepada pejabat atasan dan pengurangan kontrol
pemerintah pusat terhadap sumberdaya dan pelayanan di daerah.
Dalam kaitan ini wewenanag yang lebih bear perlu diberikan kepada
lembaga perwakilan rakyat di daerah untuk mengawasi pelaksanaan
pembangunan.
Kelemahan-kelemahan proses maupun orientasi yang terdapat
pada sistem administrasi ini, menyebabkan semakin kerasnya
tuntutan akan adanya upaya intervensi baik berupa debirokratisasi,
deregulasi, privatisasi maupun peningkatan kapasitas birokrasi
pemerintah agar organisasi ini mampu mengelola pembangunan
kualitas manusia. Bagaimana struktur organisasi yang mampu untuk
merangsang partisipasi yang merupakan syarat mutlak bagi
pembangunan kualitas manusia? Dalam melaksanakan tugas-tugas
pembangunan sebagai upaya peningkatan kapasitas, sifat-sifat
birokrasi pemerintah yang stabil-mekanisnistis tak mungkin
dihilangkan keseluruhan. Sifat tersebut hanya dapat dikurangi dan
diganti dengan organisasi yang lebih bersifat organis-adaptif
(Saxena, ibid; dan Bernnis; 1969), yaitu organisasi yang lebih
terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas, serta mampu
melaksanakannya. Struktur birokrasi yang organi-adaptif ini
mempunyai mpola hubungan yang lebih longgar dan terbuka
terhadap pengaruh dari luar. Partisipasi dalam perumusan tujuan
54
menjadi lebih besar sehingga terbuka kesempatan yang luas untuk
keterlibatan dari bawah (bottom-up) maupun dari atas (top-down).
Selain bentuk organisasi yang organis-adaptif, perlu juga
diadakan distribusi kekuasaan dan sumberdaya. Dengan kata lain,
suatu peningkatan sentralisasi yang memadai adalah syarat yang
diperlukan demi keberhasilan pembangunan kualitas manusia.
Dalam hal ini ada perbedaan yang jelas antara national-building dan
pembangunan. Dalam pembinaan nation-building sentralisasi
kekuasaan memang diperlukan. Dalam tahap pembangunan ini,
sentralisasi yang berlebihan harus segera ditinggalkan untuk diganti
dengan desentralisasi, yakni penyerahan fungsi, fungsi perencanaan,
pengelolaan dan pengendalian pembangunan secara bertahap kepada
daerah dan masyarakat.
Perubahan-perubahan pada birokrasi pemerintah sendiri
sebenarnya tidak akan terjadi terlepas dari kondisi lingkungan.
Karena dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini
diperlukan suatu prasyarat mutlak, yakni kemungkinan setiap
aparatur meningkatkan kapasitasnya. Peningkatan kemampuan
aparatur ini akan memungkinkan mereka untuk membantu
menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam
pembangunan.
3. Menuju Birokrasi Humanis
55
Pemahaman mengenai model birokrasi di era selanjutnya
menjadi sangat penting sejalan dengan pergeseran pusat perhatian
terhadap masalah-masalah di sekitar peningkatan kualitas kehidupan
politik menyertai sukses-sukses pembangunan ekonomi telah
dicapai. Bahwa sosok birokrasi sekarang ini masih menampilkan
karakteristik patrimonial adalah realitas benang sejarah yang perlu
dicermati secara hati-hati. Model birokrasi tradisional dan kolonial
yang paternalistik cenderung mengalami esistensi sampai sekarang,
dan kadang-kadang mengambil bentuk ekspresi yang baru (neotradisional).
Hal ini menjadi persoalan, di mana tuntutan kualitas
kehidupan politik menghendaki adanya desentralisasi dan partisipasi
arus bawah yang lebih luas. Di samping itu, pengembangan untuk
memodernisasi birokrasi menuntut adanya peningkatan kualitas
administrasi dan manajemen. Namun prinsip-prinsip seperti
pendelegasian wewenang, pengembangan profesionalisme, dan
pengembangan sumbersya aparat, terhambat oleh kecenderungan
praktek-praktek patrimonial yang masih menonjol, seperti tercermin
dalam sistem rekruitmen pada jajaran birokrasi.
Kehadiran birokrasi di tengah-tengah masyarakat politik
merupakan conditio sine qua non. Yang menjadi persoalan adalah
sentralisasi dan konsentrasi peran birokrasi dalam berbagai sektor
kehidupan masyarakat dan negara. Dalam kondisi demikian,
birokrasi menjadi tidak fungsional lagi untuk melayani kepentingan
masyarakat. Birokrasi sering memperlihatkan dirinya sebagai tuan
56
atau bos yang berwewenang mengatur, mengendalikan, dana
mengontrol politik rakyat.
Padahal jika dilihat dalam konteks hubungan kekuasan,
birokrasi pada dasarnya merupakan mata rantai yang
menghubungkan pemerintah dengan rakyatnya. Birokrasi pada
dasarnya merupakan alat pemerintah yang bekerja untuk
kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam posisi demikian,
maka tugas birokrasi adalah merealisasikan setiap kebijakan
pemerintah dalam pencapaian kepentingan masyarakat. Sebagai alat
pemerintah, jelas birokrasi tidak mungkin netral dari pengaruh
pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak
memiliki kemandirian. Justru karena tugasnya sebagai alat
pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat inilah, maka
diperlukan kemandirian birokrasi. Di sinilah letak seninya aparat
birokrasi itu. Seperti dicitrakan dalam konsep “Hegelian
Bureaucracy”, birokrasi seharusnya menempatkan dirinya sebagai
mediating agent, jembatan antara kepentingan masyarakat dengan
kepentingan pemerintah.
Kemandirian birokrasi bisa dijelaskan dengan adanya
netralitas pengaruh pemerintah, meski ia adalah alat bagi
pemerintah. Tolok ukurnya ialah sejauh mana birokrasi bisa
berpihak pada kepentingan masyarakat dan melalayni masyarakat.
Dengan demikian, dalam ketidaknetralannya tersebut, birokrasi
tetap memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan
57
masyarakat secara keseluruhan. Ia menempatkan dirinya lebih
sebagai abdi masyarakat daripada abdi negara, atau setidaknya ada
keseimbangan antara keduanya.
Dalam hubungannya dengan sistem politik, bangun ideal
birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan adalah, bahwa
birokrasi haruslah apolitis, dalam pengertian bahwa tugasnya
melayani masyarakat secara keseluruhan harus dibebaskan dari
pengaruh interest tertentu pemerintah selalku pemberi tugas. Dalam
pengertian ini, kehadiran birokrasi seharusnya tidak mencitrakan
diri sebagai new political power (kekuatan politik baru) dalam peta
politik yang ada. Lebih-lebih jika kemudian menobatkan diri secara
meyakinkan sebagai gurita politik yang mendominasi seluruh
perikehidupan politik.
Sementara itu, untruk mengikis pengaruh minor neotradisionalisme
birokrasi, maka hal yang penting dalam birokrasi
adalah suatu transformasi budaya birokrasi yang mewarisi semangat
kerajaan dan kolonial menuju budaya birokrasi modern yang organi
adaptif yang dikehendaki adalah birokrasi yang terbuka terhadapa
gagasan inovatif, peka terhadap perubahan-perubahan
lingkungannya, penekanan pada peningkatan produktivitas,
profesionalisme, pelayanan dan peningkatan kualitas sumberdaya
aparatnya.Model birokrasi demikian seperti dutulis Saxena akan
kenyal terhadap gonangan dana ketidakpastian yang melanda
lingkungannya. Berbeda dengan model Weber yang terkesan
58
mekanistis dalam model organis-adaptif ini pola hubungan antar
jenjang hierarki relatif lebih longgar tidak terkungkung pada
prosedur-prosedur administratif yang formalistis, sementara itu
unsur-unsur dalam sistem birokrasi mempunyai peluang untuk
berhubungan dengan pihak luar. Tujuan dan nilai-nilai akan
diserasikan sehingga birokrasi menjadi sebuah institusi yang terus
menerus mencari hal-hal baru, menyesauikan diri dengan
perkembangan, dan selalu belajar dari pengalaman masa lalu.
Karakteristik baru ditujukan ke arah kemampuan memecahkan
masalah-masalah secara efektif dan daya inovatif. Nilai-nilai sentral
yang ditanamkan adalah: efektif, efisien, etos profesional, sifat-sifat
adaptif, responsif serta keberanian untuk mengambil resiko.
Partisipasi dalam proses perumkusan tujuana melebar dan
keterlibatan aparat birokrasi berlangsung dari bawah ke atas
(bottom up) maupun sebaliknya (topdown).
Dengan demikian, model organis-adaptif ini merupakan
model alternatif terhadap upaya transformasi nilai-nilai neotradisionalisme
birokrasi menuju ide-ide modernisasi birokrasi
dengan mengacu pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia.
Model organis adaptif ini sekaligus mendobrak model modernisasi
legal-rasional ala Weberian yang terkesan mekanistis. Dalam
model kemanistis ini, nilai seorang lebih dilihat dari segi
kemanfaatannya, sehingga nilai-nilai manusia seringkali tidak
ditempatkan secara proporsional. Hakekat manusia sering
59
mengalami degradasi menjadi sekedar pemaksimum manfaat (utility
maximizer) atau menjadi mesin pencapaian tujuan belaka. Manusia
kehilangan otonomi dalam menentukan pilihannya untuk
beraktualisasi, dan pada gilirannya mengalami proses dehumanisasi.
Proses dehumanisasijelas tidak sesuai dengan ide pengembangan
kualitas sumberdaya manusia dan demokratisasi. Karenanya nilainilai
humanis haruslah menjadi nilai yang inherent dalam model
birokrasi organis adaptif.
Para penganjur humanis organisasi seperti McGregor,
Golembiewski, Argyris, Morgan, Bryan and White, soedjatmoko,
Korten dan lainnya, dengan satu dan lain formasi telah
menempatkan dimensi manusia sebagai titik sentral konstruksi
pemikiran mereka. Unsur-unsur paling inti dari nilai human ini
dapat dirumuskan dalam tiga nilai inti, ialah: kesejahteraan hidup,
harga diri, dana kebebasan.
Dimensi humanistis tidak dapat diwujudkan jika ketiga nilai
human itu selalu ditawar dan ditundukkan pada nilai-nilai lainnya
atas nama modernisasi atau rasionalitas. Kebebasan dan harga diri
merupakan landasan untuk menciptakan kondisi kelestarian
pertumbuhan potensi manusia. Tidak ada sumber harga diri yang
begitu asasinya bagi perkembangan manusia, seperti rasa mandiri
dan rasa percaya diri, tidak saja untuk mencukupi kebutuhan diri
sendiri tetapi juga untuk menyumbang dan melayani orang lain dan
masyarakat. Akhirnya, secara ringkas dapat disimpulkan, bahwa
60
model birokrasi yang harus dibangun untuk menjawab persoalan di
era berikut adalah yang mempunyai karakteritik organis adaptif,
apolitis, netral, berorientasi pada pelayanan, mempunyai sifat-sifat
seperti dicitrakan dalam konsep hegelian bureaucracy.
4. Penutup.
Dari apa yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, ada
beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan:
1. Organisasi pemerintahan yang akan datang membutuhkan
nilai entrepreneurship ke dalam sistem manajemennya
sesuai dengan aturan-aturan kelembagaan dalam
melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat,
termasuk di dalamnya mencari input-input yang sah dalam
rangka memperkuat organisasi daerahnya.
2. Perubahan sosial budaya, tidak saja terjadi pada masyarakat
bisnis, juga pada masyarakat publik (birokrasi). Di samping
itu gaya penampilan (performance) dari aparatur birokrasi
modern telah sampai pada tuntutan sebagai aparatur modern
yang siap mendukung semakin kompleksnya masyarakat
‘yang diperintah’ . Visi baru itu menyangkut tiga ha utama
,meliputi cara kerja aparat ; kapasitas yang menyangkut
skil and attitude; dan wawasan pemerintahan yang luas yang
menyangkut pendekatan (approahes) baru dalam
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik
61
3. Dalam hubungannya dengan sistem politik, model ideal
birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan seyogyanya
birokrasi haruslah apolitis. Ini berarti bahwa tugas melayani
masyarakat secara keseluruhan harus dibebaskan dari
pengaruh interest tertentu pemerintah selaku regulator,
sehingga kehadiran birokrasi tidak mencitrakan diri sebagai
new political power (kekuatan politik baru) dalam peta
politik yang ada.
4. Model organis-adaptif merupakan model alternatif
terhadap upaya transformasi nilai-nilai neo-tradisionalisme
birokrasi menuju ide-ide modernisasi birokrasi dengan
mengacu pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia.
Model organis adaptif ini sekaligus mendobrak model
modernisasi legal-rasional ala Weberian yang terkesan
mekanistis. Model organisasi humanistis lebih
mengedapankan nilai kualitas dan eksisten seorang yang
dilihat dari segi kemanfaatannya, kompetensinya,
profesionalitas dan komitmennya pada kemajuan organisasi
daripada sebagai mesin produksi dalam pencapaian tujuan
organisasi semata. Dengan demikian nilai-nilai humanis
haruslah menjadi nilai yang inherent dalam pengembangan
organisasi birokrasi ke depan.
62
DAFTAR PUSTAKA
Burch, G. John, 1986, Entrepreneurship, John Wiley and Sons.
Inc.
Drucker , Peter ,1999 , The sage of Management Theory, London:
Heinemann.
Indrawijaya, Adam Ibrahim,1989, Perubahan dan Pengembangan
Organisasi,Bandung, Sinar Baru.
Kumorotomo, Wahyudi, 2004, Etika Admisitrasi Negara, Jakarta,
Radja Grapindo Persada.
Osborne,David and Ted Gaebler, 1993, Reinventing Government :
How the Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public
Sector, USA : A Plume Book.
Tjokrowinoto, Moelyarto, 2001, Birokrasi dalam Polemik,
Yogyakarta,Pustaka Pelajar.
Waldo, Dwight, 1980, The Interprise of Public Administration,
California Chandler & Sharp Published Inc.
======
Makalah
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2008
KATA PENGANTAR ................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................ ii
1 Pendahuluan ............................................................. 1
2. Pengertian Pelayanan Publik dan Tipe Budaya
Organisasi ............................................................... 2
3. Budaya Kinerja dalam organisasi Publik ................... 6
4. Kelemahan Budaya kinerja Pelayanan Publik............ 8
5. Upaya dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. 14
6. Penutup.................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................. 17
............................................. i DAFTAR ISI .............................................................. ii 1. PENDAHULUAN ................................................ 1 2. KONTRIBUSI PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA... 4 3. EKSISTENSI KUALITAS MANUSIA BERMULTIDIMENSI ............................................ 8 4. STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA .............................................................. 11 5. PENUTUP .............................................................. 13 DAFTAR PUSTAKA .................................................. 14 STRATEGI PENGEMBANGAN 102 SUMBER DAYA MANUSIA DALAM ERA KOMPETISI 1. PENDAHULUAN Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) merupakan salah satu faktor determinan yang banyak mendapat perhatian dari banyak kalangan terutama di kalangan organisasi bisnis maupun publik. Bagi kalangan perusahaan (organisasi bisnis) Sumber Daya Manusia (SDM) umumnya sebagai “sumber daya pemacu produktivitas” dalam memenangkan persaingan global. Seperti diketahui globalisasi bukan lagi merupakan isue ,tapi sebuah realita yang harus dipandang sebagai sebuah keniscayaan yang disadari atau tidak pasti akan mempengaruhi terhadap tantangan yang dihadapi organisasi manapun. Tantangan yang dihadapi adalah dengan tingkat ketidakpastian lingkungan organisasi semakin tinggi, masalah kualitas SDM menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan. Dalam konsep pembangunan SDM, pembangunan Indonesia ke depan diarahkan kepada pembangunan manusia seutuhnya. Hal ini berarti bahwa, kualitas SDM ini dapat diukur dari seberapa jauh SDM yang ada dapat berdaya manfaat bagi lingkungan organisasi baik secara internal maupun eksternal yang bersifat simbiose mutualistik . Mengingat pentingnya peran pengembangan SDM dalam organisasi (perusahaan) agar tetap dapat survive dalam iklim 103 persaingan bebas tanpa, maka “peran manajemen SDM tidak lagi hanya tanggungjawab para pegawai atau karyawan ,tapi merupakan tanggungjawab pimpinan/para manajer” (Riva’i, 2004:5) Dalam konsep perspektif makro organisasi, organisasi dipandang sebagai sub sistem dari lingkungannya. Menurut konsep ini kemampuan daya tahan organisasi ditentukan oleh seberapa jauh organisasi dapat mengantisipasi dan mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan luarnya (eksternal). Di era global yang semakin terbuka ini, Indonesia akan menghadapi lingkungan yang semakin tajam dan selalu berubah. Karakteristik lingkungan yang serba tidak pasti ini bagi Indonesia merupakan “ancaman” dan sekaligus “peluang”. Hal ini menuntut kepekaan terhadap perubahan-perubahan eksternal tersebut. Djiwandono (1993) secara spesifik menyebutkan bahwa daya kepekaan ini terutama untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di negara-negara yang banyak mengadakan hubungan dagang dan keuangan serta permodalan dengan Indonesia, maupun negaranegara yang karena posisinya memang berpengaruh besar terhadap hubungan ekonomi-moneter dan perdagangan dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang dan kawasan ASEAN. Kondisi kritis yang dihadapi bangsa Indonesia yang melanda tahun 80-an dapat menjadi pelajaran yang cukup berarti, seperti turunnya harga komoditi primer, khususnya harga Migas dan resesi dunia tampak sekali melandasi “kerentanan” sumber daya ASEAN 104 termasuk Indonesia (Pangestu, 1992). Krisis ekonomi ini meskipun dalam banyak hal telah “menghancurkan” kegiatan usaha dalam negeri tetapi tampaknya telah membawa hikmah bagi kebijaksanaan pemerintah. Sebagian besar negara-negara ASEAN mengambil berbagai langkah perbaikan ekonomi dengan mendorong diversifikasi ekspor komoditi primer ke barang-barang manufaktur, meningkatkan efisiensi dengan memasukkan kekuatan-kekuatan bersaing serta lebih membuka perekonomian negara tersebut. Umumnya dapat diidentifikasi ada banyak faktor yang ikut mempengaruhi keberhasilan sasaran sebuah organisasi, seperti faktor struktur, teknologi, dan lingkungan. Namun pada hakikatnya kekuatan daya tahan organisasi tertumpu pada SDM nya. SDM lah yang membentuk struktur dan memanfaatkan teknologi. Ada persyaratan penting untuk memastikan keberhasilan organisasi ini, yaitu pertama, setiap organisasi hendaknya mampu membina dan mempertahankan SDM yang mantap dan terampil, kedua, organisasi yang dapat menikmati prestasi dari SDM-nya, dan ketiga, organisasi yang dapat menjamin kepuasan dan kesejahteraan anggotanya. Secara sederhana SDM dalam organisasi/perusahaan dapat dipilih ke dalam tiga tingkatan, tingkatan pertama mewakili pimpinan puncak, tingkatan kedua mewakili pimpinan menengah, dan tingkatan ketiga mewakili pekerja. Dalam sebuah organisasi ketiga tingkatan ini mempunyai fungsi dan tanggung jawab berbeda. Pekerja sebagai SDM yang mewakili tingkatan ketiga merupakan 105 komponen sistem yang berfungsi melaksanakan kebijaksanaan yang diputuskan oleh tingkat di atasnya. Meningkatkan kualitas SDM dalam organisasi tentunya akan mencakup keseluruhan tingkatan ini. Dalam pengembangan SDM ada hal penting yang juga perlu mendapat perhatian yakni apakah dengan SDM yang berkualitas akan dengan serta merta akan meningkatkan kesejahteraan anggota organisasi khususnya pada karyawan staf maupun para manajer . Sebab peningkatan kualitas SDM tidak banyak berarti tanpa ada upaya untuk meningktakan kesejahteraan tanpa ada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Karena dengan SDM yang unggullah suatu organisasi/ perusahaan dapat meningkatkan produktifitas dan kinerjanya. 2. KONTRIBUSI PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA . Suatu studi yang dilakukan oleh Jagernson (dalam Susilo, 1995: 73) tentang sumbangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dari tahun 1848-1973 menemukan bahwa produktivitas tenaga kerja menduduki tempat pertama dibandingkan dengan modal dan teknologi dalam sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Dalam analisis lebih lanjut ditemukan bahwa faktor utama yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja adalah pendidikan. Berbagai hasil penelitian baik oleh Bank Dunia maupun Inkels, adalah memberikan bukti tentang nilai lamanya pendidikan terhadap peningkatan produktivitas tenaga 106 kerja.Kajian lebih lanjut dalam konteks pendidikan di Indonesia bisa jadi tidak selamanya selaras dengan peranan pendidikan di negara-negara maju. Kendati pendidikan sebagai sarana untuk menghasilkan SDM ,namun banyak pihak yang memandang ,bahwa produk pendidikan di Indonesia tidak begitu “match” dengan kebutuhan pasar kerja . Kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki seringkali tidak mencerminkan tingkat kemampuan yang memadai untuk bisa bersaing di pasar global. Menyadari pentingnya lembaga pendidikan sebagai alat “transformasi” SDM yang utama, maka pada masa sekarang isu yang sering muncul adalah bagaimana dunia pendidikan mampu menjawab tantangan dan sekaligus mengisi tekno struktur dunia kerja baik di sektor publik maupun bisnis. Berkaitan dengan hal tersebut ,maka perlu adanya penyesuaian-penyesuaian dalam bidang pendidikan untuk mengantisipasi perkembangan Iptek.Penyesuaian ini dapat menyangkut perubahan struktural, perubahan isi, perubahan peran pendidik , kegiatan-kegiatan pendidikan baru, dan perubahan dalam pengelolaan sistem pendidikan. Ada banyak faktor yang diperkirakan mempengaruhi perkembangan pendidikan ini. Faktor-faktor tersebut antara lain, demografi, ekonomi, dan hubungan internasional (Amijaya,1991).Dari sisi internal, berarti acuan yang perlu dilihat 107 berkaitan dengan mutu pendidikan itu sendiri. Sampai sekarang belum ada kesepakatan yang baku terhadap pengertian “mutu”. Bahasan yang sering dipakai untuk melihat indikator ini adalah mengenai korelasi kurikulum dengan dunia kerja. Soedijarto (dalam Susilo,1995:74) mencoba mempertimbangkannya dengan melihat hal-hal yang berkait dengan (1) tolok ukur indikator mutu pendidikan dan lembaga penanggung jawab, (2) kurikulum sebagai tolok ukur kerangka acuan dan motivasi pendidikan, dan (3) kualitas proses belajar dan sistem evaluasi sebagai determinan mutu pendidikan, serta (4) implikasi bagi perencanaan dan pengembangan kurikulum yang selaras. Secara teknis untuk menunjang keberhasilan, pendidikan di atas pada hakikatnya terdapat tiga fungsi sosial kependidikan yang mencakup antara lain: (1) fungsi untuk menyiapkan peserta didik menjadi warga negara yang “Berjiwa entrepreneur”, (2) fungsi untuk membekali peserta didik yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya dengan kemampuan dan keterampilan fungsional, dan (3) fungsi untuk membekali peserta didik untuk dapat melanjutkan pelajarannya.Ketiga fungsi sosial kependidikan ini menunjuk kepada pentingnya para perencana kurikulum untuk selalu melihat kecenderungan perkembangan masyarakat, negara dan dunia kerja. Gambar 1 Taksonomi keterkaitannya 108 Sumber: Levin, Henry M. 1976 The Limits of Educational Reform, New York: David McKay, Co., Inc. Dalam Soedjatmoko et. Al. Ibid hal 149. Dengan demikian pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk menambah pengetahuan, tetapi juga meningkatkan ketrampilan tenaga kerja, dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas kerja. Produktivitas kerja disamping dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat. 3. EKSISTENSI KUALITAS MANUSIA BERMULTIDIMENSI Kualitas dari organisasi seperti visi dan misi, strukturnya, sasarannya, outputnya, tergantung dari kualitas manusianya. Manusia sebagai sumber dari sifat, sikap, dan perilaku organisasi. Tanpa manusia, organisasi tidak pernah bersikap dan berperilaku. Manusia adalah roh dari organisasi. Secara fitrah manusia adalah makhluk yang paling unggul di atas segala makhluk. Struktur ekonomi (dunia kerja) dengan persyaratan Kualifikasi Tenaga Kerja dan Iptek PBM (Proses Belajar Mengajar) pada suatu lembaga pendidikan Sistem Nilai Sosbudpolhankamagama Kemampuan dan karakteristik lulusan Masyarakat/ Keluarga 109 Keunggulan manusia selain memiliki potensi koginiti (rasio) yang akan melahirkan daya berpikir,daya kritis dan analitis , juga afektif (rasa) yang akan melahirkan budi pekerti, moral dan psikomotorik ( performance) yang tercermin dari segi ketrampilan atau skill tertentu. Dari sisi lain dikatakan manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang berbudaya dan makhluk yang hidup dengan nilai-nilai norma, kembali pertanyaan kita: Sudah benarkah kenyataannya? Di sinilah titik masalahnya jika benar manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang berbudaya dan makhluk yang hidup dalam nilai-nilai norma berarti akan terjalinlah satu tali kasih antara sesama makhluk dan tali kasih antara makhluk dalam arti khusus adalah manusia dengan Pencipta maupun tali kasih antara manusia dengan alam sekitarnya yaitu flora dan fauna, sebab alampun termasuk jenis makhluk yang diciptakan oleh Pencipta untuk diatur dan dikelola manusia sebagai sarana kelangsungan hidupnya. Begitu juga di dalam sistem manajemen dalam sebuah organisasi. Manajer sebagai penguasa organisasi adalah sebagai pengatur, pembina dari anggota organisasi, oleh karenanya ia sebagai pusat kesetimbangan dari organisasi. Oleh karena itu manajer harus bisa memelihara, membina, dan mendidik sumber daya manusia ke arah perubahan yang lebih baik. Bila manajer dalam melakukan aktivitasnya hanya mementingkan nafsu dirinya 110 tanpa peduli dengan anggota organisasi struktur di bawahnya yang terjadi adalah gejolak, konflik, dan keresahan. Jadi jelaslah fokusnya bila kita menginginkan organisasi yang harmonis tanpa gejolak yang berarti , manajerlah pertama-tama yang dituntut terlebih dahulu kesadarannya. Bila kita berbicara tentang kesadaran maka kesadaran tidak dapat dilakukan dengan logika atau akal semata melainkan dengan sebuah rasa. Sebab munculnya gejolak dan kegoncangan dalam organisasi hanya dapat dirasakan barulah jalan keluarnya dengan pikiran (logika). Keterkaitan kesadaran adalah budi pekerti ataupun akhlak luhur dari manajer. Dan inilah panggilan jiwa dan tanggungjawab moral bagaimana setiap manager berusaha agar mampu melakukan anitisipasi dalam mengatasi adanya ketidakpuasaan dari pihak tertentu agar semua unsur dalam perusahaan merasa memiliki guna memacu kinerjanya. Secara normatif Manajemen dari sebuah organisasi menghendaki penataan terhadap potensi manusia yang cukup setimbang sempurna di antara anggota organisasi, struktur, dan lingkungan. Dengan demikian jangkauan manajemen disusun atas kepentingan bersama, yang saling mencintai sesama anggota organisasi, langkah-langkah bergerak aktif, berproses menerobos, dan berusaha mengatasi masalah-masalah organisasi yang mampu memberikan pemecahan tepat guna, yaitu manajemen yang sikap dan perilakunya tidak mengundang gugatan pihak kaum lemah. Atau 111 dengan kata lain manajemen yang selalu senantiasa memperhatikan nasib anggota organisasi sampai ke tingkat bawah. Yang terhimpun dalam organisasi adalah manusia-manusia yang beraneka ragam pendirian, keyakinan atau pendapat. Tugas manajer adalah mempersatukan perbedaan-perbedaan tersebut satu kesatuan pandang untuk menjangkau masalah-masalah organisasi yang mampu memecahkan masalah secara tepat guna. Sistem penghimpunan potensi ini diibaratkan jari-jari tangan yang berbeda panjang pendeknya tetapi melekat dalam satu kesatuan pada pangkal telapak tangan, yang di antara jari-jari tersebut saling kerjasama bahu membahu dan tidak pernah ada penindasan di antara yang lain. 4. STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA. P engembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) dalam organisasi pada dasarnya suatu bentuk usaha untuk meningkatkan daya tahan dan daya saing organisasi terhadap ancaman lingkungan eksternal dan suatu usaha untuk meningkatkan daya innovative untuk menciptakan peluang. Dengan demikian PSDM dalam organisasi merupakan bentuk usaha pengembangan yang bersifat integral, baik yang menyangkut SDM sebagai individu dan sebagai sistem, maupun organisasi sebagai wadah SDM untuk memenuhi kebutuhannya. Mondy & Noe ( 1995) menyebutkan bahwa: ”pengembangan sumberdaya manusia adalah sebagai upaya manajemen yang terencana dan dilakukan secara berkesinambungan 112 untuk meningkatkan kempetensi pekerja dan unjuk kerja organisasi melalui program pelatihan, pendidikan dan pengembangan.” Usaha PSDM yang integral ini, umumnya ada dasar yang direkomendasikan sebagai PSDM (Jons, 1981 dalam Sarwono, 1993). (1) Pelatihan bertujuan mengembangkan individu dalam bentuk peningkatan keterampilan, pengetahuan, dan sikap, (2) Pendidikan, bertujuan meningkatkan kemampuan kerjanya dalam arti luas, sifat pengembangan ini umumnya bersifat formal dan sering berkait dengan karier, (3) Program Pembinaan bertujuan mengatur dan membina manusia sebagai sub sistem organisasi melalui program-program perencanaan dan penilaian seperti manpower planning, performance appraisal, job analysis, job classification, dan sebagainya, (4) Recruitment, bertujuan mendapatkan SDM sesuai dengan kualifikasi kebutuhan organisasi dan sebagai salah satu alat bagi organisasi dalam pembaharuan dan pengembangan, (5) Perubahan sistem, bertujuan untuk menyesuaikan sistem dan prosedur organisasi, sebagai jawaban untuk mengantisipasi ancaman dan peluang faktor eksternal. Perubahan ini akan dipakai sebagai alat bagi SDM dalam meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerjanya, (6) Pengembangan organisasi, bertujuan untuk menjembatani perubahan-perubahan dan pengembangan baik dari sisi internal maupun eksternal. 113 Pengembangan SDM tidaklah dapat dilaksanakan secara sembarangan, mengingat pentingnya peran manusia dalam menunjang efektivitas organisasi dan mengingat masalah yang dapat timbul sehubungan dengan SDM itu. Menurut Sarwono (1993) pengelolaan SDM akan semakin rumit bila organisasi itu merupakan perusahaan yang memiliki aset besar, yang produktivitasnya tergantung pada efektivitas kerja para karyawannya. Ada hubungan timbal-balik yang berkait satu sama lain, antara pengembangan organisasi sebagai sistem dan pengembangan manusia sebagai sumber daya. Kualitas organisasi ditentukan oleh SDM-nya, dan PSDM-nya ditentukan oleh tingkat pertumbuhan dan perubahan organisasinya. 3. Penutup Kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia, mempunyai posisi yang sangat dibutuhkan dalam upaya menjembatani perkembangan dunia yang semakin transparan dan global. Untuk itu perlu ada strategi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, yang mengarah pada pembangunan sumber daya manusia yang seutuhnya baik pembangunan dalam bidang jasmani maupun rohani. 2. Hal itu dilakukan melalui proses pendidikan,pelatihan dan pembinaan serta menciptakan kondisi yang dibangun oleh setiap manajer dalam suatu organisasi baik bisnis maupun organisasi publik secara terstruktur dan profesional. 114 3. Pendekatan mutu modal manusia (human capital quality ) menekankan fngsi manusia (karyawan) sebagai faktor produksi yang amat penting selain modal finansial, teknologi , material. Lemahnya kemampuan mutu SDM akan membawa implikasi pada proses produksi , daya kreasi dan keberlangsungan suatu organisasi dalam menghadapi era kompeteisi dan tantangan masa global. 115 DAFTAR PUSTAKA Mondy ,R.W & Noe III,RM,1995,Human Resource Management, Massahusetts, Allyn & Bacon Pangestu, Mari, 1993, Perekonomian Asia Timur, Jakarta, Prisma No.4 th. XXII. Riva’i, Veithzal, 2004, Manajemen Sumberdaya Manusia untuk Perusahaan : dari teori ke praktek, Jakarta ,RadjaGrapindo Persada. Sarwono, Salito, 1993, Sumberdaya Manusia kunci Sukses Organisasi, Jakata ,Lembaga Manajemen Univeristas Indoensia. Soedjatmoko, 1991, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, Jakarta Gramedia. Susilo , Heru 1995, Mencari Starategi Pengembangan Sumberdaya manusia dalam Organisasi ,Malang ,FIA Unibraw dan IKIP Malang. Usmara, A (ed) , 2002, Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, Amara books. === 116 PERANAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DALAM PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA M a k a l a h Disusun Oleh : H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERISTAS PADJADJARAN 2007 117 KATA PENGANTAR Tema yang diangkat dalam makalah ini adalah tentang “Peranan Pendidikan dan Pelatihan dalam pengembangan Sumberdaya Manusia’. Pendidikan dan pelatihan sebagai salah satu instrumen yang dapat meningkatkan pengembangan SDM dirasa amat penting keberadaannya, mengingat masih banyak rendahnya mutu SDM kita dibandingkan dengan negara –negara lain. Di tengah-tengah berbagai sumber kekuatan atau berbagai jenis potensi untuk program yang mengandung potensi untuk menimbulkan perubahan organisasi, maka isu kritisnya adalah seberapa kuat stimulan yang bersumber dari peraturan dan program pendidikan dan pelatihan mampu berperan sebagai “pemicu” dalam perubahan organisasi atau pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Kebijakan tentang prioritas pembangunan Indonesia mengorientasikan pada : “Pembangunan sumber daya manusia agar makin meningkat kualitasnya sehingga dapat mendukung pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dengan pendidikan nasional yang makin merata dan bermutu, disertai peningkatan dan perluasan pendidikan keahlian yang dibutuhkan berbagai bidang pembangunan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi yang makin mantap”. Dalam pembinaan personil selanjutnya, pimpinan perlu mengembangkan strategi self management bagi personil yang telah selesai mengikuti pendidikan dan pelatihan, supaya mereka mampu menyelesaikan pekerjaan sendiri, melalui tanggung jawabnya bertindak melalui manipulasi peristiwa internal dan eksternal. Demikian makalah yang penulis susun, semoga dapat melengkapi bahan kajian yang telah disusun oleh para penulis lainnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Bandung, Mei 2007 Penulis. 118 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................ i DAFTAR ISI ............................................................ ii 1. PENDAHULUAN ............................................... 1 2. ANALISIS SWOT DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA ............................... 3 3. KUALIFIKASI SDM YANG DIPERLUKAN MASA DEPAN ..................................................... 9 4. STRATEGI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN SDM ..................................... 11 5. KESIMPULAN .................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ................................................. 21 119 PERANAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA 1. PENDAHULUAN Pengaruh perkembangann sains dan teknologi dalam berbagai kehidupan semakin meningkat, terutama karena desakan tuntutan masyarakat baik di level lokal,nasonal maupun global. Untuk menyesuaikan dan mengantisipasi pengaruh tersebut diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Berkaitan dengan hal tersebut, pembangunan nasional Indonesia saat inipun memerlukan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Personil yang telah ada sebagian besar masih belum mampu menyelesaikan pekerjaan pada jenjangnya masing-masing. Oleh sebab itu sasaran umum Pembangunan Jangka Panjang Kedua untuk menciptakan kualitas manusia dan kualitas masyarakat merupakan keputusan strategis yang seyogayanya diimplementasikan dalam berbagai sektor Pemerintahan. Pengelolaan sumber daya manusia tidak hanya terpusat pada kegiatan seleksi, penempatan, pengupahan, pelatihan, transfer, promosi serta berbagai tindakan lainnya, yang fokusnya adalah pada kepentingan organisasi kerja. Tugas utama dari pengelolaan sumber 120 daya seringkali hanya mengusahakan agar personil dapat bekerja secara efektif. Perhatian yang terlampau terpusat pada kepentingan organisasi kerja cenderung disertai pengbaian hak-hak mereka untuk diperlakukan secara manusiawi. Strategi pembangunan yang manusiawi, bukan saja memperhitungkan peningkatan kualitas sumber daya manusia, dikenal dengan istilah strategi pengembangan sumber daya manusia atau human resources development. Tapi dalam artian yang luas pengembangan sumber daya manusia terutama meliputi pendidikan dan pelatihan, peningkatan kesehatan manusiawi, yang menyegarkan dalam organisasi, dan pertemuan ilmiah seperti seminar, simposium perlu untuk ditingkatkan. Ciri yang konkrit dari program pendidikan dan pelatihan dalam peningkatan mutu unjuk kerja personil selalu berkembang, karena kebutuhan organisasi kerja dan masyarakat selalu berubah.Kekuatan potensial yang dapat menimbulkan perubahan adalah yang saling berkaitan. Namun kegagalan bisa terjadi manakala saling tumbang tindih yang satu dengan yang lain, maka mungkin saja program pendidikan dan pelatihasn merupakan salah satu bentuk secara sengaja, tidak mampu menimbulkan perubahan yang substansial dalam rangka suatu rekayasa. Penelaahan seperti ini adalah tidak memadai apabila analisisnya terbatas pada efisiensi dan efektivitas internal sebagai sebuah program dengan sistem tertutup. Persoalan akan terungkap lebih jelas, jika dianalisis pula faktor eksternal, terutama faktor 121 organisasi kerja dalam mendayagunakan personil yang telah melalui proses pendidikan dan pelatihan. Di tengah-tengah berbagai sumber kekuatan atau berbagai jenis potensi untuk program yang mengandung potensi untuk menimbulkan perubahan organisasi, maka isu kritisnya adalah seberapa kuat impuls yang bersumber dari peraturan dan program pendidikan dan pelatihan yang mampu berperan sebagai “pemicu” dalam perubahan organisasi atau pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 2. ANALISIS SWOT DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA . Dalam pengembangan SDM banyak faktor yang mempengaruhi terhadap keberhasilan maupun kegagalan dalam meningkatkan kinerja organisasi. Berbagai analisis yang digunakan dimaksudkan untuk melakukan telaah terhadap berbagai situasi atau keadaan lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal. Salah satu instrumen penting mengantisiapsi situasi dan kondisi perlu menggunakan analisis SWOT seperti yang ditegaskan oleh Hunger dan Wheelen, “The factor are most importance to the corporation’s future are refered to as strategic factors and summarized with the acronym S.W.O.T, standing for Strength, 122 Weaknesses, Oppotunities, and Threats (Hunger dan Wheelen, 1993:12). Analisis SWOT mengembangkan strength (kekuatan), weaknesses (kelemahan), oppotunities (kesempatan), dan threats (ancaman). Pendekatan ini berusaha mengembangkan kekuatankekuatan dan kelemahan-kelemahan internal organisasi (Looking In), dengan memperhatikan kesempatan-kesempatan dan ancamanancaman yang ada dari lingkungan eksternal (Looking Out). Dalam makalah ini dibicarakan khusus yang berkenaan dengan Sumber Daya Manusia di Lingkungan Pemerintahan. Komponen tersebut akan dibahas berikut ini satu per satu. 1. Kekuatan ( Strength ) Faktor yang menjadi kekuatan dalam pengembangan dan pembinaan SDM adalah setiap kebijakan yang diputuskan pemerintah baik dalam bentuk Program Pembanguan Jangka Menengah Nasional , maupun UU dan Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai pedoman bagi pada pelaksana di lapangan . Prioritas pembangunan yang berkaiktan dengan SDM adalah bahwa: “Pembangunan sumber daya manusia agar makin meningkat kualitasnya sehingga dapat mendukung pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dengan pendidikan nasional yang makin merata dan bermutu, disertai peningkatan dan perluasan 123 pendidikan keahlian yang dibutuhkan berbagai bidang pembangunan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi yang makin mantap”. Di Indonesia telah diadakan berbagai pendidikan dan pelatihan dari berbagai bidang atau profesi dengan maksud meningkatkan ketrampilan, pengetahuan dan profesionalisme pegawai agar diperoleh kinerja yang optimal. Mutu unjuk kerja personil setelah bertugas kembali menunjukkan kemampuan menyelesaikan tugas dengan rasa percaya diri yang cukup tinggi. Dengan demikian kita telah memiliki kekuatankekuatan berupa peraturan pendukung, sejumlah personil yang telah dilatih, dan ketrampilan kompetitif yang baik. 2. Kelemahan ( weaknesses) Dalam pengembangan dan pembinaan Aparatur Negara masih ditemui sistem manajemen yang belum efisien dan efektif. Di antara kelemahan atau kendala yang dihadapi (U. Husna, 1995) adalah: a) Pengkajian mutu unjuk kerja personil di lingkungan Pemerintah Kabupaten/kota yang baru sampai pada taraf melakukan investarisasi pendidikan kedinasan yang telah diikuti personil dan memberikan rekomendasi untuk mengikuti seleksi pendidikan dan pelatihan berikutnya. b) Mutu unjuk kerja personil yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagian masih rendah karena masih terdapat keraguan dalam menyelesaikan tugas. Mereka memerlukan penambahan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan jabatannya. Perilaku personil setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan tidak seluruhnya dapat memberikan kontribusi untuk pengembangan organisasi. 124 c) Persiapan Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan tidak melibatkan seluruh penatar atau instruktur. d) Asumsi panitia tentang kemampuan penatar dalam memahami silabus berakibat proses belajar mengajar tidak seluruhnya menarik perhatian peserta dalam mencapai tujuan. e) Penyediaan fasilitas dalam memberikan pelayanan kepada learners terlebih-lebih pada saat peralatan terbatas belum terlaksana dengan baik. f) Substansi Kurikulum belum menyentuh seluruh kebutuhan organisasi dan pertumbuhan kepribadian peserta. g) Metode yang dipergunakan dalam melaksanakan proses belajar mengajar dalam persepsi peserta belum dapat membangkitkan keakraban emosional dan memberikan kepercayaan intelektual. walupun demikian prosesnya telah diupyakan disesuaikan dengan keadaan lapangan. h) KKPRK tidak seluruhnya dapat dijadikan pedoman untuk memonitor tugas setelah mereka kembali, karena belum tentu menduduki posisi seperti yang direncanakan KKPRK. i) Pelaporan peserta setelah mengikuti pendidiikan dan pelatihan belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk mementau kegiatan mereka. j) Pertimbangan dalam Penempatan Personil baru dilakukan bila ada formasi. k) Desiminasi alumni yang tidak proporsional menyulitkan penempatan personil sesuai dengan kebutuhan organisasi. l) Pembinaan personil di lingkungan Pemerintah Daerah mengalami benturan peraturan.Pembinaan Personil seringkali hanya ditujukan kepada personil yang menunjukkan keinginan untuk tumbuh dan berkembang. Adapun dari sisi manajemen pembelajaran , dapat dilihat dari kelemahan , al.: a) Masih melemahnya koordinasi dalam penyusunan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan, dan pengendalian sehingga mengakibatkan kurang adanya konsistensi dan keterpaduan yang menyulitkan pencapaian tingkat daya guna dan produktivitas yang optimal. b) Kendala kelembagaan adalah belum dapat berfungsinya secara efektif dan efisien beberapa satuan organisasi dalam aparatur 125 pemerintah; belum tertatanya pembagian tugas dan wewenang antar instansi vertikal di daerah dengan dinas daerah sehingga pelaksanaan urusan pembangunan di daerah masih ada yang tumpang tindih serta kurang mendorong pelaksanaan otonomi daerah yang bertitik berat pada tingkat II. c) Masih melemahnya kualitas pegawai dan administrasi kepegawaian negeri seperti antara lain kecilnya persentase tenaga sarjana dan jumlah peserta pendidikan dan pelatihan dalam formasi kepegawaian. Demikian pula, program dan penyelenggaraan diklat yang belum memadai dan terencana baik, serta belum sepenuhnya dikaitkan secara taat azas dengan kebijaksanaan pengembangan karier. d) Dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, perilaku aparatur belum sepenuhnya menunjukkan semangat melayani, mengayomi dan bersikap terbuka. 3. Kesempatan ( opportunities ) Perkembagan dunia semakin terbuka yang memerlukan kepekaan bagaimana memamfaatkan berbagai peluang yang ada. Ada sebuah pandangan yang menyatakan bahwa peluang yang terbuka tidak memiliki fungsi apa-apa tanpa dapat memanfaatkannya secara pro aktif. Kesempatan-kesempatan yang ada dapat dipetik dari ekspansi global adalah bagaimana kita mampu 126 mengakses berbagai informasi dunia yang dapat membantu mengembangkan SDM kita. Berbagai kegiatan yang berorientasi pada pengembangan SDM, baik dalam bentuk pendidikan,pelatihan, seminar ,workshop baik yang diselenggrakan lembaga pemerintah maupun non pemerintah memberi ruang gerak bagi setiap aparat maupun manajer untuk terus dapat meningkatkanb kalitas` sumber daya manusia. Kemampuan SDM kita dalam penguasaan Iptek memberikan kesempatan untuk merebut pasar dunia. Bahkan lulusan SDM kita dari luar negeri dan dalam negeri memberikan sponsor pendidikan dalam peningkatan mutu SDM. 4. Ancaman ( threats ) Ancaman yang utama dari luar adalah perkembangan Iptek, berupa arus teknologi komunikasi menghilangkan batas ruang dan waktu. Ketika memasuki pasar bebas, maka perlu antisipasi dampak negatif dari ekspansi tersebut. Hal ini akan terasa ketika terjadinya persaingan yang semakin tajam menghendaki produk maupun layanan harus berorientasi pasar . Pengaruh global bukan hanya berakibat tertinggalnya kita dalam teknologi tetapi akan mempengaruhi budaya bangsa. Adanya budaya kerja yang menghambat dapat mengakibatkan kurangnya kepercayaan para investor dan penyandang dana (donatur) terhadap pemerintah . 127 3. KUALIFIKASI SDM YANG DIPERLUKAN MASA DEPAN Tuntutan kebutuhan masyarakat yang akan datang ditandai dengan dominasi teknologi komunikasi, sebagian besar pekerjaan terletak pada sektor jasa dan informasi. Informasi merupakan kekuatan dan kekuasaan pada zaman pasca modern. Dunia sedang bergulat dalam masa transisi menuju ekonomi jasa. Teknologi komunikasi menghilangkan batas ruang dan waktu. Peristiwa yang terjadi di seluruh dunia mempengaruhi reaksi kita. Kita ikut terharu oleh mayat-mayat yang tertimpa bencana di belahan bumi yang lain. Jaringan telekomunikasi telepon, telek, faksimili, radio, televisi, komunikasi (gabungan komputer dan telekomunikasi), international network (internet) secara eksponensial memperbanyak frekuensi kontak kita. Pertukaran informasi di antara penduduk dunia berlangsung dengan cepat dalam jumlah yang banyak. Manusia harus bereaksi dengan cepat, padahal alternatif yang tersedia sangat beragam. Karena luasnya perubahan yang terjadi seluruh aspek kehidupan kita terpengaruh keluarga, pekerjaan, pendidikan, rekreasi, bahkan kehidupan beragam. Manusia dikatakan sehat secara psikologis bila dapat memberikan reaksi yang tepat pada lingkungannya, bila ia “well adjusted”. Kemampuan beradaptasi memberikan kesan bahwa ia mampu memahami dan mengendalikan lingkungan. Ia memiliki 128 ketrampilan dan memperlihatkan unjuk kerja yang optimal. Mutu unjuk kerja yang diharapkan adalah tercapainya tingkat kematangan dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada personil. Hersey dan Blanchard (1980:162) mengemukakan variasi kematangan seseorang ditinjau dari tanggung jawab sebagai berikut: (1) individuals who are neither willing nor able to take responsibility. (2) individuals who are willing but not able to take responsebility (3) individuals who are able but not willing to take responsibility, and (4) individuals who are able to take responsibility. Jadi tingkat kematangan seseorang yang memperlihatkan mutu unjuk kerja yang tinggi adalah mereka yang memiliki keinginan bertanggung jawab dan dapat bertanggung jawab. Kemudian ditegaskannya dua faktor kematangan yaitu, (1) “job maturity-ability and technical knowledge to do the task, and (2) psychological maturityfeling of self confidence and self respect about one self as and individual” (Hersey dan Blanchard, 1980:163). Jadi orang yang matang atau memperhatikan mutu unjuk kerja yang tinggi tidak hanya memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengerjakan tugas, tapi juga memiliki rasa kepercayaan pada diri sendiri dan merasa baik dari apa yang dilakukannya. Mampu mengadakan segala perubahan karena salah satu ciri kehidupan adalah perubahan. Mereka yang tidak mengikuti 129 perubahan zaman akan tinggal menjadi manusia yang konservatif dan menghalangi kemajuan. Personil yang memiliki mutu unjuk kerja tinggi akan lebih peka (sensitif) terhadap nilai-nilai yang sifatnya rohani atau spiritual, pertumbuhan kepribadian tidak menyimpang dengan norma. 4. STRATEGI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN SDM Untuk pembinaan serta pengembangan sumber daya manusia diperlukan suatu strategi tertentu, sehingga hasil yang diharapkan bisa tercapai. Henry Mintzberg yang menjelaskan bahwa, A strategy is the pattern or plan that integrates an organization’s gloals, policies, and action sequences into a cohesive whole. (Henry Mintzberg, 1982:5). Farky Gaffar menegaskan bahwa strategi adalah mekanisme organisasi yang menjabarkan visi secara operasional dan menterjemahkan kebijaksanaan dalam bentuk tindakan nyata. Strategi adalah cara yang tepat untuk melaksanakan kebijakan (1994:7). Strategi yang dapat ditempuh dalam pembinaan pengembangan SDM dalam manajemen dimulai dari pengkajian kebutuhan (need assesment) untuk suatu program, persiapan dan pelaksanaan pendidikan, evaluasi dan pembinaan untuk meningkatkan effisiensi dan efektivitas implementasi pendidikan dan pelatihan. Mengembangkan kerja sama dengan pihak pemakai untuk mendukung pelaksanaan pendidikan dan pelatihan merupakan 130 strategi yang cukup penting. Kegiatan tersebut akan dibahas satu persatu berikut ini. 1. Pengkajian Kebutuhan (Need Assesment) Salah satu kegiatan dalam pengkajian ini adalah mengkaji mutu unjuk kerja personil. Agar perencanaan pendidikan dan pelatihan mencapai sasaran, maka organisasi pemakai perlu mengkaji mutu unjuk kerja personil di lingkungannya secara komprehensif. Daniel L. Stufflebeam dkk (1985:6-7) mengemukakan beberapa definisi kebutuhan dalam mengkaji kebutuhan adalah sebagai berikut: Discrepancy view: A need is discrepancy between desired performance and observed or predicted performance”. Democratic view: A need is a charge desired by a mayority of some referance group. Analytic View: A need is direction in wich improvement can be predicted to accur, given information about current status. Diagnostic view: A need is something who absence or defiency proves harmfull. Kebutuhan akan pendidikan dan pelatihan bukan hanya dilakukan secara kuantitatif tapi perlu dilakukan secara komprehensif yakni dengan mengkaji dan menginventarisasi mutu unjuk kerja personil yang ada sekarang dengan yang seharusnya untuk mampu menyelesaikan pekerjaan. 2. Persiapan dan Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan memerlukan persiapan. Di antara persiapan itu adalah membuat kebijakan pertemuan 131 dengan penatar, membuat jadwal, mempersiapkan fasilitas proses belajar mengajar. Untuk membuat persiapan pendidikan dan pelatihan Diklat perlu mengadakan pertemuan dengan seluruh penatar. Kita tidak boleh berasumsi bahwa silabi sudah cukup memadai untuk pegangan menyampaikan materi. Pertemuan dengan seluruh penatar pada dasarnya untuk mencegah terlalu jauh menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan. Koordinasi di antara adanya pertemuan bersama semua gerak langkah terkoordinasi dengan baik. Dalam hal seperti ini perlu sikap hati-hati dalam membuat suatu asumsi seperti yang disarankan oleh Michael W. Apple (1995:153), “We should cautions of technical solutions to political problems. We should cautions about fine-sounding words that may not take account of daily lives of the people who work in this institutions”. Tantangan dalam pengembangan program dan pelaksanaan kurikulum adalah faktor penatar, panitia, dan sistem organisasi. Dalam kondisi seperti ini dituntut tanggungjawab pimpinan sebagai perancang program. “In dedigning profesional development programs for those responsible for instructions, instructional leaders should address the technical skills needed to develop and implement an outcome-based instructional system...” (Kathleen A. Fitzpatrick, 1995:127). Dari pembahasan di atas jelaslah bahwa kurikulum perlu diupayakan untuk dihubungkan dengan tugas personil di lapangan 132 yang menyangkut berbagai ketrampilan. Keterhubungan itu memang perlu diperhatikan dalam merancang kurikulum. Substansi Kurikulum perlu menyentuh seluruh kebutuhan organisasi dan pertumbuhan kepribadian peserta. Jika dilihat dari materi kurikulum, agar peserta mengalami perubahan yang mendasar sebagai aparat pemerintah, maka kurikulum seyogyanya secara substansi memuat tentang: tecnical skill, conceptual skill, human skill, political skill, dan personal growth. Ketrampilan teknis (technical skill) yaitu kemampuan untuk menggunakan alat-alat, prosedur dan teknik dari suatu bidang kegiatan tertentu. Ketrampilan manusiawi (human skill) yaitu kemampuan untuk bekerja dengan orang lain, memahami dan merancang serta mendorong orang lain. Orang lain itu termasuk bawahan. Ketrampilan konseptual (conceptual skill) adalah kemampuan mengkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh kepentingan dan kegiatan organisasi sehingga organisasi dapat dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Ketrampilan politis (Political skill) dimaksudkan adalah ketrampilan yang mampu memperoleh kekuatan untuk mencapai tujuan organisasi. Ketrampilan politis termasuk menentukan hubungan yang benar dan mempengaruhi orang yang benar. Ketrampilan politis termasuk memenangkan pengaruh dari orang lain, merebut kekuatan ataupun mempertahankan kekuatan. 133 Ketrampilan ini memungkinkan seorang untuk terus mengembangkan kariernya. “Recently, Pfeffer (1989) suggested that a political focus may be an important, yet overlook. persfective in understanding career success”. (Timothy A. Judge, 1994:44). Pertumbuhan kepribadian (personal growth) diharapkan tumbuh sikap yang positif terhadap keseluruhan tugas pengabdiannya, dan kedewasaan bertindak. Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang pemimpin. Penampilan untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi stafnya. Peserta sebagai input diasumsikan sudah memiliki (K) Knowledge: Pengetahuan, (S) Skill: Ketrampilan, dan (A) Atitude: Sikap. Setelah selesai mengikuti pendidikan diharapkan lebih menekankan pada perubahan Atitude (Sikap), setelah itu Skill (Ketrampilan), dan terakhir memiliki knowledge (pengetahuan). Upaya untuk menguasai KSA menjadi ASK tidak hanya dalam semboyan tapi diwujudkan dalam setiap penyampaian aspek kurikulum, dengan terintegratif dalam setiap proses belajar mengajar. Aspek tersebut memang tidak terlihat secara eksplisit dalam kurikulum, aspek tersebut seakan-akan tersembunyi di dalam setiap piranti, dan nyata hingga tidak perlu penyampaian secara monolitik. Performance instruktur mencakup aspek-aspek: a) Kemampuan profesional, b) Kemampuan sosial, c) Kemampuan 134 personal. Ketiga standar umum ini sering dijabarkan sebagai berikut: (Johnson, 1980). Kemampuan profesional seorang pelatih atau instruktur meliputi: (1) Penguasaan materi pelajaran yang terdiri dari bahan yang akan diajarkan, dan konsep dasar keilmuan dari bahan yang diajarkan itu: (2) Penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan; (3) Penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa. Kemampuan sosial menyangkut kemampuan menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai instruktur. Kemampuan personal (pribadi) mencakup: (1) Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai seorang pelatih beserta unsurunsurnya: (2) Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang instruktur: (3) Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya panutan dan teladan bagi peserta latihan. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa profesi instruktur perlu mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. Sehingga tidak semua orang mempunyai peluang untuk tampil menyelenggarakan proses belajar mengajar. Metode yang dipergunakan dalam melaksanakan proses belajar mengajar dalam persepsi peserta seyogyanya dapat membangkitkan keakraban emosional dan memberikan kepercayaan intelektual. 135 Evaluasi atau penilaian dilakukan pada dasarnya untuk mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilakukan, dalam upaya menyerap kurikulum yang telah ditetapkan. Dengan evaluasi dapat diektahui bagian kurikulum yang dapat dikembangkan terutama yang masih lemah. Evaluasi juga dapat mengetahui faktor penyebab kelemahan kurikulum dan proses belajar mengajar. Dengan demikian dapat diupayakan cara pemecahannya. 3. Penempatan dan peningkatan Kinerja Pegawai. Penempatan kembali personil setelah mengikuti pendidikan merupakan sebagai salah satu tindakan manajemen. Penempatan ini menunjukkan berbagai variasi. Ada di antara mereka yang dipromosikan atau ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari sebelum mengikuti pelatihan. Ada yang menempati posisi semula yang sama, dan ada pula yang dialihtugaskan pada posisi lain dengan eselon yang sama. Salah satu tugas Bagian Personalia adalah mengatur penempatan pegawai dan terus mengatur personil selama berada dalam organisasi. Prinsip yang dikembangan the right man on the right place , harus menjadi acuan bagaiaman menempatkan kembali pegawai yan telah mengikuti diktlat tersebut .Tentu harapan pegawai dapat ditempatkan sesuai dengan skill, ketrampilan dan kemampuan kerjanya. 136 Dalam pembinaan personil pimpinan perlu mengembangkan strategi self management bagi personil yang telah selesai mengikuti pendidikan dan pelatihan, supaya mereka mampu menyelesaikan pekerjaan sendiri, melalui tanggung jawabnya bertindak melalui manipulasi peristiwa internal dan eksternal. Mereka dapat mengubah dan mengembangkan perilakunya sesuai dengan potensi yang telah dimilikinya. Bahkan diharapkan mereka dapat komitmen dengan perilaku positif yang dicapainya. Nahoney & Arnkoff, menegaskan bahwa “The self management literature treats individuals as if they were isolated system, who sole task are those of observing their own behaviors, setting up cues and reimforcing and punishing themselves” (tsui, Ashford, 1974:96). Perubahan lingkungan terjadi karena adanya penyederhanaan dari hal-hal yang dipandang sangat kritis dalam organisasi. Organisasi perlu menyesuaikan diri, termasuk perubahan di lingkungan dan staf (Gutherie et-al, 1993:889). Pimpinan perlu memotivasi pegawai setelah Pendidikan dan Pelatihan, termasuk memperhatikan faktor yang sangat penting dalam peningkatan kualitas manusia adalah kesehatan personil dalam organisasi. Menjaga kesehatan personil dalam artian yang luas termasuk kesehatan lingkungan, dan mental merupakan upaya pembinaan sumber daya manusia. 137 Personil yang matang tanpa dukungan dan organisasi yang mapan juga tidak akan mendatangkan produtkivitas yang tinggi. Agar produktivitas organisasi semakin meningkat, maka penggunaan (deployment) pegawai setelah pelatihan perlu dilakukan secara tepat. 5. KESIMPULAN Pengembangan sumber daya manusia akan berjalan dengan efektif bila organisasi penyelenggaraan mengelolanya secara profesional. Salah satu upaya pengembangan SDM adalah pendidikan dan pelatihan. Untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan diperlukan suatu strategi. Strategi yang dapat ditempuh tetap mengacu pada mutu, di mana produk akhir diukur dan memenuhi standard tertentu. Standard bagi personil diukur dari kemampuan melaksanakan tugas sesuai dengan eselon tertentu. Mutu yang akan ditingkatkan adalah mutu unjuk kerja personil agar mereka lebih produktif dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggungjawabnya sekarang atau untuk masa yang akan datang. Upaya perbaikan mutu unjuk kerja yang tuntas perlu dilakukan secara terus menerus, mulai dari mengkaji mutu unjuk kerja, melaksanakan strategi pendidikan dan pelatihan, menempatkan kembali, mengevaluasi dan membina mutu unjuk kerja setelah selesai pendidikan dan pelatihan. Dalam mengkaji mutu unjuk kerja personil dilakukan kegiatan identifikasi mutu unjuk kerja personil dengan instrumen yang validitas dan 138 reliabilitasnya telah teruji, membuat kebijakan dan prioritas, menentukan program yang ditempuh. Lembaga pendidikan yang bertugas meningkatkan mutu unjuk kerja personil seyogyanya mempertimbangkan hasil kajian mutu unjuk kerja personil yang telah diperoleh, sebagai bahan pengayaan kurikulum. Kurikulum yang dipakai adalah koheren yang secara substantif mensikronisasikan kebutuhan individu dengan kebutuhan organisasi sebagai tujuan yang akan dicapai. Kurikulum, proses pendidikan dan pelatihan, dan evaluasi merupakan suatu sistem yang harus direncanakan secara strategis, sehingga dalam pelaksanaan tidak banyak mengalami benturan dan hambatan. Instruktur dan peserta merupakan komponen yang sangat menentukan. === 139 DAFTAR PUSTAKA Asmara, U. Husna, 1995, Permasalahan Sumberdaya Aparatur : Tinjauan dari Aspek Pendidikan dan Pelatihan, Pontianak, LAN dan Pemda Kalbar. Hersey ,Paul and Blanchard, Kennet.H, 1980, Management of Organizational Behavior, Utilizing Human Resources, New`Delhi , Prentice Hall of India Private Limited . Hunger,J. David dan Wheelen, Thomas L, 1993, Strategic Management, Addison Wesley Publishing Caompany,Inc. Judge, Timothy A & Robert D Bretz ,1994, Political Influence Behavior and Career Success, Journal of Management 20(1). Mintzberg, Henry and Brian Quinn James, 1992,The Stategy Process, Concepts and Contexts, New Jersey USA, Prentice Hall Inc. Nawawi, Hadari, 2001, Manajemen Sumberdaya Manusia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Nursanti, T.Desy, 2002, Strategi Teintegrasi Dalam Perencanaan SDM , dalam Usmara, A (ed), Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, Amara books. Riva’i, Veithzal, 2004, Manajemen Sumberdaya Manusia untuk Perusahaan : dari teori ke praktek, Jakarta ,RadjaGrapindo Persada. 140 " 1 " - - Materi disampaikan dalam kegiatan Pelatihan Administrasi Perkantoran Dinas Kesehatan Kota Cimahi 28 Juni 2007 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN 2007 141 KATA PENGANTAR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2006
162
KATA PENGANTAR
Sesuai dengan arah kebijakan Nasional pembangunan perdesaan yang
tercantum dalam Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 Bab 25 yaitu
:“Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan
kualitasnya, baik sebagai insan maupun sebagai sumberdaya pembangunan, serta
penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan
kerja sama untuk memperkuat posisi tawar” .
Strategi kebijakan pembangunan seperti ini mengorientasikan pada
community development memberi peluang terjadinya perubahan dalam tatanan
masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, peningkatan partisipasi dan
desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya yang
ada melalui pengembangan institusi lokal/desa sebagai wahana agar keberdayaan
masyarakat dalam pembangunan perdesaan dapat terwujud .
Pemberdayaan dapat ditumbuhkan melalui “proses belajar” yakni dengan
mengoptimalkan peran komunitas dalam proses pembangunan melalui pola
mekanisme dan jaringan kerja dengan berbagai stake holder terkait, sehingga
setiap perubahan kebijakan (desentralisasi) dapat diterima dan diaktualisasikan
kedalam realitas program.
Dalam kesemptan yang berbahagia ini, penulis ingin menyampaikan
kepada Pimpinan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisip Unpad dan seluruh
staf yang telah memberi keleluasan bagi penulis untuk menyelesaikan makalah
ini dengan sebaik-baiknya. Kiranya apa yang disajikan bermamfaat bagi
khalayak pembaca.
Bandung, September 2006
Penulis
163164 STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA 1. Pendahuluan . Salah satu masalah krusial di negara berkembang adalah pembangunan yang terlalu menekankan pada pertumbuhan (ekonomi). Strategi ini ternyata telah banyak mendapat kritik, karena tidak mampu menuntaskan munculnya masalah kemiskinan dan kesenjangan yang menahun (chronical poverty and inequity) dan tidak memberikan banyak kontribusi pada peningkatan kualitas dan kreasi masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan dalam melaksanakan pembangunan (Sumodiningrat, 1999: 4). Hal ini terbukti dari fakta, kendati aplikasinya didalam program dasawarsa pertama PBB sepanjang tahun 1950-an berhasil mengantarkan banyak dunia ketiga mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 5 % per tahun, memasuki dasawarsa 1960-an, pendekatan ini dianggap gagal mengangkat mayoritas penduduk di negara-negara tersebut dari masalah yang paling mendasar, yakni kemiskinan. Mereka mengakui bahwa efek tetesan ke bawah (trickle down effect) yakni terjadinya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat akan merembes dari "pusat" ke "pinggiran" (periphery), dari sektor modern ke sektor tradisional, dari perkotaan ke perdesaan ternyata sering tidak terjadi, malah sebaliknya yang terjadi adalah trickle up effect. (Arief, l998 : 5). Oleh karena itu perlunya perubahan strategi pembangunan yang mengorientasikan pada community development sehingga memberi peluang terjadinya perubahan dalam tatanan masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, 165 peningkatan partisipasi dan desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya dalam memacu pembangunan . Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik berdampak luas bukan hanya dalam tatanan politik , tapi juga sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Desentralisasi akan mempunyai makna bila pengelolaan otonomi daerah bergerak kedesa, memberikan sentuhan pemberdayaan melalui perbaikan pelayanan publik, membangkitkan prakarsa dan potensi lokal, membangun basis sosial di tingkat lokal dan juga memperkuat partisipasi masyarakat dalam urusan pemerintahan dan pembangunan. Upaya ke arah itu yaitu tentu tidak bisa dilakukan oleh orang perorangan dalam masyarakat secara parsial, tetapi harus dihimpun dalam suatu lembaga atau organisasi yang mampu merespon perubahan tersebut. Arah kebijakan Nasional pembangunan perdesaan sesuai Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 Bab 25 yaitu :“Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitasnya, baik sebagai insan maupun sebagai sumberdaya pembangunan, serta penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan kerja sama untuk memperkuat posisi tawar” . Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat untuk mampu dan berkembang secara mandiri sangat diperlukan dalam proses pembangunan, baik di tingkat nasional maupun tingkat perdesaan. Hal ini sejalan dengan dengan tantangan dalam pembangunan manusia di Indonesia dalam era reformasi, yakni ada 2 perubahan besar mempengaruhi perilaku 166 pembangunan dan menuntut perubahan paradigma pembangunan yang lebih sesuai, yakni : Pertama, adanya perubahan dari era otokratis menjadi demokratis, maka pemerintah dituntut untuk merubah dari yang sifatnya “provider” ke arah “enabler” yaitu pemerintah yang memberdayakan masyarakat, Kedua , adanya perubahan cara memerintah yang sebelumnya sentralisasi menjadi desentralisasi. (Menko Kesra RI, 2006: 8) . Sejalan dengan pemikiran tersebut, kebijakan desentralisasi sesungguhnya merupakan salah satu instrumen untuk melaksanakan transformasi sosial di berbagai tingkatan. Namun perubahan yang tengah berlangsung baik di tingkat nasional hingga tingkat desa, belum didukung oleh langkah-langkah strategi dan operasional secara komprehensif. Perubahan yang terjadi masih cenderung bersifat dipermukaan saja, belum menyentuh pada perubahan perspektif, sikap ,perilaku dan peran yang signifikan dari lembaga-lembaga pemerintah maupun masyarakat perdesaan. 2. Good Governance Tingkat Desa . Dalam konsep good governance, kini peran pemerintah (desa) bukan satusatunya lembaga yang berfungsi sebagai aktor utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Karena setiap persoalan yang terjadi dalam proses pemerintahan maupun pembangunan tidak bisa dipecahkan oleh pemerintah semata. (Dwipayana, 2003: xv ). Pemerintah desa harus melakukan kerjasama sinergis dengan Pemerintah supra desa (Pemda,Pemerintah Pusat) maupun lembaga-lembaga selevel yakni Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan lembaga desa lainnya yang harus dipandang sebagai mitra kerja dalam mempercepat proses pembangunan. Sebab inti 167 desentralisasi mendasarkan pada pemikiran bagaimana agar kekuasaan, kewenangan, tanggungjawab dan alokasi sumber-sumberdaya harus dibagi dan didayagunakan sampai ke level bawah (desa) . Hubungan pemerintah desa dengan masyarakat desa dalam onteks good governance seyogyanya tidak lagi bersifat vertikal (atasan bawahan) melainkan harus lebih b ersifat horizontal (Suwaryo, 2005 : 14). Pemerintah harus secara bertahap mengurangi intervensi yang berlebihan terhadap lembaga –lembaga desa , sehingga terdapat ruang dan gerak desa untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitasnya secara lebih leluasa. Lemahnya kemampuan lembaga di tingkat desa dalam mengadopsi nilainilai baru dan perubahan pola-pola kebijakan , pada gilirannya mengakibatkan terjadinya proses marginalisasi masyarakat desa yang berimplikasi terhadap tingkat keberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan. Dengan demikian perlu ada penguatan dan pengembangan lembaga desa agar bisa responsif terhadap tuntutan masyarakat dan pembangunan agar tetap survive. 3. Perubahan orientasi kebijakan . Bergulirnya reformasi telah membangkitkan semangat baru bagaimana kehidupan pemerintah masyarakat ditata kembali menjadi kehidupan yang lebih dinamis . Semangat desentralisasi sebagaimana tersurat dalam UU No 22/99 dan UU No. 32 tahun 2004 menunjukkan adanya pergeseran orientasi penyelenggaraan administrasi pembangunan dan manajemen pemerintahan. Ini berarti pada level suprastruktur, menghendaki adanya reformasi sistem pengelolaam pembangunan yang merubah fungsi dan peran birokrasi 168 pemerintah sebagai fasilitator, katalisator melalui pelayanan yang lebih berpihak pada masyarakat. Sedangkan pada level infra struktur (masyarakat) memberi ruang terhadap aktualisasi pelaksanaan dan pengembangan kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam menjabarkan, menerapkan dan menata kelembagaan lokal dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Hans Antlov (2002: 367) mengungkapkan bahwa: “ semangat UU No. 22 Tahun 1999 berbeda dengan yang dengan UU No. 5 tahun 1979 , dengan terang menyatakan (penjelasan umum) bahwa dasar pengaturan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang baru adalah amat memperhatikan aspek keragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”. Seiring dengan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat di tingkat nasional maupun global berimplikasi pada perubahan kebijakan sistem pemerintahan ,maka diperlukan suatu strategi atau arah kebijakan pembangunan yang bersifat terpadu yang pada dasarnya mempunyai tiga arah (Sumodingrat, 1999 : 191), yakni : Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran serta masyarakat. Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran serta masyarakat lokal Dengan strategi pembangunan tersebut dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. Perubahan struktur yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara terencana, yaitu yang menghasilkan harus menikmati, begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang menghasilkan. Proses ini diarahkan agar setiap upaya 169 pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building). Oleh karenanya, proses transformasi harus digerakkan oleh masyarakat sendiri dengan tetap memperhatikan kebijakan-kebijakan pemerintah. Strategi pembangunan ini memberi peluang terjadinya perubahan dalam tatanan masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, peningkatan partisipasi dan desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya yang ada melalui pengembangan institusi lokal/desa sebagai wahana agar keberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan dapat terwujud . 4. Strategi Pemberdayaan dalam pembangunan. Term “pemberdayaan” merupakan terjemahan dari kata empowerment, disamping kerap pula disebut dengan istilah “memberdayakan” (empower). Secara terminologi konsep pemberdayaan memiliki pengertian yang cukup beragam, ada yang menyebutkan bahwa pemberdayaan berarti memberi wewenang ,membangun power, kekuatan, kekuasaan atau daya (Cook dan Macauly, 1996 : 24), (Osborne dan Gaebler, 1993 : 49). Ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan “konsep mengenai kekuasaan (power), kekuasaan bukan hanya diartikan kekuasan politik dalam arti sempit, kekuasaan senantisa hadir dalam konteks relasi sosial dan organisasi”. (Suharto, 2005 : 57). Karenanya, konsep ini telah mengalami perkembangan dan sudah diterima secara meluas, sehingga tidak menutup kemungkinan istilah pemberdayaan memiliki pengertian dan persepsi yang berbeda satu dengan yang lain. 170 Pemberdayaan menunjukan pada kemampuan orang khususnya kelompok lemah, sehingga mereka memiliki kemampuan atau keberdayaan dalam : a. Memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan hanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, kemiskinan. b. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan. c. Berpartisiapsi dalam proses pembangunan dan keputusan yang mempengaruhi masa depannya. (Suharto, 2005 : 58). Dari penjelasan tadi, dapat dipahami bahwa pemberdayaan dapat dikatakan sebagai suatu “tujuan dan proses “(Suharto, 2005 : 59). Sebagai suatu tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan (sosial/organisasi), yaitu masyarakat yang berdaya memiliki kekuasaan (kemampuan/otoritas) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat sosial, ekonomi, politik maupun psikologis. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai suatu proses. Sebagai proses, pemberdayaan berarti serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan terutama kelompok lemah dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari 2 aspek penting yaitu : Pertama, pemberdayaan sebagai proses mengembangkan kemandirian, keswadayaan, memperkuat posisi (bargaining position) terhadap setiap keputusan atau kebijakan pemerintah. Kedua sebagai proses memfasilitasi masyarakat dalam memperoleh akses terhadap sumber-sumberdaya,memberikan ruang gerak dan memberi dorongan untuk tumbuh dan berkembangnya kreasi, partisipasi dalam mengatasi masalah yang dihadapi. 171 Pada setiap upaya pemberdayaan baik yang dilakukan pemerintah, dunia usaha maupun pihak yang peduli pada masyarakat, paling tidak harus memuat lima hal pokok yakni : “Adanya stimulan, peningkatan kualitas SDM, pembangunan prasarana dan pembangunan/pengembangan kelembagaan pedesaan”. (Sumodingrat, 1996 : 5). Pertama, memberdayakan melalui bantuan dalam bentuk dana sebagai stimulan bagi pengembangan program/proyek pembangunan. Dalam upaya ini, diperlukan masukan dana/stimulan dan bimbingan-bimbingan seperti penyusunan program, teknologi untuk memampukan dan memandirikan masyarakat perdesaan. Contoh upaya disini adalah program IDT, BBPPD, Kupedes, dan lain-lain . Kedua, dalam jangka yang lebih panjang meningkatkan kualitas sumber daya manusia perdesaan, agar memiliki dasar yang memadai untuk meningkatkan dan memperkuat produktivitas dan daya saing. Upaya ini sekurang-kurangnya harus meliputi tiga aspek, yaitu pendidikan, kesehatan dan gizi. Tiga aspek yang disebutkan tadi merupakan paramater tentang tingkatan Indek Pembangunan Manusia (Human Development Index) Ketiga, pembangunan prasarana. Dalam pembangunan prasarana perdesaan, keterlibatan masyarakat desa setempat harus diutamakan. Dengan mempercayakan pembangunan prasarana sederhana itu kepada masyarakat desa, akan diperoleh berbagai keuntungan, selain dimilikinya prasarana tadi, masyarakat desa juga memperoleh nilai tambah dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman dalam membangun proyek-proyek ,sehingga mereka juga memiliki sense of belonging. Bimbingan teknis yang diberikan oleh aparat teknis dapat memberi penguatan terhadap kelembagaan desa. 172 Keempat, pembangunan kelembagaan perdesaan teramat penting melalui pengembangan lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan desa agar pembangunan perdesaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar pada pemerintah desa dan masyarakat desa itu sendiri. Aparat desa harus mampu menampung aspirasi, menggali potensi, dan menggerakkan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan. Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa pemberdayaan dapat pula dipahami sebagai suatu proses dan juga output (hasil/keadaan) yang ingin dicapai. Proses yang dimaksudkan disini menurut Sulistiyani (2004 : 83) adalah proses belajar (learning process) dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap yaitu melalui : “1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku; 2. Tahap transformasi kemampuan; dan 3. Tahap peningkatan kemampuan pengetahuan”. 1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. Pada tahap ini pihak pemberdaya/aktor/pelaku pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. dengan demikian masyarakat semakin terbuka dan merasa membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kondisi. 2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan, keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan 173 yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. 3. Tahap peningkatan kemampuan pengetahuan, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Kemandirian tersebut akan ditandai oleh kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam pembangunan. Dalam kondisi seperti ini masyarakat seyogyanya didudukkan sudah terlibat aktif dalam pembangunan sebagai pelaku atau pemeran utama, pemerintah lebih berperan sebagai fisilitator. Namun dalam kemandirian tersebut, mereka masih perlu dilindungi supaya dapat terpupuk dan terpelihara dengan baik, dan selanjutnya dapat membentuk kedewasaan sikap masyarakat. Pemberdayaan sebagai sebuah alternatif dalam perkembangan konsep pembangunan untuk mencari solusi terhadap kegagalan model pembangunan yang telah diterapkan sebelumnya. Tentu dalam penerapannya diperlukan adaptasi dan modifikasi, agar lebih match dengan situasi dan lingkungan yang ada. Dalam kerangka itu, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui 3 strategi/ cara, yakni melalui : “Enabling, empowering & protection.” (Kartasasmina, 1996 : 23). Pertama, menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Setiap manusia dan masyarakat mempunyai potensi dan daya yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan upaya membangun daya dengan memotivasi dan membangkitkan kesadaran potensi yang dimiliki serta mengembangkannya. Dengan demikian 174 pemberdayaan merupakan proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekanan di segala bidang dan sektor kehidupan. Kedua, penguatan potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Penguatan ini melalui langkah-langkah nyata menyangkut penyediaan berbagai masukan serta membuka akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang membuat masyarakat makin berdaya. Upaya dan arah yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta akses ke sumber-sumber informasi dan pelayanan. Empowering juga berarti kemampuan penguatan pranata sosial ekonomi, pemantapan nilai-nilai budaya yang mampu mengintegrasikan kelembagaan dan peranan masyarakat. Kualitas peningkatan partisipasi terutama dalam proses pengambilan keputusan dan melakukan kolaborasi dengan stakeholder terkait. Dari sisi tersebut hendak mencapai suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirian melakukan voice, akses dan kontrol terhadap lingkungan, komunitas, sumber daya dan relasi sosial dengan negara/pemerintah. Ketiga, pemberdayaan bermakna melindungi (protection) dan keberpihakan terutama terhadap kelompok masyarakat miskin atau yang kurang berdaya, bagaimanapun juga sebagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya terbatas dan langka, melainkan ada problem struktural dalam bentuk ketimpangan, dominasi, hegemoni yang menimbulkan pembagian sumber daya secara tidak merata. Hal ini dilakukan dengan melakukan perlindungan dan pembelaan, agar mereka dapat hidup ditengah persaingan yang 175 semakin meluas. Pemberdayaan demikian dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat sasaran, menggunakan keterlibatan kelompok dalam programprogram pembangunan. Senada pemikiran tadi, pemberdayaan dapat dipahami dari berbagai perspektif yang dapat dikembangkan satu dengan lainnya saling terkait, pemberdayaan dapat dilihat dari perspektif sosial, politik dan psikologis (Friedmenn, 1992 : 33). Pendapat lain menyebutkan 4 perspektif pemberdayaan yakni pemberdayaan politik, ekonomi, sosial budaya dan pemberdayaan lingkungan. (Ndraha, 2000 -.80-81). Dari beberapa pendapat tadi dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, dari perspektif politik. Konsep sentral pemberdayaan adalah power (Hanna and Robinson, 1994 : xii). Pemberdayaan merupakan proses menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan politik, yakni kekuasaan yang dimiliki pemerintah atau negara yang dikonfrontasikan dengan rakyat atau masyarakat. Tidak dapat dipungkiri timbulnya kesenjangan, ketidakadilan, eksploitasi, kemiskinan terjadi akibat pemegang kekuasaan yang terlalu mendominasi seluruh sumber-sumberdaya untuk kepentingan dan kelanggengan para pemegang kekuasaan. Padahal rakyat dalam konteks demokrasi sebagai pemilik kedaulatan. Oleh karena itu, dengan pemberdayaan, rakyat yang tidak memiliki keberdayaan (kekuasaan) diberi power melalui empowerment. Paul (1987) menyebutkan pemberdayaan berarti “Equitable sharing of power” (pembagian kekuasaan yang adil), sehingga meningkatkan kesadaran politik dan 176 kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil pembangunan. Pemberdayaan berarti akses setiap individu/kelompok terhadap proses pembuatan keputusan, terhadap pusat-pusat kekuasaan yang dapat mempengaruhi tingkat “bargaining” dan kehidupan masa depan, melalui berbagai strategi, gerakan, maupun keterlibatan dalam proses kebijakan . Pemberdayaan Politik, bertujuan meningkatkan bargaining position yang diperintah terhadap pemerintah. Melalui bargaining tersebut, yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan dan kepedulian, tanpa merugikan orang lain. Kedua dari perspektif sosial. Pemberdayaan berarti menyangkut akses terhadap sumber-sumber informasi, partisipasi ,pengetahuan, ketrampilan,kecakapan, ,lembaga-lembaga sosial dan lembaga keuangan. Menurut Mayo and Craig (1995 : 5), Functionalist sociologist seperti Parsons mengkonseptualisasikan “power” dalam masyarakat sebagai sejumlah variabel (variable sum). Sesuai dengan perspektif ini, total power dalam masyarakat bukan merupakan sesuatu yang jadi (not fixed) melainkan sebagai variabel; power berada pada anggota masyarakat secara keseluruhan, dan power dapat bertambah, seperti masyarakat mencapai tujuan kolektifnya. Dalam logika seperti ini, pemberdayaan dari ketidakberdayaan dapat dicapai dalam keteraturan dan dinamisasi kehidupan masyarakat yang ada tanpa dampak negatif yang signifikan terhadap power yang besar. Pemberdayaan Sosial, bertujuan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (human invesment), penggunaan (human utilization) dan perlakuan seadil-adilnya terhadap manusia. 177 Ketiga, Pemberdayaan Ekonomi, dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan yang daya masyarakat dalam mengatasi dampak negatif pertumbuhan, pembayar resiko salah urus, pemikul beban pembangunan, kegagalan program. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, lebih banyak bertumpu pada kemampuan untuk meningkatkan daya beli atau pendapatan mereka melalui berbagai usaha produktif . Keempat, perspektif psikologis, yakni digambarkan rasa potensi individu (individual sense of potency) yang menunjukkan rasa percaya diri (Pranarka dan Tjokrowinoto, 1996 : 61). Pemberdayaan psikologis berarti berkembangnya motivasi, kreasi, rasa memiliki, kebersamaan, martabat dan harga diri manusia, hasrat dan kebebasan seseorang terhadap lingkungan yang mempengaruhi dirinya. Rasa potensi diri akan memberi pengaruh positif untuk meningkatkan kekuatan sosial politiknya. Suatu masyarakat yang berdaya berarti masyarakat mampu membangun dirinya sendiri (self development), menciptakan kelompok kerja yang dinamis (groups dynamics), dan merubah perilakunya (changing behavior) dengan meninggalkan kebiasaan yang lebih menguntungkan dalam melakukan kegiatan. 6. Penutup. Berdasarkan uraian sebelumnya dapatlah disimpulkan sebagai berikut: 1. Strategi pembangunan ini yang mengorientasikan pada community development memberi peluang terjadinya perubahan dalam tatanan masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, peningkatan partisipasi dan 178 desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya yang ada melalui pengembangan institusi lokal/desa sebagai wahana agar keberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan dapat terwujud . 2. Program-program pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat akan gagal manakala tidak diorientasikan pada pemihakan yang nyata kepada kelompok penduduk miskin , menciptakan kegiatan sosial ekonomi produktif yang lestari dalam wadah kelompok /lembaga yang ada. Kemudian penguatan lembaga sosial ekonomi dan pembinaan yang didasarkan pada azas pembelajaran . 3. Pemberdayaan masyarakat sebagai proses perubahan sikap, nilai, dan tindakan kearah kemandirian, dapat ditumbuhkan melalui “proses belajar” yakni dengan mengoptimalkan peran komunitas dalam proses pembangunan melalui pola mekanisme dan jaringan kerja dengan berbagai stake holder terkait, sehingga setiap perubahan kebijakan (desentralisasi) dapat diterima dan diaktualisasikan kedalam realitas program. 4. Pemberdayaan sebagai sebuah alternatif dalam perkembangan konsep pembangunan untuk mencari solusi terhadap kegagalan model pembangunan yang telah diterapkan sebelumnya. Dalam kerangka itu, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yakni melalui : “Enabling, empowering & protection.” Tentu dalam penerapannya diperlukan adaptasi dan modifikasi, agar lebih match dengan situasi dan lingkungan yang ada. 179 DAFTAR PUSTAKA Arief, Sritua, 1998, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Jakarta : CIDES. Cohen, John M. & Uphoff ,1977, Rural Development Participation : Concepts and Measures for Project Design, Implementation and Evaluation, New York, Ithaca : Cornell University. Craig,Gary and Mayo, 1993, Community Empowerment A Reader in Participation and Development, London,Zed Book Dwipayana, Ari AAGN dan Eko, Sutoro, 2003, Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta : IRE. Eko, Sutoro, 2004, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta : APMD Press. Friedmann, John., 1992, Empowerment : The Politics of Alternative Development, Cambridge : Blacwell. Hanna, M.G. and Robinson, 1994, Strategies for Community Empowerment : Direct-Action and Transformative Approaches to Social Change Practice, New York : The Edwin Mellen Press. Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan & Pemerataan), Jakarta : CIDES. Osborne, David & Gaebler ,1992, Reinventing Government, How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, New York : Addison Wesley Company. Prijono, Onny S, Pranarka (ed), 1996, Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta : Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Suharto, Edi, 2005, Membangun Masyarakat MemberdayakanRakyat : Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Bandung, Refika Aditama. Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan, Yogyakarta : Gava Media. Sumodiningrat, Gunawan ,1999, Pemberdayaan Masyarakat & JPS, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Suwaryo, Utang, 2005, Pergeseran Penyelenggaraan Pemerintahan dan Good Governance di Tingkat Desa, dalam Governance, Bandung : Puslit Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah LP Unpad. 180 Makalah dan Peraturan Perundangan Menko Kesejahteraan Rakyat RI , 2006, Sambutan pada Seminar Wokrshop Nasional: “Transformasi kebijakan Publik dan Bisnis dalam upaya Memecahkan Problem Kemiskinan di Indonesia, Kerjasama Fisip Unpar dan BKLP Ilmu Adm.se-Indonesia, Bandung. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta. Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa , Jakarta, CV Citra Utama. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional th. 2004- 2009, Jkt, Sinar Grafika . ==@@== 181 POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA M a k a l a h Disusun Oleh : H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN 2007 182 / # # $ # ( # "# # # # # 1 A * # # " $ / G ) # # # # " # # ' " # # # # # # @ A 0 ? 0 $ # "# # ' # 9 # # : # # " # # 0 "# # # @ " # # $ # ! # # # # # " 0 # L # F # # " ! # $ * +,,5 183 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................. i DAFTAR ISI .......................................................... ii 1. Pendahuluan .................................................. 1 2. Mencari Akar Politisasi Birokrasi ................... 3 3. Konsep Politisasi Birokrasi ............................. 6 4. Dampak Politisasi Birokrasi ............................ 11 5. Penutup ............................................................ 17 DAFTAR PUSTAKA .............................................. 19 184 POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA 1. Pendahuluan Berbicara tentang birokrasi sudah banyak dibahas oleh banyak pihak baik oleh para praktisi maupun teoriti . Birokrasi dalam keseharian kita selalu dimaknai sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya, semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani urusan orang banyak. Akibatnya, tidak heran jika kemudian muncul persepsi bahwa apa pun yang dilakukan oleh pemerintah adalah dalam rangka melayani kepentingan warga masyarakat melalui birokrasi tersebut. Pemaknaan terhadap birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas, tentu merupakan pemaknaan yang sifatnya idealis. Bahkan tak salah jika Max Weber memandang birokrasi sebagai organisasi yang rasional, suatu mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi dan juga sebagai suatu bentuk organisasi sosial yang memiliki ciri-ciri khas (Albrow, 1975). Tetapi, diakui atau tidak, pemaknaan yang ideal terhadap 185 fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi, tidaklah sepenuhnya bisa menjelaskan orientasi birokrasi di Indonesia. Perjalanan panjang kehidupan birokrasi di negeri ini, selalu saja ditandai oleh dominannya aspek politis di bawah komandi penguasa negara. Kasus birokrasi pada masa Orde Lama dan di masa Orde Baru pada dasarnya merupakan cermin dari kuatnya penguasa negara dalam mencengkeram tubuh birokrasi. Di era Orde reformasi kendati perintah tidak sekuat sebelumnya, namun tetap saja kekuasaan masih cukup dominan. Kehidupan birokrasi yang ditumpangi, atau bahkan didominasi muatan-muaan politis oleh penguasa negara, jelas menjadikan tujuan birokrasi melenceng dari arah yang semula dikehendaki. Performance birokrasi yang kental dengan aspekaspek politis inilah, yang pada gilirannya melahirkan stigma “politisasi birokrasi”. Akibat hal tersebut, orientasi pelayanan pulik yang semestinya dijalankan, menjadi bergeser ke arah orientasi yang sifatnya politis. Dalam kaiatan dengan pemilihan kepala daerah misalnya, bahwa peran birokrasi masih cukup mempengaruhi terhadap berbagai dukungan ,sehingga terkesan 186 adanya blok atau kelompok-kelompok pendukung calon A maupun calon lainnya, kendati tidak selalu muncul kepermukaan. 2. Mencari Akar Politisasi Birokrasi Dengan mengambil pelajaran berharga dari kekeliruan pemerintahan Orde Lama yang menempatkan “politik sebagai panglima”—namun terbukti gagal dalam membangun perekonomian bangsa--,pemerintahan Orde Baru meyakini bahwa hanya dengan menjadikan “ekonomi sebagai panglima”, perekonomian bangsa dapat ditata kembali. Alasan logis inilah yang pada akhirnya memaksa pemerintah Orde Baru untuk secara berani menempatkan Paradigma Pertumbuhan (growth paradigm) dalam melaksanakan pembangunan. Dipilihnya paradigma pertumbuhan sebagai kerangka acuan pembangunan, tentu bukan tanpa asumsi-asumsi yang rasional. Setidak-tidaknya menurut Tjokrowinoto (2001, 114) terdapat 3 asumsi yang mendasarinya. Pertama, kondisi ekonomi bangsa yang porak-poranda dan terbengkelai ketika Orde Lama berkuasa, menjadikan Orde Baru merasa perlu memperbaiki kehidupan perekonomian. Tujaunnya tentu saja agar ekonomi secara makro dapat pulih kembali, sehingga gagasan pembangunan bisa terealisasi. 187 Kedua, di saat stabilitas politik masih belum menentu. Paradigma Pertumbuhan diharapkan bisa menjadi senjata bagi dilaksanakannya konsep Trilogi Pembangunan (stabiolitas, pertumbuhan, dan pemerataan). Ketiga, pemerataan ekonomi adalah satu tujuan yang ingin dicapai setelah terlebih dahulu mengusahakan terciptanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan kata lain, cita-cita untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi diprioritaskan terlebih dahulu, baru kemudian merambah ke upaya pemerataan ekonomi. Namun dalam tatanan praktis, 3 asumsi rasional tersebut telah mengakibatkan munculnya ukuran-ukuran pembangunan yang sifatnya ekonomistik. Memilih strategi pertumbuhan seagai fokus pembangunan, jelas bukanlah kebijakan yang keliru. Paradigma Pertumbuhan yang tidak diperkirakan sebelumnya adalah ketidaksiapan pemerintah sendiri untuk menjalankan strategi pertumbuhan itu. Logikanya, strategi pertumbuhan sangatlah membutuhkan modal yang besar untuk melaksanakan pembangunan, sementara pada saat itu bangsa ini tengah mengidap krisis ekonomi yang parah. Ini artinya, pemerintah sangat membutuhkan modal bagi tereaalisasinya pembangunan, dan untuk itu menjadikan birokrasi sebagai alat memanjakan para pemilik modal adalah tawaran yang sulit dihindari. Besarnya hasrat penguasa negara untuk menjalankan strategi pertumbuhan, lagi-lagi telah menutup mata dan hatinya 188 bahwa kekuasaan itu pada hakekatnya haruslah bergulir teratur sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Keberhasilan menjalankan strategi pertumbuhan yang menekankan pembangunan ekonomi, semakin mengkondisikan pengusaha di bawah rezim otoriter untuk terus menumpukkan kekuasaannya. Dengan kata lain, pelanggengan kekuasaan adalah cita-cita pemerintah Orde Baru yang terus digelorakan. Akibatnya, praktis tidak ada lagi netralitas dari cara kerja birokrasi. Fakta inilah yang semakin memperjelas sosok politisi birokrasi yang sebenarnya. Jika kita sermati usaha-usaha pemerintah Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaannya, maka disitulah sebenarnya konsep politisasi birokrasi itu mulai tampak jelas. Birokrasi yang semestinya bertindak rasional seperti yang dijerlaskan Max Weber, oleh Orde baru dibelokkan menjadi bertindak secara irrasional. Ada 3 bentuk irrasionalitas birokrasi menurut Tjokrowinoto (2001: 117) yaitu Pertama, birokrasi bekerja bukan untuk melayani kepentingan publik , tapi ditujukan untuk melayani kepentingan para pengusaha dan pemilik modal. Kedua, birokrasi yang orientasi utamanya adalah pelayanan, 189 namun dibelokkan menjadi pengontrol berlakunya kebijakankebijakan netgara. Ketiga, birokrasi yang seharusnya netral di hadapan masyarakat, tapi justru berpihak kepada partai politik milik pemerintah. 3. Konsep Politisasi Birokrasi Birokrasi yang pada awalnya diidealkan sebagai institusi resmi yang tidak memihak, namun karena dimasuki oleh kepentingan partai politik, menjadi harus memihak. Birokrasi tak ubahnya sebuah kapal yang ke mana pun arah berlayarnya, sangat tergantung kepada kehendak politis sang nakhoda. Oleh karena itu, baik secara konseptual maupun operasional, tampaknya sulit untuk mengatakan bahwa birokrasi di indonesia memihak kepada kepentingan masyarakat banyak. Berkaca dari pengalaman Orde Baru dalam mengelola kehidupan birokrasinya, sebenarnya dapat diketahui bahwa politisasi birokrasi di masa itu sangatlah kental dengan upaya kooptasi penguasa negara terhadap institusi birokrasi. Konsep Bureaucratic-Polity yang pertama kali dikemukakan oleh Fred Riggs dalam melihat kehidupan birokrasi di Thailand, yang 190 kemudian digunakan pula oleh Harold Crouch(1980) , untuk melihat kasus birokrasi di indonesia, telah membuktikan kenyataan itu. Menurut Harold Crouch, Bureaucratic-Polity di indonesia mengandung 3 ciri utama. Pertama, Lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrari. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai politik dan secara timbal balik menguatkan birokrasi. Analisis ini menjelaskan kepada kita, bahwa kepentingan penguasa negara yanag diwakilkan lewat institusi mengalami penguatan bukan hanya karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga karena ketidakmampuan birokrasi sendiri untuk melepaskan diri dari cengkreraman penguasa negara. Jadi, meskipun politisasi birokrasi bukanlah semata-mata identik dengan upaya untuk mempolitiskan birokrasi, ia juga sarat dngan usaha untuk menciptakan 191 masyarakat yang buta akan politik dan birokrasi itu sendiri. Konsep Bureaucratic-:Polity sedikit banyaknya tentu berhubungan dengan hal ini. Ketidaktranparanan pengelolaan birokrasi kita, jelas teramat rentan bagi tidak sampainya misi pelayanan yang diemban oleh birokrasi. Apalagi untuk konteks indonesia, tingkat pendidikan politik masyarakat yang maasih tergolong rendah, bukan Cuma memungkinkan teradinya kooptrasi birokrasi atas masyarakat, tapi yang lebih parah adalah tendensi penipuan erbentuk produk kebijakan yang dikemas rapi dalam wujud “demi pembangunan nasional”. Tapi bernuansa KKN. Peminggiran posisi masyarakat dalam mainstream pelayanan publik ini, jelas bukan sesuatu hal yang positif. Sebab, bagaimana pun juga kekuatran kontrol birokrasi tidak hanya melibatkan anggotaanggotanya sendiri, namun juga melibatkan masyarakat secara luas dan para kliennya (orang-orang yang memerlukan jasa birokrasi). Itu artinya, masyarakat haruslah diposisikan dalam mainstream pelayanan publik yang berkomitmen kerakyatan. Birokrasi secara realitas lebih merujuk kepada cita-cita untuk menguatkan eksistensi masyarakat melalui penghargaan 192 terhadap beraneka-ragam kebutuhan dan kepentingan masyarakat, tanpa melihat simbol-simbol politik di belakangnya. Sedangkan politik, meski dalam tataran ideal mengagungkan realisasinya nilai-nilai demokrasi, ia tetap saja cenderung berlaku otoriter yang justri melanggar prinsip-prinsip bekerjanya birokrasi. Dalam bahasa lain yang lebih politis, birokrasi dilatarbelakangi oleh pengalaman profesionalisme dan keahlian di bidangnya masing-masing melalui cara-cara meritokrasi yang tentunya juga demokratis, sedangkan partai politik dilatarbelakangi oleh pengalaman profesi perjuangan untuk mempengaruhi dan bahkan untuk merebut kekuasaan agar bisa memerintah (to govern) , tentunya melalui cara-cara yang demokratis pula”. Politisasi birokrasi di indonesia, baik yang dilakukan dengan cara memanfaatkan partai politik atau mempolitisasi masyarakat, adalah bukti dari berlakunya konsep Bureaucratic- Polity seperti yang pernah disampaikan oleh Harold Crouch di atas. Seiring dengan perjalanan waktu, konsep Bereaucratic- Polity mengalami pula perubahan – perubahan mendasar. Kalau 193 dulu para politisi lewat sponsor penguasa negara berusaha mengontrol ketat birokrasi, kini keadaan itu telah berubah. Jika reformasi politik di Indonesia dijadikan alasan pembenar sebagai pertanda bagi dimulainya masa kejayaan partai politik, maka langkah ambisius partai politik untuk menempatkan kader – kadernya di lingkungan birokrasi pemerintahan, tentu adalah dalam rangka mengontrol penyalahgunaan birokrasi oleh penguasa negara lagi. Menjelaskan fenomena politisasi birokrasi, selain dilihat dari konsep Bereaucratic-Polity ( Jackson,1978) , juga dirasa tepat dengan menggunakan konsep birokrasi patrimonialbreamtenstaat. Menurut Manuel Kaisiepo, dalam konsep birokrasi yang demikian ini, yang berlaku adalah proposisi “kekuasaan (politik) menghasilkan kekayaan (uang). Tentu bukan rahasia lagi, jika keterlibatan birokrasi dalam pertarungan politik seperti yang selama ini terjadi, lebih dominan karena dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomis. Artinya, birokrasi secara institusional adalah lahan empuk bagi diraihnya sumber-sumber keuangan yang memadai demi perjuangan politik sebuah kekuasaan. 194 4. Dampak Politisasi Birokrasi Dilihat dari kaca mata demokrasi, politisasi birokrasi adalah kebijakan yang ounter-productive dengan semangat demokrasi. Pengalaman sejarah di era Orde baru seperti yang telah diungkapkan di awal tulisan ini, menunjukkan bahwa kebijakan penguasa negara yang menjadikan birokrasi sebagai alat politik, telah menyebabkan tidak berjalannya mekanisme prosedural resmi di tubuh internal birokrasi. Crouch (1980) menyebutkan bahwa bureaucratic polity memunculkan dominasi kekuatan birokrasi dan melemahnya kekeuatan parpol,parlemen dan kelompok-kelompok penekan/ kepentingan dalam masyarakat. Jika diamati secara seksama, kebijakan politisasi birokrasi lebih banyak dampak negatifnya, ketimbang dampak positifnya. Setidak-tidaknya terdapat 4 dampak negatif yang muncul sehubungan dengan kebijakan politisasi birokrasi tersebut. Pertama, kebijakan menempatkan atau mendudukkan orang-orang partai politik yang sesuai dengan selera menteri yang bersangkutan, jelas mengakibatkan tidak berfungsinya mekanisme promisi jabatan pada jabatan karier yang ada dalam 195 struktur pemerintahan. Hal ini mengandung makna bahwa sangat tidak tepat jika secara tiba-tiba Menteri pada sebuah Departemen atau Kementerian justru mengangkat kader dari partai politiknya untuk duduk pada jabatan karier tersebut. Apalagi untuk posisi jabatan karier itu mempersyaratkan orang yang bakal mendukungnya sebagai seorang Pegawai Negeri sipil (PNS) yang benar-benar telah mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) pemerintahan berjenjang (mulai dari Diklat Adum sampai Spati). Kedua. Kebijakan politisasi birokrasi dengan sendirinya akan menciptakan rasa anti-pati atau perasaan tidak bisa bekerja sama dengan orang-orang yang tidak berasal dari partai politik yanhg sama. Kondisi ini sangat mungkin terjadi, terutama jika alasan utama yang melandasi rukruitmen pada jabatan karier itu adalah “rasa kecocokan” dan “bisa diajak kerja sama”. Faktor alasan inilah yang pada gilirannya bisa menimbulkan sikap like and dislike dalam sebuah organisasi pemerintahan. Akibat dari kondisi ini tak lain adalah terabaikannya fungsi utama birokrasi sebagai sarana untuk melayani kepentingan masyarakat. Dalam konteks ini birokrasi tidak butuh orang-orang yang separtai 196 politik, tapi memerlukan orang-orang yang konsisten dalam bekerja dan mengutamakan kepentingan bersama (bukan kepentingan partai politik). Ketiga, kebijakan memberikan orang-orang partai politik sebuah jabatan penting di pemerintahan, secara tidak langsung berarti tidak mengindahkan kiberjanya prinsip meritokrasi dalam pelaksanaan tugas birokrasi sehari-hari. Prinsip untuk menempatkan seseorang pada sebuah jabatan yang sesuai dengan keahliannya, jelas mutlak diterapkan di lingkungan pemerintahan. Dalam perspektif ini, memposisikan atau mwerekrut orang-orang partai politik yang notabene lebih menguasai intrik-intrik politik praktis ketimbang keahlian di bidang tugas-tugas khusus pemerintahan, tentu merupakan langkah yang tidak bijaksana. Birokrasi menysyaratkan pelayanan maksimal, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas kepada masyarakat. Birokrasi juga menghendaki prinsip meritokrasi dijalankan secara baik dan benar. Hanya orang yang benar-benar ahli (profesional) di bidangnya, yang dapat menghidupkan birokrasi. Jika tidak, tentu birokrasi akan mati atau setidaknya tidak efisien. 197 Keempat, trauma politik masa lalu harus benar-benar kita jadikan pelajaran yang sangat berharga untuk masa-masa mendatang. Penampilan birokrasi Indonesia di masa Orde Baru yang “terlalu berkuasa”, mau tidak mau harus kita jauhi. Sebab pada masa itu birokrasi tidak hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan publik, tetapi juga sebagai pembuat sekaligus pengawas dari kebijakan itu sendiri. Dan karenanya orang-orang birokrasi jugalah yang paling banyak menikmati hasilnya. Bagaimanapun juga, sebagai sebuah bangsa kita tidak bisa melaksanakan proses pemerintahan dan pembangunan tanpa adanya birokrasi. Sebab dalam sebuah negara modern, birokrasi merupakan piranti pokok yang dapat menunjang terlaksananya roda pemerintahan dan pembangunan. Tetapi kita tidak bisa pula mengingkari bahwa kebijakan politisasi birokrasi atau penempatan orang-orang partai politik pada posisi-posisi penting di pemerintahan, merupakan sebuah kebijakan yang tidak sesuai dengan semangat birokrasi itu sendiri. Gejala yang diperlihatkan oleh birokrasi Indonesia pasca bergulirnya Era reformasi, di mana kecenderungan partai-partai politik untuk menguasai Departemen atau kementerian dan 198 BUMN semakin kuat, adalah fakta baru yang semakin sulit untuk kita hindari. Politisasi birokrasi yang dilakukan dengan cara memaksa memasukkan orang-orang partai politik ke dalam struktur Departemen atau Kementerian dan BUMN, berarti membuka peluang bagi terciptanya pengkotakan birokrasi ketika melayani masyarakat. Di samping itu, kebijakan politisasi birokrasi cenderung menjadikan birokrasi sebagai sarana untuk mencari manfaat-manfaat yang sifatnya ekonomis bagi keuntungan partai politik. Menghilangkan kebijakan politisasi birokrasi di tubuh birokrasi kita, tampaknya merupakan agenda utama yang perlu direalisasikan dalam upaya mereformasi tubuh birokrasi. Sesuai dengan fungsi utamanya sebagai aktor pelayanan publik, birokrasi hendaknya memulai langkah maju dengan menghilangkan jejak politisasi birokrasi sejauh mungkin. Ada 2 hal yang berkenaan dengan upaya penghilangan jejak politisasi birokrasi itu (Tjokrowinoto,2001,131 ). Pertama, birokrasi harus seteril dari orang-orang partai politik, khususnya untuk posisi jabatan karier mulai dari eselon teringgi sampai eselon terendah. Alasannya adalah jabatan199 jabatan karier ini merupakan jabatan strategis yang sangat menentukan dalam mekanisme pengambilan keputusan internal organisasi. Oleh karena prinsip kerja abirokrasi adalah memaksimumkan efisiensi administratif, maka birokrasi yang strerik dari kepentingan politis sebuah partai politik, diharapkan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Kedua, birokrasi harus terus mengedepankan prinsip meritokrasi dalam hal rekruitmen personilnya. Artinya, mengingat kebutuhan masyarakat akan pelayanan semakin meningkat, maka keharusan aparat birokrasi yang capabler (ahli) dibidangnya serta memiliki kemampuan menterjemahkan keinginan masyarakat adalah kebutuhan mendesak yang tak bisa ditawartawar lagi. Dengan prinsip meritokrasi pula, kebijakan politisasi birokrasi diharapkan bisa dihapus sedini mungkin. Sebab, dengan menjadikan birokrasi sebagai lahan empuk menarik keuntungan bagi para politisi, maka citra birokrasi akan semakin terpuruk di mata masyarakat. 200 5. Penutup . 1. Politisasi birokrasi bukanlah jawaban yang tepat dalam memperbaiki kinerja birokrasi di Indonesia . Birokrasi yang ditumpangi oleh kekuatan partai politik tidak hanya menjadikan ia semakin politis dan bisa jadi dijauhi masyarakat, tapi juga rentan terhadap pengabdian aspek kualitas dari personil-personilnya. Dalam politik yang berlaku adalah bagaimana kekuasaan itu bisa diperoleh dan dipertahankan, sementara dalam birokrasi yang berlaku adalah bagaimana dalam kondisi apa pun masyarakat bisa terlayani segala kebutuhan dan kepentingannya. 2. Birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik tidak pernah mengenal pilih-kasih dalam melaksanakan kewajibannya. Sebagai organisasi yang rasional dan mengedepankan efisiensi administratif, birokrasi perlu dipelihara dan dipertahankan eksistensinya, terutama dalam usaha mewujudkan demokrasi. Meskipun birokrasi dan demokrasi adalah dua konsep yang paling bertentangan, keduanya masih bisa disatukan dalam sebuah tatanan 201 masyarakat yang dekat dengan simbol-simbol pelayanan publik. 3. Birokrasi yang netral dan tidak memihak pada kepentingan politis partai politik, merupakan idaman masyarakat dalam sebuah pemerintahan yang menganut sistem desentralisasi. Ketika birokrasi bersentuhan dengan politik atau struktur birokrasi dimasuki orang-orang partai politik, maka saat itu juga tujuan birokrasi akan mulai melenceng dari arah semula sebagai institusi resmi yang melayani urusan publik. Hal itu perlu dihindari karena fungsi dan peranan demikian akan menghancurkan eksistensi birokrasi itu sendiri dimata publik dan menurunkan kredibilitas dalam pergaulan dunia internasional . 202 DAFTAR PUSTKA Albrow, Martin, 1996, Birokrasi, (terjemahan) ,Yogyakarta,Tiara Wacana Crouch, Harold, 1980, The New Order : The Prospect for Political Stability, Canberra, The Australian UniversityPress . Santoso, Priyo Budi, 1995, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Jakarta, PT Radja Grapindo Persada. Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001, Birokrasi Dalam Polemik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 203 Hasil Penelitian PENGARUH KOMUNIKASI TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN DI KABUPATEN CIANJUR LAPORAN PENELITIAN 2007 204 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pembangunan perdesaan sebagai bagian integral dari pembangunan daerah dan nasional, dewasa ini mendapat sorotan yang amat tajam dari berbagai kalangan. Persoalan ini selain menyangkut sebagian besar (75%) masyarakat Indonesia berdiam di desa (BPS, 2001), juga karena banyak persoalan pembangunan yang belum mampu dipecahkan di tingkat desa, misalnya masalah pengangguran, ketimpangan, kemiskinan yang kurang lebih 60 % diam di desa. (BPS, 2001). Isue utama dalam pembangunan perdesaan, adalah menyangkut masalah pemberdayaan masyarakat (desa) yang senantiasa beriringan dengan masalah perangkap lain seperti kemiskinan. Chamber (1988 : 113-114) menyatakan bahwa ada keterkaitan antara ketidakberdayaan dan dimensi perangkap yang lain seperti kemiskinan (poverty), kerentanan (vulnerability), keterasingan (isolation) menjadi sumber ketidakberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan. Sedangkan menurut pendapat Cabb (dalam Suharto, 2005 : 61), bahwa “Ketidakberdayaan masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor seperti : ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, pelatihan, jaminan politik dan adanya ketegangan emosional“. Oleh karena itu, perlu ada upaya pembangunan perdesaan yang dijiwai semangat otonomi yang ditujukan guna menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk partisipasi, kemandirian dan kemampuan sangat relevan bagi pembangunan yang 205 berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. (Supriatna, 2000 : 19). Konsepsi di atas secara eksplisit sejalan dengan arah kebijakan Nasional pembangunan perdesaan pada Peraturan Presiden No.7 Th. 2005 Bab 25 yaitu : “Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitasnya, baik sebagai insan maupun sebagai sumberdaya pembangunan, serta penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan kerja sama untuk memperkuat posisi tawar” . Pada bagian lain ditegaskan bahwa Program peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan tersebut dilakukan melalui peningkatan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal dalam mengelola pembangunan perdesaan sesuai prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik., penguatan lembaga dan organisasi berbasis masyarakat dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dan peningkatan akses masyarakat pada pada informasi serta sumber-sumber daya pembangunan. (Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, 2004- 2009). Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat untuk mampu dan berkembang secara mandiri sangat diperlukan dalam proses pembangunan, baik di tingkat nasional maupun tingkat perdesaan. Salah satu upaya ke arah itu adalah melalui pengembangan kelembagaan yang mampu berfungsi dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Berbagai program bantuan pemerintah yang mengalir ke desa belum secara signifikan mampu mengangkat harkat hidup masyarakat desa, memerangi kemiskinan desa, mencegah urbanisasi, menyediakan lapangan kerja. Yang terjadi adalah ketergantungan, konservatisme dan pragmatisme masyarakat desa terhadap bantuan pemerintah (Eko, 2004 : 290). Kegagalan program pemerintah tersebut disebabkan oleh banyak hal, dari mulai strategi dan pendekatan yang keliru sampai pada pengelolaan program yang salah urus. 206 Lemahnya keberdayaan masyarakat desa dalam melakukan perubahan terkait dengan kurangnya masyarakat desa memperoleh akses informasi terhadap sumber-sumber daya pembangunan sebagai konsekwensi adanya dinamika dan perubahan kebijakan-kebijakan yang seharusnya mereka ketahui dan mereka jalankan. Oleh sebab itu, tidak heran apabila timbul ketimpangan aktivitas dan dinamika lembaga desa. Adanya salah persepsi yang berakibat pada munculnya konflik-konflik sosial yang mengarah pada tindakan-tindakan kontra produktif dan tidak mampunya masyarakat dalam mengadopsi nilai-nilai baru dalam pembangunan. Hal lain yang tidak bisa diabaikan dalam pengembangan lembaga, yakni bahwa Kepala Desa harus tanggap terhadap pesan-pesan pembangunan dan mampu menyampaikan pesan-pesan itu kedalam bahasa atau lambang yang kiranya dapat dipahami oleh masyarakatnya. Belum efektifnya komunikasi yang dibangun berimplikasi pada tidak sedikit pesan-pesan pembangunan yang tidak sampai pada khalayak. Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan tersebut, dalam penelitian ini penulis memfokuskan lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Cianjur yang merupakan wilayah hinterland (penyangga) Propinsi Jawa Barat dan Propinsi DKI Jakarta. Pertimbangan lokasi penelitian ini karena posisi geografis Kabupaten Cianjur sebagai pintu gerbang ibukota Propinsi Jawa Barat dan sebagai urat nadi lalu lintas pergerakaan manusia, barang dan jasa dengan ibukota negara. Letak geografis Cianjur yang menjadi daya tarik untuk memacu mobilitas sumberdaya lokal, yang pada gilirannya membawa dampak terhadap 207 aktivitas kelembagaan desa dan pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan. Bertolak dari latar belakang tadi penulis melakukan penelitian dengan mengambil judul „ Pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyrakat dalam Pembangunan Perdesaan di kabuopaten Cianjur“ 1.2. Rumusan Masalah. Bila dicermati dari fenomena di atas, maka dapat dikemukakan problem statement yaitu bahwa "Upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan melalui komunikasi . Tegasnya bahwa Pengembangan lembaga desa yang diidentifikasikan melalui Komunikasi belum optimal memberdayakan masyarakat dalam pembangunan perdesaan”. Dengan memperhatikan latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan komunikasi dalam Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Cianjur. 2. Bagaimana keadaan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Cianjur. 3. Seberapa besar pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan pedesaan di Kabupaten Cianjur. 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian. 1.3.1. Maksud Penelitian : Penelitian ini dilakukan dengan maksud menguji dan menganalisis pengaruh komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan 208 perdesaan . Melakukan penelusuran berbagai teori yang berhubungan dengan pengembangan lembaga desa dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan , menguji dan menganalisis kemudian membuat rekomendasi pragmatis berupa bahan informasi dalam penyusunan kebijakan pemerintah daerah . 1.3.2 Tujuan Penelitian yaitu : 1. Memperoleh informasi mengenai pengaruh faktor komunikasi terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan. 2. Melakukan pengujian secara empiris terhadap teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini yang berkaitan dengan objek penelitian. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.Kegunaan Akademik . Dari aspek teoritis , dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan teor Administrasi Pembangunan khususnya teori-teori pemberdayaan. 2. Kegunaan Praktis . a. Temuan-temuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan bahan informasi dan sumbangan pemikiran dalam bentuk rekomendasi dan rumusan-rumusan pemikiran yang aktual, pragmatis bagi para pengambil keputusan (praktisi). b.. Kemudian bagi para peneliti, dapat dijadikan sumber informasi guna melakukan penelitian lebih lanjut dalam kajian serupa dari variabel lain yang tidak diidentifikasikan, sehingga serta memberikan kontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu Administrasi Pembangunan. 209 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka. 2.1.1. Hasil Penelitian terdahulu. Penelitian tentang topik yang dibahas, pernah dilakkan oleh peneliti sebelumnya. Akadun (2002) yang mengupas tentang “Model Keberdayaan Aparatur Birokrasi Dalam Rangka Efektivitas Penyelenggaraan Pelayanan Pemerintah Di Kabupaten Bandung”. Penelitian tersebut mengambil objek aparat pemerintah dan penduduk Kabupaten Bandung yang memperoleh pelayanan dari Dinas/Badan/Instansi di Pemerintah Kabupaten Bandung, dengan jumlah sampel sebanyak 116 orang. Model keberdayaan yang diukur/diuji dengan mengelaborasi pendapat dari Friedman, yaitu dari keberdayaan sosial, politik, dan psikologis. Kesimpulannya, bahwa keberdayaan sosial menjadi faktor utama yang mempengaruhi efektivitas penyelenggaraan pemerintah, sedangkan keberdayaan politik dan keberdayaan psikologis menjadi faktor proaktif dan dinamisator bagi efektivitas penyelenggaraan pemerintah. Dalam penelitiaan tersebut, nampaknya kurang banyak dibahas mengenai masalah keberdayaan aparatur birokrasi dengan lingkungan organisasi dan kemampuan sumber daya non manusia maupun peran masyarakat dan dunia usaha dalam rangka efektivitas penyelenggaraan pemerintah. 210 2.1.2. Pembangunan Masyarakat Perdesaan Pembangunan masyarakat desa sebagai bagian dari pembangunan sosial diarahkan pada aspek kelembagaan dan peran partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Combs & Manzoor (1980 : 13) menjelaskan bahwa penduduklah yang sering menjadi masalah utama negara-negara miskin dan berkembang. Jumlah penduduk kedua kategori negara tersebut sekitar 1,19 milyar orang, sedangkan pada Tahun 1990 meningkat menjadi 2,62 milyar. Penduduk miskin, selain tersebar di perdesaan, juga menjadi bagian dari masyarakat kota. Seiring dengan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat di tingkat nasional maupun global berimplikasi pada perubahan kebijakan sistem pemerintahan ,maka diperlukan suatu strategi atau arah kebijakan pembangunan yang bersifat terpadu yang pada dasarnya mempunyai tiga arah (Sumodingrat, 1999 : 191), yakni : Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran serta masyarakat. Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran serta masyarakat lokal Dari pemikiran tersebut, nampak bahwa upaya pemberdayaan masyarakat selain memerlukan instrumen melalui berbagai program (bantuan, dana), sarana prasarana, peningkatan kualitas SDM. Sedangkan instrumen tadi tidak akan berarti tanpa ada penguatan lembaga lokal baik pemerintahan desa maupun 211 lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Aparat desa harus mampu menampung aspirasi, menggali potensi, dan menggerakkan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan. Sejalan dengan berbagai strategi di atas, perubahan kebijakan pemerintah yang mengedepankan semangat desentralisasi sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 secara filosofis, sosiologis dan administratif menunjukkan adanya pergeseran orientasi penyelenggaraan administrasi pembangunan dan manajemen pemerintahan dari sentralistik ke desentralisasi. Ini berarti pada level suprastruktur, menghendaki adanya reformasi sistem pengelolaan pembangunan yang merubah fungsi dan peran birokrasi pemerintah sebagai fasilitator, katalisator melalui pelayanan yang lebih berpihak pada masyarakat. Sedangkan pada level infra struktur (masyarakat) memberi ruang terhadap aktualisasi pelaksanaan dan pengembangan kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam menjabarkan, menerapkan dan menata kelembagaan lokal dalam rangka pemberdayaan masyarakat. 2.1.3 Komunikasi Guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat tadi melalui pengembangan lembaga, banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilannya Dalam administrasi pembangunan beberapa faktor fundamental dalam rangka pemberdayaan yaitu ditentukan oleh “Kepemimpinan, komunikasi, koordinasi dan pendidikan.” Tjokroamidjojo, 1991 : 226). 212 Komunikasi merupakan faktor menentukan dalam keberhasilan dinamika organisasi. Seperti dikatakan oleh Barnard dalam Steers (1980 : 162), bahwa : “Dalam teori organisasi yang lengkap, komunikasi menduduki tempat yang sentral. Karena struktur, luas, dan ruang lingkup organisasi hampir sepenuhnya ditentukan oleh komunikasi. Sejalan pemikiran tersebut, Foy yang dikutip Sumaryadi (2005 : 118) menyebutkan bahwa “Pemberdayaan membutuhkan komunikasi yang baik (good communication), komunikasi adalah landasan yang mendasari setiap perubahan organisasi “. Berkaitan dengan hal tersebut, Keith Davis (1979 : 372) mengemukakan : “Communication is defined as the process of passing information and understanding from one person to another”. Sedangkan Rogers & Shoemaker (1981 : 34) mengemukakan komunikasi :”Sebagai proses pemindahan pesan dari suatu sumber dengan tujuan terjadinya perubahan perilaku si penerima”. Ini berarti, bahwa komunikasi selain berfungsi menyampaikan informasi dan pengetahuan dari seseorang kepada orang lain, sehingga terjadi tindakan kerjasama, juga komunikasi membantu mendorong membentuk sikap dan menanamkan kepercayaan dengan cara mengajak, meyakinkan dan mempengaruhi perilaku komunikan. Bertolak dari pernyataan di atas, meneggambarkan bahwa proses pembangunan dalam suatu masyarakat (desa) tidak mungkin dapat terlaksana dengan efektif, tanpa komunikasi terutama yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Sebagai faktor penentu dalam organisasi, pemimpin sebagai sumber penyampaian pesan atau komunikator harus senantiasa berkomunikasi dengan semua pihak, baik melalui hubungan yang formal maupun informal. 213 Sukses tidaknya pelaksanaan tugas pemimpin tergantungan kemampuan bagaimana dia berkomunikasi (effective leadership means effective communication) (Effendy, 1981 : 39). Oleh karena itu, betapa besar peranan seorang pemimpin sebagai katalisator dan dinamisator pembangunan untuk ikut terlibat didalam pemecahan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat. Komunikasi sebagai proses komunikasi yaitu : ”Proses penyampaian pikiran dan/atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media.” (Effendy, 1986 : 15). Dengan demikian, proses komunikasi pimpinan adalah proses penyampaian pikiran/perasaan pimpinan kepada pegawai dengan menggunakan lambang (symbol) yang berarti yang diperlukan untuk membangun transaksi komunikasi yang diinginkan. Ada empat elemen yang menentukan efektivitas proses komunikasi, yaitu : “Encoding, Channel, Decoding, and Feedback”. (Smeltzer et al., 1991 : 7). Keterkaitan antara keempat elemen tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut : GAMBAR 2.1 MODEL PROSES KOMUNIKASI PIMPINAN Channel Encode Decode Feedback Sumber : Smeltzer et al., (1991 : 12). 214 Pendapat lain menyebutkan bahwa proses komunikasi melibatkan beberapa faktor yang saling terkait dan fungsional, yaitu : Source, message, Channel, Receiver, dan Feedback. (Hawkins,1981 : 7; Sharma, 1982 : 4). Kemudian Muhammad (1995 : 16) memberi gambaran model proses komunikasi dua arah yang paling sering digunakan oleh pimpinan dalam suatu organisasi. Namun meskipun semua unsur yang terdapat didalamnya terpenuhi, dalam aktivitas komunikasi tidak dapat menjamin pesan akan mencapai sasarannya. Banyak faktor yang mendukung juga menghambat (gangguan) yang turut mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dalam berkomunikasi. GAMBAR 2.2 . MODEL PROSES KOMUNIKASI 2 ARAH Sumber : diadaptasi dari Arni Muhammad (1995 : 16). a) Source SOURCE MESSAGE CHANNEL RECEIVER ENVIRONMENT FRAME OF REFERENCE FRAME OF REFERENCE ENCODING DECODING NOISE NOISE FEED BACK 215 Disebut juga sebagai komunikator, yakni bisa seseorang, kelompok, lembaga yang ingin menyampaikan pesan kepada pihak lain. Pertama, tentu seorang komunikator menyandi (encode) pesan dalam pikiran /perasaan yang diformulasikan kedalam lambang (bahasa) yang dapat dimengerti oleh komunikan. Smeltzer menyebutkan “Encoding is the process of coding any symbol in to message that contains the meaning to be confeyed.” (Smeltzer et al., 1991 : 7). Sementara itu, Gibson (1995 : 107) mengartikan encoding sebagai : ”Proses penyandian yang menerjemahkan gagasan komunikator menjadi serangkaian tanda yang sistematis menjadi bahasa yang mengungkapkan tujuan komunikator.” Setiap pimpinan melakukan komunikasi harus sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi penerima. Sebab jika tidak, bukan tidak mustahil pesan tidak akan sampai pada sasarannya. Dalam proses encoding ini, pimpinan harus mampu memilih dan menggunakan simbol terbaik yang dapat menyampaikan gagasan mereka, dapat dimengerti oleh penerima, sehingga terjadi kesamaan makna antara pengirim dan penerima. Maknanya, tidak melekat pada simbol yang digunakan, tetapi pada sejauh mana penerima dan pengirim pesan memaknai sama terhadap simbol tersebut. Seseorang meng-encode ketika ia menggunakan simbol untuk menampilkan gagasannya. Simbol yang digunakan dapat berupa bahasa verbal atau non verbal, isyarat, gambar, warna dan lain-lain, yang secara langsung mampu menterjemahkan dan mengungkapkan gagasan seseorang tersebut sebagai suatu pesan. Sikap pemimpin yang berusaha menyamakan diri dengan bawahan akan menimbulkan simpati. Bagi pemimpin yang mempunyai emphaty, maka tidak 216 akan membiarkan orang lain berada dalam kegelisahan, kekecewaan dan frustasi, dan ini berarti dia mau terjun langsung terhadap persoalan yang mengganggu. Oleh karena itu, Schramm (dalam Effendy, 1998 : 13) menyarankan ,bahwa komunikasi akan berhasil apabila “pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference),yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experience and meaning) yang pernah diperolah komunikan”. Demikian pentingnya bagi pemimpin organisasi untuk dapat memahami frame of reference bawahannya tadi, mengetahui waktu, situasi dan kondisi yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesannya, dapat memilih saluran dan media yang cocok, serta menyediakan umpan balik untuk mengetahui efek dari komunikan. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan, bahwa Kepala Desa sebagai pemimpin harus tanggap terhadap pesan-pesan pembangunan dan mampu menterjemahkan pesan-pesan itu kedalam bahasa atau lambang yang kiranya dapat dipahami oleh masyarakatnya. Untuk menunjukkan kesamaan arti dari pesan-pesan yang disampaikan, Schramm (dalam Effendy, 1998 : 124), menyarankan agar pesan direncanakan isinya sedemikian rupa, sehingga mengandung perubahan-perubahan psikologis dan sosiologis. b). Message Adalah informasi/pesan yang akan dikirimkan kepada sipenerima, pesan bisa dalam bentuk verbal maupun non verbal. Pesan secara verbal bisa dalam bentuk terknis maupun lisan, sadangkan pesan yang non verbal berupa isyarat,gerakan tubuh, ekspresi muka dan nada suara. Pesan (message) yang disampaikan terdiri atas isi (content) dan lambang (symbol). Pesan pembangunan 217 biasanya dalam bentuk : program, kebijakan- kebijakan, berbagai instruksi /perintah dari aktor pembangunan terutama para pejabat atau para pengambil keputusan. Tujuan komunikasi seperti telah disinggung sebelumnya selain untuk menyamakan persepsi, tapi juga bagaimana mengubah sikap, pendapat atau opini dan perilaku masyarakat. c). Channel Channel adalah media yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Selain itu, saluran merupakan mata rantai yang menghubungkan komunikator dengan komunikan. Dalam lingkungan suatu organisasi, saluran-saluran yang paling umum digunakan adalah audio visual. Saluran yang digunakan oleh pimpinan sebagai komunikator sangat tergantung kepada pesan dan pendekatan yang digunakan untuk mengirim pesan. Ini sesuai dengan yang dikemukakan Smeltzer et al. (1991 : 8) bahwa : ”A leader suol select the best channel to eliminate communicational distorsio”. Dalam upaya pemberdayaan masyararakat, kecocokan menggunaan media amat menentukan terhadap keberhasilan komunikasi yang dijalankan. Media komunikasi interpersonal kelihatannya masih merupakan komunikasi yang cukup penting di pedesaan. Sebagaimana disebutkan Sukanto (1981 : 65) bahwa : Sistem komunikasi interpersonal masih amat dibutuhkan, dimana tingkat pendidikan dan minat masyarakatnya masih rendah terhadap media massa modern”. Karena sifatnya yang interpersonal, maka komunikasi dipedesaan sangat banyak tergantung kepada para pemimpin masyarakat dan para pemuka (opinion leader). 218 d) Decoding dan Penerima Agar proses komunikasi dapat berlangsung dengan baik, pesan yang disampaikan harus di-encode (ditafsirkan) sesuai dengan penerima. Jadi decoding adalah : ”Proses penafsiran lambang yang mengandung pikiran dan perasaan komunikator dalam konteks pengertian penerima”. (Effendy, 1989 : 18). Di samping itu : ”Proses komunikasi akan berlangsung dengan baik bila terjadi adanya kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan.” (Effendy, 1989 : 17). Untuk itu, perlu dipertimbangkan bagaimana perhatian selektif yang dilakukan penerima pesan. Komunikan dapat memilih apa yang tidak mau ia dengar/lihat. Selain itu, faktor kerangka acuan (frame of reference) dan faktor pengelaman penerima ketika menafsirkan pesan juga turut menentukan adanya persamaan makna pesan yang dikirimkan oleh komunikator. e) Feedback Pengertian umpan balik sebagaimana dikemukakan Effendy (1989 : 45) yaitu : ”Proses sampainya tanggapan komunikan kepada komunikator, setelah komunikan menilai suatu pesan yang ditujukan kepadanya.” Sedangkan, Smeltzer et al. (1991 : 11) menyatakan bahwa feedback merupakan :”The most assential factor to ensure that the message as received completely”. Untuk mengetahui bagaimana sikap atau respon masyarakat melalui lembaga desa yang ada terhadap program-program dan segala usulan, saran atau gagasan yang disampaikan, dalam komunikasi ini dilihat melalui feed back (umpan balik). Tersedianya umpan balik dalam komunikasi penting artinya untuk 219 menguji seberapa jauh pesan-pesan pembangunan yang disampaikan itu bisa dimengerti, bagaimana hubungan yang terjadi melalui saluran komunikasi yang tersedia dapat menimbulkan dampak positif terhadap perubahan tingkah laku masyarakat dan mendapat dukungan dari masyarakat. Dari berbagai pemaparan tadi dapat dikatakan sebagai faktor penentu dalam proses pembangunan maupun penggerakkan masyarakat, maka Kepala Desa sebagai pemimpin harus senantiasa berkomunikasi dengan semua pihak, baik kedalam (internal) maupun keluar (eksternal) organisasi secara formal maupun informal. Suksesnya pelaksanaan tugas pemimpin, sebagian besar ditentukan oleh kemahirannya menjalin komunikasi yang tepat dengan semua pihak, secara horisontal maupun vertikal ke atas dan ke bawah. Dalam kaitannya dengan pembedayaan, dapat diungkap seberapa besar pemimpin atau Kepala Desa sebagai agen pembangunan, katalisator, fasilitator mampu menyampaikan pesan, perintah dan setiap informasi atau kebijakan secara jelas kepada masyarakat. Bagaimana saluran-saluran (media) yang digunakanan cocok dengan situasi kondisi dan latar belakang khalayak sasaran. Seberapa besar tingkat keterbukaan dan intensitas komunikasi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang terlibat baik masyarakat maupun lembaga-lembaga terkait sehingga dapat memperluas dukungan dan akses masyarakat terhadap sumber-sumber daya pembangunan perdesaan. Untuk merubah sikap, perilaku masyarakat diperlukan komunikasi organisasi yang efektif, agar pesan-pesan atau program-program pembangunan yang dapat diterapkan dan diterima lingkungannya. 220 2.1.4. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Dengan demikian pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.(Sulistiyani, 2004 : 77). Pengertian “proses” menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah kondisi masyarakat yang kurang atau belum berdaya, baik knowledge, attitude, maupun practice (KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan, sikapperilaku sadar dan kecakapan-ketrampilan yang baik. Sejalan dengan pemahaman tersebut, konsep pemberdayaan merupakan ide menempatkan manusia lebih sebagai subjek dari dirinya sendiri (Pranarka dan Tjokrowinoto, 1996 : 56). Karena itu, proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu : Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan atau kemampuan kepada mereka yang mengalami ketidakberdayaan. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna membangun kemandirian melalui institusi. Upaya ini bisa dilakukan melalui pemberian kuasa dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan berbagai kegiatan, program yang mereka butuhkan sesuai kondisi dan kemampuan sumber-sumber yang ada. Kedua, proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu atau kelompok agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Proses menstimulasi bisa dilakukan melalui upaya pemberdayaan meliputi usaha menyadarkan, mendukung, mengembangkan potensi diri dengan berbagai pelatihan ketrampilan dan pengembangan , bantuan dalam penyusunan mekanisme organisasi dan pendanaan serta bantuan teknis lainnya. 221 Menurut The Webster & Oxford English Dictionary,kata empowerment mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain). Kedua berarti to give ability to or enable (sebagai upaya memberi kemampuan atau keberdayaan). Sementara itu, Dubois dan Miley (1986 : 12) menyatakan bahwa Pemberdayaan (empowerment) : “A process throught which people become strong enaugh to participate within, share in the control of and influence events and institution of fecting their lives (and that in part) empowerment neccesitates that people gain particular skills, knowledge, and sufficient power to influence their lives and the lives those they care about”. Jadi pemberdayaan merupakan proses yang menyeluruh, suatu proses aktif antara motivator, fasilitator dan kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan. Dengan demikian dalam proses pemberdayaan, setiap individu, kelompok, masyarakat dapat menjadi lebih mandiri dan mampu untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Berdasarkan pemikiran tadi, maka inti pemberdayaan adalah memandirikan masyarakat dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung (Kartasasminta, 1997 : 7). Sedangkan Stewart (1994 : 47) menyebutkan, inti pemberdayaan adalah membuat mampu (enabling). Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa hakekat pemberdayaan itu tiada lain merupakan suatu upaya yang dilakukan individu, kelompok, organisasi atau negara dalam kerangka peningkatan kekuatan, pemberian keberdayaan atau otoritas, pelimpahan kekuasaan atau 222 wewenang terhadap suatu komunitas atau masyarakat tertentu yang dipandang kurang memiliki keberdayaan. Hal ini berguna untuk memperoleh akses terhadap berbagai bidang kehidupan baik sosial, ekonomi, budaya, hukum, maupun politik agar dapat ikut terlibat (berpartisipasi) dalam perumusan kebijakan politik maupun pelaksanaan program pembangunan guna menata kehidupan yang lebih demokratis. Senada pemikiran tadi, pemberdayaan dapat dipahami dari berbagai perspektif yang dapat dikembangkan satu dengan lainnya saling terkait, pemberdayaan dapat dilihat dari perspektif sosial, politik dan psikologis (Friedmenn, 1992 : 33). Pendapat lain menyebutkan 4 perspektif pemberdayaan yakni pemberdayaan politik, ekonomi, sosial budaya dan pemberdayaan lingkungan. (Ndraha, 2000 -.80-81). Dari beberapa pendapat tadi dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, dari perspektif politik. Konsep sentral pemberdayaan adalah power (Hanna and Robinson, 1994 : xii). Pemberdayaan merupakan proses menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan politik, yakni kekuasaan yang dimiliki pemerintah atau negara yang dikonfrontasikan dengan rakyat atau masyarakat. Pemberdayaan Politik, bertujuan meningkatkan bargaining position yang diperintah terhadap Kedua dari perspektif sosial. Pemberdayaan berarti menyangkut akses terhadap sumber-sumber informasi, partisipasi ,pengetahuan, ketrampilan,kecakapan, ,lembaga-lembaga sosial dan lembaga keuangan. Dalam logika seperti ini, pemberdayaan dari ketidakberdayaan dapat dicapai dalam keteraturan dan 223 dinamisasi kehidupan masyarakat yang ada tanpa dampak negatif yang signifikan terhadap power yang besar. Pemberdayaan Sosial, bertujuan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (human invesment), penggunaan (human utilization) dan perlakuan seadil-adilnya terhadap manusia. Ketiga, Pemberdayaan Ekonomi, dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan yang daya masyarakat dalam mengatasi dampak negatif pertumbuhan, pembayar resiko salah urus, pemikul beban pembangunan, kegagalan program. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, lebih banyak bertumpu pada kemampuan untuk meningkatkan daya beli atau pendapatan mereka melalui berbagai usaha produktif . Keempat, perspektif psikologis, yakni digambarkan rasa potensi individu (individual sense of potency) yang menunjukkan rasa percaya diri (Pranarka dan Tjokrowinoto, 1996 : 61). Pemberdayaan psikologis berarti berkembangnya motivasi, kreasi, rasa memiliki, kebersamaan, martabat dan harga diri manusia, hasrat dan kebebasan seseorang terhadap lingkungan yang mempengaruhi dirinya. Rasa potensi diri akan memberi pengaruh positif untuk meningkatkan kekuatan sosial politiknya. Suatu masyarakat yang berdaya berarti masyarakat mampu membangun dirinya sendiri (self development), menciptakan kelompok kerja yang dinamis (groups dynamics), dan merubah perilakunya (changing behavior) dengan meninggalkan kebiasaan yang lebih menguntungkan dalam melakukan kegiatan. 224 2.2 Kerangka Pemikiran Paralel dengan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan & pembangunan desa dari pola sentralistik ke desentralisasi berimplikasi pada perubahan kebijakan sistem pemerintahan ,maka diperlukan suatu strategi atau arah kebijakan pembangunan yang bersifat terpadu. Strategi itu pada dasarnya mempunyai tiga arah. Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran serta masyarakat. Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran serta masyarakat lokal. (Sumodiningrat, 1999 : 130) Pemberdayaan menunjukan pada kemampuan orang khususnya kelompok lemah, sehingga mereka memiliki kemampuan atau keberdayaan dalam : a. Memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan hanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, kemiskinan. b. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan. c. Berpartisiapsi dalam proses pembangunan dan keputusan yang mempengaruhi masa depannya. (Suharto, 2005 : 58). Sebagai proses, pemberdayaan berarti serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan terutama kelompok lemah dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari 2 aspek penting yaitu : Pertama, pemberdayaan sebagai proses mengembangkan kemandirian, keswadayaan, memperkuat posisi (bargaining position) terhadap setiap keputusan atau kebijakan pemerintah. Kedua sebagai proses memfasilitasi masyarakat dalam memperoleh akses terhadap sumber-sumberdaya,memberikan ruang gerak dan 225 memberi dorongan untuk tumbuh dan berkembangnya kreasi, partisipasi dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat, banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilannya, Tjokroamidjojo menyebutkan beberapa faktor fundamental dalam rangka pemberdayaan yaitu ditentukan oleh “Kepemimpinan, komunikasi, koordinasi dan pendidikan.” (Tjokroamidjojo, 1991 : 226). Komunikasi memegang peranan penting untuk menyebarluaskan berbagai program, kegiatan, kebijakan dan melakukan perubahan serta menjalin hubungan dengan berbagai kelompok atau lembaga terkait. Tanpa komunikasi tidak akan terjadi interaksi. Hal ini bertolak dari asumsi bahwa organisasi dan dinamikanya tidak berada dalam isolasi, ia sebantiasa berinteraksi kedalam maupun keluar organisasi. Seperti dikatakan Tjokroamidjojo (1991 : 227), bahwa : “Komunikasi juga dimaksudkan untuk menumbuhkan berbagai perubahan nilai dan sikap yang inheren dalam proses pembaharuan tanpa menimbulkan tekanan, frustasi dan friksi.” Menyadari pentingnya komunikasi oleh pimpinan dalam suatu organisasi, Lindgren (dalam Effendy, 1981 : 39) menyatakan “Effective leadership means effective communication”. Hakekat kepemimpinan ialah apa yang si pemimpin komunikasikan dan bagaimana ia mengkomunikasikannya. Karena itulah, maka dinyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif berarti komunikasi yang efektif. Ini berarti pula bahwa seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus bisa berkomunikasi secara efektif. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus 226 senantiasa meningkatkan kemampuan berkomunikasinya. Hal ini tentunya bukan hanya ditujukan kedalam anggota organisasi yang bersangkutan (intern), tetapi juga kepada lingkungan masyarakat dimana organisasi itu berada (ekstern). Dalam kaitannya ini dapat diungkap seberapa besar pemimpin atau Kepala Desa sebagai agen pembangunan, katalisator, fasilitator mampu menyampaikan pesan, perintah dan setiap informasi atau kebijakan secara jelas kepada masyarakat. Bagaimana saluran-saluran (media) yang digunakanan cocok dengan situasi kondisi dan latar belakang khalayak sasaran. Seberapa besar tingkat keterbukaan dan intensitas komunikasi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang terlibat, baik masyarakat maupun lembaga-lembaga terkait sehingga dapat memperluas dukungan dan akses masyarakat terhadap sumber-sumber daya pembangunan perdesaan. Untuk merubah sikap dan perilaku masyarakat diperlukan komunikasi organisasi yang efektif, agar pesan-pesan atau programprogram pembangunan yang dapat diterapkan dan diterima lingkungannya. Ukuran keberdayan dapat dilihat berbagai aspek yaitu diantaranya dari perspektif politik, sosial maupun psikologis (Friedmenn, 1992). Pertama, dari perspektif politik, diukur melalui akses setiap individu/kelompok terhadap sumber informasi, pendanaan, keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan, kesempatan untuk memperoleh informasi secara merata, kejelasan wewenang untuk melakukan pilihan keputusan/tindakan sesuai kebutuhan dan kemampuan yang ada.(Hanna and Robinson, 1994 : xii; Paul, 1987). 227 Kedua dari perspektif sosial, diukur melalui : bagaimana masyarakat mampu memiliki akses terhadap resources baik material, informasi, maupun kekuasaan, melalui proses penguatan kelembagaan untuk dapat berpartisipasi dalam setiap tahap proses pembangunan, memperoleh faktor-faktor produktif dan menentukan pilihan masa depannya sebagai bagian dari dinamika, tanpa menimbulkan hambatan atau konflik yang berarti. Adanya peningkatan ketrampilan dan pengetahuan untuk ikut mengelola proses pemerintahan/pembangunan. Mayo and Craig (1995 : 5); (Kabeer dalam Pranarka dan Moeljarto, 1996 : 64). Ketiga, dari perspektif psikologis, yang diukur melalui berkembangnya rasa potensi individu (individual sense of potency). (Pranarka; Moeljarto, 1996 : 61). Pemberdayaan psikologis berarti berkembangnya motivasi, rasa percaya diri, rasa memiliki, berkembangnya kreasi, kebersamaan, harga diri manusia, hasrat dan kebebasan seseorang terhadap lingkungan yang mempengaruhi dirinya. Rasa potensi diri akan memberi pengaruh positif untuk meningkatkan kekuatan sosial politiknya, menciptakan kelompok kerja yang dinamis (groups dynamics), dan merubah perilakunya (changing behavior) dengan membiasakan perilaku yang positip yang lebih menguntungkan dalam melakukan kegiatan. 2.3. Hipotesis Berdasarkan kerangka pikiran yang telah diuraikan sebelumnya dapatlah dirumuskakan hipotesis sebagai berikut :“ Pengaruh Komunikasi terhadap 228 tingkat Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Cianjur ditentukan oleh derajat Kemampuan Komunikator, Pesan, Media, Komunikan dan Umpan Balik.” 229 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Dengan memperhatikan pada tujuan penelitian, maka penelitian ini bersifat deskriptif verifikatif. Penelitian deskriptif ditujukan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat terhadap fakta-fakta, sifat-sifat dengan interpretasi yang tepat (Whitney, 1960). Sifat verifikatif dalam penelitian inipun selain memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena yang diteliti serta menerangkan hubungan antar variabel juga melakukan pengujian hipotesis, mendapatkan makna dan implikasi dari masalah yang dileliti. (Natsir, 1988 : 64). Sesuai dengan fenomana sosial yang tercermin dalam tujuan penelitian tadi, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode survey eksplanatori (explanatory survey). Penggunaan metode ini dimaksudkan bukan hanya untuk menerangkan konsep dan fakta, peristiwa dewasa ini (explanation), tetapi bermaksud menganalisis dan menjelaskan pengaruh kausal antara variabelvariabel melalui pengujian hipotesis”. (Singarimbun, 1989 : 5; Rusidi, 1996 : 15). Dengan survey eksplanatori diharapkan dapat mengungkap secara cermat pengaruh pengembangan lembaga desa terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan. 3.2. Variabel Penelitian dan Operasionalisasi Variabel. 3.2.1. Variabel Penelitian. 230 Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yakni variabel bebas (independent variable), yakni Komunikasi dengan variabel terikat (dependent variable) yaitu Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan. 3.2.2 Operasionalisasi Variabel Penelitian Definisi operasional dari masing-masing variabel yaitu : 1. Komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan melalui saluran komunikasi langsung (interpersonal) maupun media komunikasi tertentu yang bertujuan untuk merubah pengertian, kepercayaan, sikap dan tindakan penerimanya. Komunikasi dalam penelitian ini diorientasikan pada komunikasi pimpinan dalam hal ini lebih ditekankan bagaimana komunikasi yang dilakukan oleh Kepala Desa sebagai pemimpin di tingkat desa dalam rangka penyebaran informasi/pesanpesan, pemberian pengertian yang dapat menimbulkan perubahan sikap-sikap, kepercayaan dan memperoleh dukungan lingkungan masyarakat. B. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan yaitu suatu proses memberikan daya, kekuatan kepada masyarakat dalam mengurus berbagai kegiatan, program yang dibutuhkan agar memiliki kemampuan dan kemandirian. Pemberdayaan juga berarti proses menstimuli, mendorong dan memotivasi masyarakat dengan berbagai bimbingan, pelatihan dan bantuan agar memiliki keberdayaan baik secara sosial, ekonomi, politis maupun psikologis. Jadi pemberdayaan diukur dari aspek proses dan produk yakni bagaimana menstimuli, memberikan daya dan dari aspek hasilnya, yakni dalam bentuk tingkat keberdayaan baik sosial, ekonomi, politik maupun psikologis. 231 Untuk menggambarkan mengenai operasionalisasi variabel, maka penulis sajikan dalam tabel berikut ini : TABEL 3.1 OPERASIONALISASI VARIABEL BEBAS No. VARIABEL DIMENSI INDIKATOR NO. PERT. Komunikasi Komunikator Pesan Media Komunikan Umpan Balik - Penyampaian pesan - Daya tanggap pimpinan - Daya empati - Katalisator - Kejelasan pesan - Kesesuaian dengan sikon - Mamfaat perubahan - Saluran interpersonal - Forum pertemuan - Intensitas pertemuan - Pemanfaatan jaringan - pemamfatan media massa - Daya respon - Kemampuan berubah - Jalinan hubungan - Dukungan lingkungan - Suasana dialogis - Keterbukaan - Tindak lanjut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15,16 17 18 19 20 232 TABEL 3.2 OPERASIONALISASI VARIABEL TERIKAT No. VARIABEL DIMENSI INDIKATOR NO. PERT. Pemberdayaan Sosial Politis Ekonomis Psikologis - Akses terhadap informasi - Kemudahan dalam pelayanan - Keswadayaan - Pemeliharaan gotong royong - Kerjasama sinergis - Kemampuan bargaining - Pemamfaatan wewenang - Peran aktif - Pemihakan - Pemanfaatan bantuan - Realisasi bantuan. - Kelancaran berusaha - Kemampuan daya beli. - Sikap terhadap perubahan - Tanggung jawab. - Kemandirian - Keyakinan 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34,35 36 37 38 3. 3. Metode Penarikan Sampel Kabupaten Cianjur yang memiliki 30 kecamatan terdiri dari 345 desa dan 6 kelurahan terbagi kedalam 3 wilayah, yakni Wilayah Utara sebanyak 15 kecamatan, Wilayah Tengah 7 kecamatan dan Wilayah Selatan 8 kecamatan. Dapat dikatakan bahwa populasi penelitian adalah seluruh lembaga desa yang berperan memberdayakan masyarakat desa di Kabupaten Cianjur. Dalam 233 penelitian ini lembaga desa yag dipilih sebagai mana telah diuraikan sebelumnya yakni ditentukan 3 lembaga desa, yakni Pemeritah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, dengan pertimbangan ketiga lembaga tersebut sama-sama ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan, menentukan arah pembangunan dan mengalami perubahan fungsi, peran serta kedudukan Kepala Desa yang semula menjadi ex officio sebagai ketua pada semua lembaga desa, kini terpisah dengan mengembangkan pola hubungan yang lebih didasarkan pada semangat kemitraan. Dari hasil prasurvey diperoleh rincian populasi sebagai berikut : TABEL 3.3 WILAYAH PENELITIAN DAN JUMLAH POPULASI No Wilayah Kecamatan Desa Populasi 1 Utara 15 183 549 2 Tengah 7 90 270 3 Selatan 8 78 234 Total 30 351 1053 Sumber : Hasil Penelitian, 2007 Untuk mendapatkan sampel yang representatif, maka pemilihan sampel dilakukan secara “Proportionate Stratified Random Sampling”. Untuk menentukan ukuran sampel digunakan rumus berikut : n = n0 1 + n0 – 1 N z ½ a 2 n0 = 2 BE 234 (Harun Al Rasyid, 1996 : 40-48) dengan catatan : n0 > 0,05 N n =
n0
1 + n0 – 1
N
N = Besarnya populasi ( organisasi ).
n = Besarnya sampel
a = Resiko kekeliruan yang mungkin terjadi.
Dengan menggunakan rumus di atas dan mengambil :
¨ Persentasi (p) = 0,5
¨ Derajat Kepercayaan = 95%, a = 5%
¨ Bound of Error (BE) = 8%
Maka besarnya sampel :
Z ½ a
2
1, 96
2
n0 = 2 BE = 2 x 0,08 = 150,062
0,05 N = 0,05 x 1053 = 53.25
jadi : n0 > 0,05 N atau 150,062 > 53.25
maka rumus penentuan sampel yang dipakai :
235
n =
n0
= 150,062
1 + n0 – 1 1 + 150,062 – 1
N 1053
= 131,644 = 132 responden
Oleh karena jumlah lembaga desa yang menjadi sampel berjumlah
132, maka distribusi sampel per wilayah dihitung secara
proportionate dengan cara :
Rumus: 3.2
ni = Besarnya sampel wilayah penelitian
Ni = Jumlah organisasi perwilayah
N = Besarnya populasi
n = Total sampel
maka dengan menggunakan rumus di atas diperoleh alokasi sampel per
wilayah sebagai berikut :
Setelah diketahui besarnya sampel yang berjumlah 132, maka perlu
diketahui besarnya desa sampel dengan membagi 3, karena tiap desa diwakili
oleh 3 lembaga desa ,maka diperoleh 44 desa sampel. Dengan menggunakan
proporsional untuk masing masing wilayah, maka dapat diketahui dengan rumus
yang sama dihitung secara proportionate dengan cara :
Rumus: 3.3
ni = Besarnya desa sampel wilayah penelitian
ni =
Ni
X n
N
ni =
Ni
X n
N
236
Ni = Jumlah sampel perwilayah
N = Besarnya total sampel
n = Total desa sampel
Dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh alokasi sampel desa per
wilayah sebagai berikut :
TABEL 3.4
ALOKASI SAMPEL DESA PER WILAYAH PENELITIAN.
No Wilayah Desa Populasi Sampel Desa sampel
1 Utara 183 549 69 23
2 Tengah 90 270 34 11
3 Selatan 78 225 29 10
Total 351 1053 132 44
Sumber : Hasil penelitian, diolah, 2007.
Dari tabel tersebut dapat diuraikan, selain pemilihan sampel dilakukan secara
“Proportionate Random Sampling, juga dilakukan dengan sampling klaster dua
tahap atau Two-stage cluster sampling. (Rasyid, 1988 : 23; Nasir, 1988 : 332).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
a. Studi kepustakaan, melalui studi kepustakaan data dikumpulkan dengan
cara mempelajari dan menelaah berbagai referensi, peraturan-peraturan
perundangan, kebijakan laporan-laporan dan dokumen-dokumenyang ada di
Pemerintah Kabupaten, Kecamatan dan Desa serta lembaga desa lainnya yang
ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti.
237
b. Observasi, yaitu dengan jalan mengadakan pengamatan langsung di
lapangan dan mencatat mengenai masalah-masalah penting yang ada
hubungannya dengan penelitian ini. Dengan observasi diarahkan untuk
memperoleh gambaran empirik berupa data yang relevan berupa kondisi dan
situasi lapangan.
c. Wawancara, yaitu dilakukan dengan para pejabat yang berkompeten baik
tingkat kabupaten, kecamatan maupun dengan para tokoh masyarakat tingkat
desa, yang menjadi objek penelitian guna membantu memahami gejala
sosial yang timbul secara cermat dan kritis.
d. Kuesioner. Dalam penelitian ini digunakan sebagai instrumen pokok untuk
menjaring sejumlah data yang relevan. Dengan kuesioner dapat
mengungkapkan data yang menyangkut persepsi, sikap, berdasarkan nilai,
pengalaman dan keyakinan responden.
Untuk keperluan analisis secara kuantitatif, maka jawaban pilihan tersebut
dengan menggunakan skala 1 sd 5 dengan kriteria sebagai berikut :
Alternatif jawaban _______ positif
negatif
1. Sangat setuju /Selalu /Sangat baik diberi skor 5 1
2. Setuju / sering / baik diberi skor 4 2
3. Ragu-ragu / kadang-kadang/cukup diberi skor 3 3
4. Tidak setuju / hampir tidak pernah/ kurang diberi skor 2 4
5. Sangat tidak setuju / tidak pernah/ jelek diberi skor 1 5
Dalam penyusunan kuesioner, penulis menggunakan model skala Likert’s
dengan metode summated ratings. Menurut Vredenbregt (1996 : 108) skala
Likert’s tersebut merupakan skala ordinal. Oleh karena itu agar dapat dilakukan
238
pengujian hipotesis penelitian ini dengan path analysis (analisis jalur), maka data
yang diperoleh dengan skala Likert;s perlu dinaikkan menjadi skala interval
dengan menggunakan Method of Successive Interval (MSI).
3.5. Penskalaan
Setelah dilakukan analisis instrumen penelitian, selanjutnya jika instrumen
tersebut valid, reliabel dan konsisten, selanjutnya nilai jawaban responden diubah
skalanya menjadi skala pengukuran interval dengan menggunakan metode
Successive Interval yang caranya dilakukan menurut seperti berikut ini :
a) Perhatikan nilai jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuesioner
b) Untuk setiap pertanyaan tersebut, lakukan perhitungan ada berapa responden
yang menjawab skor 1, 2, 3, 4, 5 = frekuensi ( f )
c) Setiap frekuensi dibagi dengan banyaknya responden dan hasilnya = ( p )
d) Kemudian hitung proporsi kumulatifnya ( pk )
e) Dengan menggunakan tabel normal, dihitung nilai Z untuk setiap proporsi
kumulatif yang diperoleh
f) Tentukan nilai densitas normal ( fd ) yang sesuai dengan nilai Z
g) Tentukan nilai interval (scale value ) untuk setiap skor jawaban dengan rumus
sebagai berikut :
(Area below upper limit) - (Area below lower limit)
( Density at lower limit) - (Density at upper limit)
Scale Value =
h) Sesuaikan nilai skala ordinal ke interval, yaitu Skala Value (SV) yang nilainya
terkecil (harga negatif yang terbesar) diubah menjadi sama dengan jawaban
responden yang terkecil melalui transformasi berikut ini.
239
Transformed Scale Value : SV = SV + { SV min } + 1
3.6. Metode Analisis Data
Sesuai dengan hipotesis dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka analisis penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif.
Disamping itu, untuk lebih memahami fenomena yang diamati, maka dilengkapi
juga dengan analisis kualitatif yakni melalui metode deskriptif. Dalam analisis
data kualitatif yaitu didasarkan pada hasil distribusi skor data yang diperoleh
dengan skor data yang tertinggi yang dicapai. Dari perbandingan nilai tersebut,
sehingga dapat diungkap keadaan atau tingkat kemampuan variabel-variabel yang
diteliti.Adapun mengenai uji hipotesis yang digunakan dalam analisis kuantitatif
digunakan analisi korelasi dan analisis jalur.
b. Pengujian Koefisien Jalur
Sebelum mengambil kesimpulan mengenai hubungan kausal yang
telah digambarkan dalam diagram jalur, terlebih dahulu diuji keberartian
untuk setiap koefisien jalur yang telah dihitung. Untuk menguji koefisien jalur
tersebut dapat ditempuh melalui dua cara yaitu : secara keseluruhan (overall)
dan secara individual.
1. Pengujian Secara Keseluruhan
Hipotesis pada pengujian keseluruhan ini adalah :
Ho : pYx1 = pYx2 = pYY = …. = pYxk = 0
Tidak Terdapat hubungan yang signifikan antara Komunikasi dengan
pemberdayaan masyarakat.
H1 : Sekurang-kurangnya ada sebuah pYxi ¹ 0
Terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi dengan
pemberdayaan masyarakat.
Dengan statistik uji F pada Tabel ANOVA :
F =
n k R
k R
YX X X
YX X X
k
k
- -
-
1
1
1 2
1 2
2
2
240
Dengan derajat bebas v1 = k dan v2= n-k-1 tolak Ho jika F hitung lebih
besar dari Fa, v1,v2 atau bandingkan nilai signifikansi (pada SPSS) dengan nilai
a, jika nilai sig < a maka Ho ditolak. Hipotesis statistik yang akan diuji : Ho : pYxi = 0 , Faktor Komunikasi tidak berpengaruh nyata terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan desa di Kabupaten Cianjur H1 : pYxi ¹ 0 Faktor Komunikasi berpengaruh nyata terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan desa di Kabupaten Cianjur Rumus pengujian : 1 (1 2 ) 1 2 ... 5 - - - = n k R CR p t YX X X ii YX i i i= 1,2…6 Statistik uji di atas mengikuti distribusi t dengan derajat bebas n-k-1, tolak Ho jika t hitung lebih besar dari t(1-a;- n-k-1). atau bandingkan nilai signifikansi (pada SPSS) dengan nilai a, jika sig.< a maka Ho ditolak. Sedangkan keberartian koefisien korelasi antar variabel X1 sampai dengan X6 dengan hipotesis sebagai berikut : Ho : rxixj = 0 i, j = 1,2,...,6 H1 : rxixj ¹ 0 Dengan statistik uji sebagai berikut : t r n k r = - - - 1 1 2 241 Kriteria uji : Tolak H0 jika t hitung > t tabel = t(1-a/2 ; n-k-1) atau t hitung < -t (1-a/2 ; n-k-1) Jika dari hasil pengujian koefisien korelasi antara variable X signifikan, hal itu menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang nyata antar faktorKomunikasi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1.1. Keadaan Geografis Kabupaten Cianjur Kabupaten Cianjur secara geografis terletak berada di tengah Propinsi Jawa Barat, yakni diantara 6. 21’ – 7. 25’ Lintang Selatan dan 106. 42’ – 107. 25’ Bujur Timur. Letak Kabupaten Cianjur sangat strategis yang berada pada jalur regional dan sebagai urat nadi mobilitas penduduk, barang dan jasa antar 2 propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat. Posisi tersebut telah memberikan peluang dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang memberi dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat Cianjur. Dengan kearanekaragam kegiatan telah berkembang sedemikian rupa, sehingga menunjukkan kontribusi yang begitu besar dalam mendukung percepatan pembangunan diberbagai sektor termasuk pembangunan perdesaan. Luas wilayah Kabupaten Cianjur adalah 350.148 Ha yang secara administratif berbatasan dengan : - Sebelah Utara adalah Kabupaten Bogor dan Purwakarta; 242 - Sebelah Barat adalah Kabupaten Sukabumi; - Sebelah Selatan adalah Samudera Indonesia; dan - Sebelah Timur adalah Kabupaten Bandung dan Garut. Secara geografis wilayah Kabupaten Cianjur terbagi dalam 3 bagian, yakni : Cianjur Bagian Utara, Cianjur Bagian Tengah, dan Cianjur Bagian Selatan. 1. Cianjur Bagian Utara, merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan areal perkebunan dan persawahan, secara topografi berada pada ketinggian sekitar 2.962 m di atas permukaan laut. Wilayahnya juga meliputi daerah puncak dengan ketinggian sekitar 1.450 m, wilayah perkotaan Cipanas (Kecamatan Pacet dan Sukaresmi) dengan ketinggian 1.110 m, serta Kota Cianjur dengan ketinggian sekitar 450 m di atas permukaan laut. Sebagian daerah ini merupakan dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan perkebunan dan persawahan. Di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor terdapat Gunung Salak, yang merupakan gunung api termuda dan sebagian besar permukaannya ditutupi bahan vulkanik . Cianjur Bagian Barat ini meliputi 15 Kecamatan, yakni Kecamatan Cibeber, Bojong Picung, Ciranjang, Karang Tengah, Cianjur, Warung Kondang, Cugenang, Pacet, Mande, Cikalong Kulon, Sukaluyu, Cilaku, Sukaresmi, Gekbrong dan Cipanas. 2. Cianjur Bagian Tengah, merupakan perbukitan, tetapi juga terdapat dataran rendah persawahan, perkebunan yang dikelilingi oleh bukit-bukit kecil yang tersebar dengan keadaan struktur tanahnya yang labil, sehingga sering terjadi tanah longsor. Terdapat 7 Kecamatan di wilayah tengah terdiri dari : 243 Kecamatan Tanggeung, Pagelaran, Kadupandak, Takokak, Sukanagara, Campaka dan Campaka Mulya. 3. Cianjur Bagian Selatan, merupakan dataran rendah yang terdiri dari bukit-bukit kecil diselingi pegunungan yang melebar ke Samudera Indonesia. Diantara bukit-bukit dan pegunungan tersebut terdapat pula persawahan dan ladang huma. Dataran terendah di selatan Cianjur mempunyai ketinggian sekitar 7 m di atas permukaan laut. Seperti halnya daerah Cianjur Bagian Tengah, Bagian Selatanpun tanahnya labil dan sering terjadi longsor. Disini terdapat juga areal persawahan dan perkebunan, tetapi tidak begitu luas. Kecamatan yang termasuk wilayah ada 8 kecamatan yang terdiri dari : Kecamatan Agrabinta, Leles, Sindang Barang, Cidaun, Naringgul, Cibinong, Cikadu dan Cijati. Dari data lapangan diperoleh bahwa secara keseluruhan di Kabupaten Cianjur terdapat 30 Kecamatan, 345 Desa dan 6 kelurahan. Ini berarti Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kabupaten yang amat luas, dengan luas keseluruhan 35.148 ha. Selanjutnya mengenai pengembangan pusat kegiatan dan pelayanan di Kabupaten Cianjur didasarkan pada adanya lima pertimbangan, yakni : 1) Mewujudkan Visi dan Misi Kabupaten Cianjur; 2) Menyelaraskan antara perkembangan penduduk dan kebutuhan kelengkapan sarana dan prasarana pada setiap wilayah; 3) Pemecahan pengembangan wilayah; 4) Mewujudkan aspirasi masyarakat; serta 5) Mewujudkan rencana struktur tata ruang, 4.1.2 Visi , Misi, Arah Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Daerah 244 Kabupaten Cianjur. Visi Kabupaten Cianjur adalah “Cianjur lebih cerdas, sehat, sejahtera dan berakhlaqul karimah”. Sedangkan Misi Kabupaten Cianjur yaitu : 1. Meningkatkan akses terhadap pendidikan yang bermutu. 2. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 3. Meningkatkan pembangunan ekonomi yang berbasis potensi lokal. 4. Meningkatkan pembinaan akhlaqul karimah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Program percepatan pembangunan di Kabupaten Cianjur memakai pola pembagian wilayah pembangunan partisipatif. Tahun 2006-2011 merupakan tahap Lima Tahun mewujudkan Cianjur yang cerdas, sehat, sejahtera, dan berakhlaqulkarimah, adalah tahap pertama pembangunan yang diamanatkan dalam RPJP Daerah 2006-2026 yang merupakan dasar dari pembangunan ekonomi. Pada intinya hal ini merupakan pola pembangunan komprehensif dan holistik seluruh komponen masyarakat Kabupaten Cianjur. Pola pembangunan wilayah partisipatif dalam pelaksanaannya terbagi dalam 5 (lima) tahun anggaran, dimana 30 Kecamatan di Kabupaten Cianjur dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah pembangunan fokus per tahun anggaran, sehingga secara bertahap dan sistematis dalam 5 tahun anggaran akan terjadi proses pembangunan partisipatif, yaitu kondisi dimana masyarakat selaku subjek pembangunan berperan serta aktif dalam upaya peningkatan kualitas hidup (Indeks Pembangunan Manusia). Kondisi yang diterapkan diharapkan mampu meningkatkan keberdayaan, kredibilitas dan kreativitas, serta mampu menciptakan kemandirian masyarakat Kabupaten Cianjur. 245 4.1.3. Program Penanggulangan Kemiskinan, Pemberdayaan masyarakat dan Pembinaan oleh Pemerintah Daerah. Berdasarkan perhitungan, batas garis kemiskinan (Pendapatan per kapita) pada tahun 2004 di Kabupaten Cianjur sebesar Rp.121.902,00/kapita/bulan, kemudian diperkirakan meningkat menjadi Rp.141.382,04/kapita/bulan pada tahun 2011. Jumlah penduduk miskin (versi BLT) pada tahun 2004, sedangkan pada tahun 2005 KK miskin sebanyak 161.552 KK atau 28,24%, sedangkan pada tahun 2011 KK miskin diprediksikan tinggal 18,24% dari jumlah penduduk pada tahun 2011. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang dijabarkan dengan Perda Kabupaten Cianjur Nomor 22 tahun 2000 tentang Organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Cianjur dan Keputusan Bupati Cianjur Nomor 28 tahun 2001, bahwa nomenklatur PMD adalah “Kantor Pemberdayaan Masayarakat Desa” berkedudukan di tingkat Kabupaten Cianjur, merupakan unsur penunjang pemerintah kabupaten dipimpin oleh seorang kepala kantor yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati Cianjur melalui Sekretaris Daerah dan mempunyai eselonering III/a. Dalam menjalankan tugas pokoknya Kantor PMD mempunyai fungsi yaitu: (a) Penyelenggaraan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten di bidang pemberdayaan masyarakat desa. (b) Penyiapan bahan perumusan kebijakan umum pemerintah kabupaten di bidang pemberdayaan masyarakat desa. (c) Perumusan kebijakan teknis di bidang pemberdayaan masyarakat desa. 246 (d) Penyelenggaraan pelayanan umum serta pelaksanaan teknis pemberdayaan masyarakat desa. (e) Pembinaan teknis pemberdayaan aparatur dan hubungan aparatur pemerintah. (f) Penyelenggaraan tugas yang diberikan Bupati. (g) Pembinaan terhadap kelompok jabatan fungsional. Dalam menjalankan fungsinya tersebut Kantor PMD Kabupaten Cianjur bekerja menganut prinsip partisipatif, pendekatan kelompok (group work) atau lembaga kemayarakatan yang ada di desa , sesuai dengan budaya setempat dan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dan bukannya menciptakan ketergantungan (capacity building). PMD selaku Instansi pemerintah daerah berperan selaku koordinator dan fasilitator setiap program dan kegiatan pembangunan/pemberdayaan masyarakat di desa. Sedangkan masyarakat berperan tidak lagi hanya sebagai obyek pembangunan/pemberdayaan saja, tetapi adalah juga sebagai subyek atau pelaku pembangunan/pemberdayaan dirinya sendiri melalui kegiatan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di desa. Adapun Susunan Organisasi Kantor PMD Kabupaten Cianjur terdiri : (a) Kepala Kantor (b) Subbagian Tata Usaha (c) Seksi Pengembangan Desa (d) Seksi Binal Lembaga Masyarakat Desa (e) Seksi Bina Lembaga Masyarakat Desa (f) Seksi Bina Perekonomian Desa (g) Seksi Bina Sarana dan Prasarana Desa (h) Seksi Pemanfaatan Sumber Daya Alam Keadaan personalia Kantor PMD Kabupaten Cianjur adalah 36 orang terdiri dari :34 orang PNS dan 2 orang Tenaga Bantuan. Berdasarkan Tingkat Pendidikan S2 sejumlah 2 orang, S1 = 9 orang, D3 = 1 orang dan SLTA = 24 orang. Dari seluruh pegawai yang telah mengikuti Diklat Struktural & Teknis 247 Fungsional Diklatpim Tk. II 1 orang, SPAMa 1 orang, ADUMLA = 6 orang, ADUM = 10 orang, Kursus Manajemen Proyek 4 orang, Kursus Bendaharawan 4 orang, Substantif ke-PMD-an 7 orang dan Kursus Administrasi Kepegawaian 4 orang. Namun seiring dengan banyaknya perubahan di berbagai sektor pemerintahan maka program pemberdayaan masyarakat desa yang ditangani/dikelola dan menjadi kewenangan Kantor PMD-pun mulai banyak mengalami perubahan serta sedikit demi sedikit berpindah kewenangan ke instansi lain dan berubah nomenklatur serta mekanisme pelaksanaannya. Akibatnya makna dari program pemberdayaannyapun mulai hilang yaitu kurang memperhatikan peningkatan partisipasi dan keswadayaan masyarakat yang menjadi ciri dari pemberdayaan masyarakat itu sendiri. 4.2. Karakteristik Responden. Untuk menggambarkan mengenai keadaan responden, maka penulis sajikan kara kteristik berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, usia dan dari unsur terkait sebagaimana terlihat dalam tabel di berikut ini : TABEL : 4.1 KEADAAN RESPONDEN BERDASARKAN PENDIDIKAN LEMBAGA DESA No. PENDIDIKAN PEM.DESA B P D L P M F % 1. 2. 3. 4. 5. SD SLTP SLTA D3 S1 3 12 23 4 2 - 9 21 2 12 - 5 25 6 8 3 26 69 12 22 2,27 19,70 52,27 9,09 16,67 JUMLAH 44 44 44 132 100,00 Sumber : Hasil Penelitian, 2007 248 Dari sejumlah sampel yang diteliti, ternyata pengurus lembaga desa berpendidikan SD 3 orang ( 2,27 %), SLTP 26 orang (19,70 %), SLTA 69 orang (52,27 %), PT terdiri dari D- 3 12 orang dan S-1 22 orang (16,67 %). Dengan komposisi tingkat pendidikan seperti ini, hal ini terkait dengan kemampuan daya serap dan daya adaptasi para pengurus kelembagaan desa dalam menjalankan tugas ,fungsi dan kewenangannnya dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa. Namun tingkat pendidikan akan banyak ditunjang oleh pengalaman yang telah digeluti sebelumnya. Bagaimana mengenai keadaan usia responden, hal ini terlihat dalam tabel di bawah ini. TABEL : 4.2. KEADAAN RESPONDEN BERDASARKAN USIA LEMBAGA DESA No. U S I A PEM.DESA B P D L P M F % 1. 2. 3. 4. 5. 20 – 29 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 ke atas 6 10 15 10 3 4 8 26 5 1 8 12 14 8 2 18 30 55 23 6 13,64 22,72 41,67 17,43 4,54 JUMLAH 44 44 44 132 100,00 Sumber : Hasil Penelitian, 2007 Melihat tabel di atas sebagian besar responden yang berusia 40-49 (41,67 %), disusul yang berusia 30-39 (22,72 %), dan yang paling sedikit yang berusia 60 ke-atas (4,54 %). Hal ini menunjukkan bahwa para pengurus lembaga desa sebagian besar relatif yang sudah berusia dewasa. Terkait dengan usia ini umumnya mereka berada pada masa produktif. TABEL : 4.3 KEADAAN RESPONDEN BERDASARKAN MATA PENCAHARIAN 249 LEMBAGA DESA No. Mata Pencaharian PEM.DESA B P D L P M F % 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Petani/Buruh tani Guru Pamong Desa Wiraswasta/Dagang PNS non Guru Pensiunan 16 - 22 6 - - 7 19 - 9 8 1 5 18 - 11 7 3 28 37 22 26 15 4 21,21 28,03 16,67 19,70 11,36 3,03 JUMLAH 44 44 44 132 100,00 Sumber : Hasil Penelitian, 2007 Dari tabel di atas, mempelihatkan sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai guru dan petani , disusul petani dan yang lainnya. Kondisi mata pencaharian di desa sampel menunjukkan juga kecenderungan bahwa masyarakat desa di kabupaten Cianjur masih didominasi mereka yang bekerja sebagai guru dan petani. Hal ini dikarenakan guru dianggap sebagai salah satu elit desa yang umumnya memiliki tingkat pengetahuan dan kepekaan sosial yang relatif lebih baik. Sedangkan para petani dilibatkan ,hal ini sejalan dengan banyaknya kegiatan pembangunan desa yang berorientasi pada sektor pertanian. Jenis mata pencaharian ini tentu akan memiliki keterkaitan dengan pola hidup dan pola kerja dalam membangun desa. 4.3. Analisis Deskriptif Variabel Penelitian. Bab ini menyajikan hasil penelitian yang dituangkan dalam dua analisis yaitu analisis deskriptif dan analisis statistik kuantitatif. Analisis deskriptif berusaha menyajikan gambaran menyeluruh sesuai dengan objek penelitian dan teori yang dijadikan rujukan untuk diuji 250 melalui data empiris yang diperoleh atas dasar hasil penyebaran kuesioner, wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Pendeskripsian dan analisis variabel didasarkan pada akumulasi berbagai indikator dan dimensi yang diukur, selanjutnya diinterpretasikan berdasarkan analisis data primer maupun sekunder. Pengukuran atas variabel-variabel penelitian ditentukan berdasarkan penilaian sikap, persepsi atau pandangan responden terhadap setiap item pertanyaan yang diajukan kemudian data diolah dalam bentuk tabulasi. Selanjutnya jawban setiap indikator terakumulasi dalam dimensi dan akulmulasi dimensi tersebut merupakan kategori sikap responden terhadap suatu variabel. 4.3.1 Variabel Komunikasi Faktor komunikasi memegang peranan penting dalam upaya pemberdayaan masyarakat terutama dalam menciptakan iklim perubahan yang kondusif. Oleh karena itu, Kepala Desa sebagai sumber penyampai pesan harus benar-benar tanggap terhadap informasi dan setiap kebijakan pembangunan dan mampu menterjemahkannya ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi yang tepat, dapat memilih saluran media yang cocok serta menyediakan umpan balik untuk mengetahui respon masyarakat. Dengan demikian, diharapkan mampu menumbuhkan berbagai perubahan nilai dan sikap yang positip, adanya persepsi yang sama dan terjalinnya hubungan yang harmonis dengan pihak atau lembaga 251 lain yang terkait. Untuk mengungkap hasil penelitian dari sub variabel komunikasi, pada tabel berikut disajikan data tersebut. TABEL 4.4 VARIABEL KOMUNIKASI ( n= 132 ) NO. Jawaban KODE Fi A B C D E Xi fi.xi fi.xi KATEGORI DIMENSI KEMAMPUAN KOMUNIKATOR 1 Penyampaian pesan P1 4 53 29 30 16 1 2 3 4 5 4 106 87 120 80 397 Cukup 2 Daya tanggap pimpinan P 2 4 52 62 13 1 1 2 3 4 5 4 104 186 52 5 351 Cukup 3 Daya empati P 3 31 58 37 5 1 5 4 3 2 1 155 232 111 10 1 509 Tinggi 4 Katalisator P 4 6 42 73 10 1 5 4 3 2 1 30 168 219 20 1 438 Cukup JUMLAH 1695 Cukup DIMENSI PESAN 5 Kejelasan pesan P 5 17 72 39 3 1 5 4 3 2 1 85 288 117 6 1 497 Tinggi 6 Kesesuaian dengan sikon P 6 11 50 65 5 1 5 4 3 2 1 55 200 195 10 1 461 Tinggi 7 Mamfaat perubahan P 7 11 67 46 7 1 1 2 3 4 5 11 134 138 28 5 316 Rendah JUMLAH 1274 Cukup DIMENSI MEDIA 8 Saluran interpersonal P 8 7 44 71 9 1 5 4 3 2 1 35 176 213 18 1 443 Cukup 9 Forum pertemuan P 9 17 77 35 2 1 5 4 3 2 1 85 308 105 4 1 503 Tinggi 10 Intensitas pertemuan P 10 11 70 48 2 1 5 4 3 2 1 55 280 144 4 1 484 Tinggi 11 Pemanfaatan jaringan P11 4 52 48 24 4 5 4 3 2 1 20 208 144 48 4 424 Cukup 12 Pemamfatan media massa P12 24 62 39 6 1 5 4 3 2 1 120 248 117 12 1 498 Tinggi JUMLAH 2352 Tinggi DIMENSI KOMUNIKAN 13 Daya respon P13 18 59 45 9 1 5 4 3 2 1 90 236 135 18 1 480 Tinggi 14 Kemampuan berubah P14 15 63 46 7 1 1 2 3 4 5 15 126 138 28 5 312 Rendah 15 Jalinan hubungan P15 9 44 66 12 1 1 2 3 4 5 9 88 198 48 5 348 Cukup Jalinan hubungan P16 9 44 60 18 1 1 2 3 4 5 9 88 180 72 5 354 Cukup JUMLAH 1494 Cukup DIMENSI UMPAN BALIK 16 Dukungan lingkungan P17 8 77 39 5 3 5 4 3 2 1 40 308 117 10 3 478 Tinggi 17 Suasana dialogis P18 14 49 50 16 3 5 4 3 2 1 70 196 150 32 3 451 Tinggi 18 Keterbukaan P 19 14 69 38 8 3 5 4 3 2 1 70 276 114 16 3 479 Tinggi 19 Tindak lanjut P20 9 29 28 52 14 5 4 3 2 1 45 116 84 104 14 363 Cukup JUMLAH 1771 TOTAL SKOR SUB VARIABEL 858 6 Cukup Sumber : Hasil Penelitian, 2007. SV – X6 D16 D17 D18 D19 D20 Nilai indeks minimum = 1 X 20 x 132 = 2.640 Nilai indeks maksimum = 5 X 20 x 132 = 13.200 Range = 13.200 - 2.640 = 10.560 Jenjang range = 10.560 : 5 = 2.112 252 SANGAT RENDAH RENDAH CUKUP TINGGI SANGAT TINGGI 2.640 4.752 6.864 8.976 11.088 13.200 8.586 8.586 X 100% = 65% 13.200 Sumber : Hasil olah data, 2007. Mengkaji tabel di atas, memperoleh gambaran bahwa tanggapan responden dari sub variabel komunikasi menunjukkan hasil yang bervariasi dari hasil perolehan masing-masing dimensi, namun dari apa yang diungkapkan dari tabel tadi merupakan gambaran satu kesatuan yang saling berkaitan secara komulatif. Menurut hasil pengolahan data, didapat skor total sebesar 8586 yang berarti berada pada kategori cukup baik. Dari data tersebut bermakna, bahwa kemampuan berkomunikasi Kepala Desa berdasarkan unsur-unsur komunikasi yang diuji dapat dikatakan cukup berhasil dengan segala variasinya . Dimensi Komunikator. Ditinjau dari dimensi komunikator (P.1-4) yang menyangkut dalam penyampaian pesan, daya tanggap, kemampuan menyampaikan pesan secara jelas terhadap pesan-pesan pembangunan, daya empati dan sebagai katalisator, dari data yang diolah cukup mendapat tanggapan yang positif dengan total skor 1695 yang berarti cukup tinggi Dari data tersebut menunjukkan, bahwa kemampuan komunikasi pimpinan sudah cukup baik, hal ini menurut pernyataan sejumlah responden, yaitu “Karena Kepala Desa berkepentingan dalam melancarkan roda pemerintah dan pembangunan, terutama yang berhubungan dengan implementasi kebijakan yang telah digariskan dari tingkat atasnya yang senantiasa melibatkan setiap unsur dalam masyarakat”. 253 Dari uraian di atas, yang jelas bahwa kemampuan daya tanggap Kepala Desa dalam menerima dan menyampaikan setiap informasi kepada masyarakat melalui media tertentu senantiasa diupayakan dan masyarakat pada umumnya mengetahui sebagian dari informasi pembangunan yang tengah terjadi. Tapi itu semua belum menjamin dapat merubah sikap dan tindakan masyarakat ke arah positif, jika tidak dibarengi dengan sikap empathy dari kepala desa untuk mengatasi persoalanpersoalan yang timbul di masyarakat, terutama untuk turut merasakan dan terjun mengatasi masalah yang dihadapi warga. Sebab dengan sikap empathy tersebut menurut Onong U. Effendi (1981 : 129), “Akan menimbulkan simpati, karena ia dapat memahami frame of reference masyarakat, mengetahui waktu, situasi dan kondisi yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesan dan dapat memilih saluran media yang cocok serta mau mendengar keluhan dari masyarakatnya”. Dimensi Pesan . Dari hasil olah data menunjukkan ,bahwa dari sisi penyampaian pesan (P5-7) hasil olah data menunjukkan kategori cukup. Dari hasil olah data di atas, diperoleh gambaran bahwa masih banyak ditemui mengenai kesulitan yang dihadapi Kepala Desa dalam penyampaian pesan, selain karena kondisi masyarakat yang sangat beragam dari segi kepentingan, waktu dan lokasi yang jauh, juga kesibukan mengurus tugas-tugas sebagai Kepala Desa dan tugas-tugas lain diluar sebagai Kepala Desa untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Karena disamping menjadi Kepala Desa, ada pekerjaan lain seperti sebagai pedagang, pengusaha, PNS dan sebagainya. Dengan demikian memang diakui, bahwa sebagian responden menyatakan masih banyak informasi penting yang kurang banyak diketahui, misalnya 254 mengenai penanganan BLT, Raskin, Program-program bantuan dari pemerintah. Hal ini bisa menimbulkan suasana kurang kondusif terutama pada peran lembaga desa lain sebagai mitra kerja .Hal ini menurut sejumlah responden disebabkan Kepala Desa biasanya hanya menyampaikan pesan-pesan tertentu terbatas pada orang-orang tertentu saja. Adanya selektifitas dalam penyampaian informasi seperti ini, menurut penuturan pengurus lembaga desa tidak bisa dikatakan salah, karena tidak setiap informasi layak untuk dikonsumsi oleh semua masyarakat, namun jika ada hal-hal yang justru seharusnya diketahui kemudian tidak disebarkan, hal ini bisa menimbulkan prasangka dan hubungan yang kurang harmonis. Penggunaan Media Terkait hal tadi, jika diamati hasil penelitian di lapangan, mengenai kemampuan Kepala Desa dalam menggunakan media dalam berhubungan dengan masyarakat terutama tokoh masyarakat/ulama yang ada di desa, .dari pernyataan (P.8-12 ) diperoleh skor 2352 yang berarti dapat dikategorikan nilai tinggi. Data tersebut menunjukkan betapa Kepala Desa dalam merangkul masyarakat desa, melalui media dalam bentuk forum pertemuan, saluran interpersonal dan pemamfatan jaringan masih banyak menghadapi kesulitan. Tendensi ini nampak dalam upaya mengajak masyarakat dan kelompok masyarakat yang ada masih bersifat parsial belum terintegrasi, baik secara fungsional maupun struktural. Contoh konkrit misalnya, dalam upaya menggalakkan swadaya masyarakat, penggalakan kegiatan PKK, pendirian dan pengelolaan BUMDES, penyelenggaran Imunisasi, Pembinaan generasi muda dan 255 sebagainya. Menurut penuturan dari para pengurus lembaga desa biasanya bila terjadi kebuntuan informasi, karena belum optimalnya intensitas dalam pemamfatan media yang digunakan karena kendala di lapangan. Dari sisi komunikan, bagaimana efektivitas komunikasi dari sisi komunikan, terutama yang berkaitan dengan daya respon, kemampuan berubah, jalinan hubungan secara internal maupun eksternal. Dari perhitungan hasil olah data jumlah skor yang diperoleh dari (P.13- 16 ), menunjukkan persentase yang dinilai sedang. Tinggi rendahnya pemahaman masyarakat akan pesan-pesan yang disampaikan dapat dilihat dari daya respon, sikap kemampuan dan jalinan hubungan yang dibina. Dari daya respon masyarakat tentu sangat tergantung dari banyak faktor diantaranya, nilai mamfaat stimulan, pengakuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap informasi yang diterima. Pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat desa pasip, apatis tidak selamanya benar, justru dewasa ini dengan adanya perubahan konstelasi politik pada level atas, memiliki implikasi pada masyarakat tingkat desa. Menurut penuturan dari pejabat kecamatan bahwa “Masyarakat desa kini sudah semakin kritis, bahkan mampu mengekspresikan diri dalam bentuk unjuk rasa melalui cara-cara tertentu yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan pihak penguasa, cara mereka lebih merupakan bentuk latah (peniruan) cara-cara yang mereka lihat dari mass media, walaupun kadang tidak jelas arahnya sasarannya”. Dari ilustarsi tersebut, mengisyaratkan bahwa masyarakat desa melalui lembaga yang ada sebenarnya mulai menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab sebagai masyarakat untuk kemajuan di desanya. Dari hasil 256 penelitian lapangan menunjukkan bahwa tanggapan masyarakat terhadap perubahan peran, fungsi dan misi kelembagaan desa sebenarnya belum banyak dihayati oleh aparat pada khususnya dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah perubahan yang substansial. Adanya perubahan pada struktur organisasi, prosedur teknis yang diberlakukan dalam era otonomi ini, belum berimplikasi pada perubahan nilai dan orientasi lainnya. Adanya sikap apatisme dan pasip terhadap program yang dibangun oleh lembaga desa biasanya disebabkan adanya ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Kepala Desa yang dipandang tidak sesuai dengan harapan serta adanya kelompok oposisi dari simpatisan Kepala Desa yang kalah dalam pemilihan Kepala Desa sebelumnya. Selanjutnya dalam konteks peranan Kepala Desa sebagai penghubung (linker) dengan sumber-sumber yang diperlukan , yaitu menyangkut hubungan dengan lembaga-lembaga desa lain secara horizontal dan dan pihak-pihak supra desa secara vertikal dalam soal pembangunan desa,kendatipun hal ini dilakukan tapi belum optimal. Sebenarnya membangun hubungan antar lembaga desa amat penting mengingat dalam era desentralisasi, seorang Kepala Desa sebagai pemimpin tidak lagi menjadi penguasa tunggal, tapi dalam setiap tindakan harus mampu berkolaborasi dengan lembaga desa lainnya sebagai mitra dan lembaga supra sebagai pembina. Dari hasil olah data mengenai hubungan kerja dengan lembaga pembina menunjukkan tingkat kategori sedang. Hal ini bermakna kendatipun upaya-upaya untuk melakukan hubungan kerja itu ada, namun cenderung lebih merupakan kegiatan rutin belum terstruktur yang mengarah pada upaya perubahan signifikan terhadap keberdayaan masyarakat yang mampu secara kreatif dan mandiri. 257 Untuk mengungkap umpan balik, yakni bagaimana sikap masyarakat terhadap berbagai pesan yang disampaikan, perlu diketahui umpan balik yang dapat menimbulkan dampak dan perubahan tingkah laku serta dukungan masyarakat. Dari hasil olah deskriptif diperoleh keterangan sebagian responden memberi tanggapan yang positif.(P17-20 ). Hal ini diperlihatkan dari jawaban responden dengan jumlah skor 1771 yang berarti cukup. Perolehan nilai ini perlu dikritisi dengan mengungkap terlebih dulu tentang bagaimana suasana dialogis yang dibangun di tingkat desa ketika terjadi stagnasi informasi yang berakibat pada lambatnya dalam penanganan masalahan yang harus segera dipecahkan. Data tersebut agak berbeda dari hasil wawancara dengan para pengurus LPM, BPD yang menyebutkan : “Pada dasarnya masyarakat senantiasa mendukungan terhadap upaya pembangunan untuk kemajuan desa, namun itu semua sangat tergantung bagaimana pihak pemerintah dalam menciptakan suasana dialogis, keterbukaan dan tindak lanjut dari apa yang telah diusulkan atau disepakati bersama”. Suasana dialogis tercipta bila semua pihak memandang adanya rasa saling percaya untuk membangun rasa kebersamaan. Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada umumnya sikap dan dukungan masyarakat terhadap pembangunan desa masih cukup tinggi, walaupun dukungan tersebut karena adanya mobilisasi dari aparat untuk ikut terjun membantu dalam pembangunan sarana dan prasana fisik. Dalam masyarakat masih ada pandangan bahwa urusan pembangunan merupakan urusan pemerintah. Persepsi semacam ini terpatri cukup lekat, akibat sentralisasi politik 258 pembangunan oleh pemerintah sebelumnya (Orde Baru) demikian dominan, sehingga akses kehidupan lembaga desa menjadi amat terbatas. Persoalan seperti itu tentu bukan merupakan tanggung jawab pada pundak Kepala Desa semata, tapi menjadi tanggung jawab semua pihak yang berkompeten terhadap “survivenya” lembaga desa dalam menjalankan fungsi dan peranannya dalam pembangunan desa, terutama tim Pembina Lembaga Desa oleh pemerintah supra desa. 4.3.2. Variabel Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan. Untuk menganalisis derajat pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, dengan mengacu pada kerangka pemikiran sebelumnya, dalam penelitian ini dilihat dari 4 dimensi, yakni dimensi pemberdayaan sosial, politik, ,ekonomi dan psikologis (Friedmann, 1992 : 33; Ndraha, 2000: 80-81). Mendorong pemberdayaan masyarakat berarti memberi ruang bagi pengembangan kreasi ,potensi dan inovasi masyarakat, memberi peluang masyarakat untuk mengakses terhadap sumber-sumber dan pelayanan publik, memberi ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Berdasarkan hasil olah data, diperoleh deskripsi sebagai berikut : TABEL 4.5 VARIABEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (n= 132) NO. JAWABAN KODE fi A B C D E xi fi.xi fi.xi KATE GORI DIMENSI PEMBERDAYAAN SOSIAL 20 Akses terhadap informasi P21 8 54 68 1 1 1 2 3 4 5 8 108 204 4 5 329 Rendah 21 Kemudahan dalam pelayanan P22 14 74 41 2 1 5 4 3 2 1 70 296 123 4 1 494 Tinggi 22 Keswadayaan P23 20 60 40 8 4 5 4 3 2 1 100 240 120 16 4 480 Tinggi 23 Pemeliharaan gotong royong P24 15 56 58 2 1 1 2 3 4 5 15 112 174 8 5 314 Rendah 259 24 Kerjasama sinergis P25 11 29 70 20 2 5 4 3 2 1 55 116 210 40 2 423 Cukup JUMLAH 2040 Cukup DIMENSI PEMBERDAYAAN POLITIK 25 Kemampuan bargaining P26 5 42 76 8 1 5 4 3 2 1 25 168 228 16 1 438 Cukup 26 Pemamfaatan wewenang P27 4 39 80 8 1 5 4 3 2 1 20 156 240 16 1 433 Cukup 27 Peran aktif P28 16 78 35 2 1 5 4 3 2 1 80 312 105 4 1 502 Tinggi 28 Pemihakan P29 16 65 46 4 1 1 2 3 4 5 16 130 138 16 5 305 Rendah JUMLAH 1678 Cukup DIMENSI PEMBERDAYAAN EKONOMI 29 Pemanfaatan bantuan P30 1 40 52 35 4 1 2 3 4 5 1 80 156 140 20 397 Cukup 30 Realisasi bantuan. P31 30 78 22 0 2 5 4 3 2 1 150 312 66 0 2 530 Tinggi 31 Kelancaran berusaha P32 23 66 38 4 1 5 4 3 2 1 115 264 114 8 1 502 Tinggi 32 Kemampuan daya beli. P33 14 82 34 2 0 1 2 3 4 5 14 164 102 8 0 288 Rendah JUMLAH 1717 Cukup DIMENSI PEMBERDAYAAN PSIKOLOGIS 33 Sikap terhadap perubahan P34 1 35 72 23 1 5 4 3 2 1 5 140 216 46 1 408 Cukup Sikap terhadap perubahan P35 4 36 66 24 2 5 4 3 2 1 20 144 198 48 2 412 Cukup 34 Tanggung jawab. P36 8 81 26 9 8 5 4 3 2 1 40 324 78 18 8 468 Tinggi 35 Kemandirian P37 15 40 51 21 5 5 4 3 2 1 75 160 153 42 5 435 Cukup 37 Keyakinan P38 14 69 37 9 3 5 4 3 2 1 70 276 111 18 3 478 Tinggi JUMLAH 2201 Cukup TOTAL SKOR SUB VARIABEL 7636 Cukup Sumber : Hasil penelitian, 2007. SV – Y D21 D22 D23 D24 Nilai indeks minimum = 1 X 18 x 132 = 2.376 Nilai indeks maksimum = 5 X 18 x 132 = 11.880 Range = 11.880 - 2.376 = 9.504 Jenjang range = 9.504 : 5 = 1.901 SANGAT RENDAH RENDAH CUKUP TINGGI SANGAT TINGGI 2.376 4.277 6.178 8.078 9.979 11.880 7.636 7.636 X 100% = 64% 11.880 Sumber :Hasil olah data,2007 Mencermati hasil penelitian berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa keberdayaan masyarakat dalam pembangunan yang dilihat dari 4 dimensi menunjukkan tingkat kemampuan yang secara umum cukup memberi harapan, dengan skor yang diperoleh sebesar 7636. 4.3.2.1. Pemberdayaan Sosial. 260 Dari dimensi keberdayaan sosial yang diperlihatkan dari (P.21-25) mengisyatkan bahwa kemampuan masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan terutama keterlibatan baik secara individu maupun kelompok dalam proses pembangunan desa sudah cukup memadai. Hal ini bisa ditelusuri dari hasil penelitian dari beberapa indikator yakni dari akses masyarakat terhadap informasi, pelayanan, derajat keswadayaan, pemeliharaan nilai gotong royong dan kerjasama sinergis, ternyata responden memberi tanggapan cukup baik, dengan skor yang diperoleh 2040 yang berarti cukup. Hal ini berarti bahwa secara sosiologis masyarakat desa memiliki kemampuan untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi antar anggota maupun komunitas organisasi baik secara horizontal maupun vertikal. Lembaga desa sebagai pengejawantah dari wadah interaksi sosial tentu memberi sarana bagaimana masyarakat desa dapat mengaktualisasikan diri dalam ranah kehidupan sehingga terjadi simbiose mutualistik. Hasil tabulasi data sebagaimana tersurat dalam tabel, menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap informasi belum sepenuhnya kondusif. Padahal seperti diketahui, bahwa informasi merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dalam suatu sistem sosial yang terbuka. Akses informasi akan bermamfaat manakala masyarakat membutuhkannya. Dari hasil wawancara ada kesan bahwa “Untuk beberapa informasi penting kadang-kadang ada pihak tertentu yang sengaja menyembunyikan apabila informasi itu dipandang dapat memicu reaksi masyarakat, karena menyangkut hal-hal yang sensitif. Contohnya tidak semua kalangan pengurus lembaga desa mengetahui bagaimana dana bantuan itu diterima dan digulirkan oleh Kepala Desa. Dan bagi masyarakat desa 261 sendiri kadang-kadang tidak begitu mempedulikan apa yang dilakukan oleh pemerintah desa, selama tidak merugikan dan mengusik ketenteraman dan kepentingan mereka. Ini artinya dari aspek keberdayaan sosial kesadaran masyarakat tentang pentingnya akses informasi terhadap sumber-sumber daya dan pelayanan masih dirasakan belum begitu nampak menjadi kebutuhan. Selanjutnya, mengenai keswadayaan masyarakat dalam pembangunan desa, dari hasil tabulasi data , memperlihatkan bahwa keswadayaan masyarakat tersebut terkait dengan jenis/sifat program yang akan dikerjakan. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan responden diperoleh keterangan “Selama ini dirasakan masih ada pandangan keliru dari masyarakat, seolah-olah urusan pembangunan adalah urusan pemerintah. Jika ada bantuan atau pinjaman dari pemerintah dianggap sebagai pemberian hadiah (charity) yang dalam pengelolaanya kadang-kadang kurang terkontrol dengan baik”. Hal ini terungkap dari program-program pembangunan, terutama pembangunan sarana fisik seperti jalan, sarana pendidikan, sarana kesehatan biasanya mereka membantu sebatas tenaga. Itupun bila mereka bekerja biasanya mengharapkan imbalan (materi) walaupun tidak didasarkan pada perhitungan yang wajar. Namun hasil tabulasi data mengenai keswadayaan ini menunjukkan kategori tinggi dengan skor 494. Melalui penelusuran wawancara diperoleh keterangan, bahwa relatif tinggirnya keswadayaan, umumnya lebih banyak pada program-program pembangunan yang bernuansa keagamaan, derajat keswadayaannya masih tergolong tinggi. Sedangkan untuk program-program yang sifatnya proyek, masyarakat desa umumnya menuntut imbalan seperlunya. 262 Kemudian mengenai pemeliharaan nilai gotong royong, dapat dikatakan masyarakat masih memandang sebagai sebuah keniscayaan dalam arti masih dianggap penting. Gotong royong dipelihara sebagai bagian dari proses kehidupan yang memberi mamfaat ketika sumber-sumber daya yang diperlukan semakin langka. Namun , seiring adanya perubahan dan dinamika kehidupan terdapat kecenderungan kesadaran gotong royong masyarakat desa dalam membangun mulai pudar. Dari tabulasi data berada pada kisaran rendah ke sedang. Kendati demikian, dari sisi kerjasama kelompok masih dikatakan cukup kental, mengingat kerjasama kelompok biasanya terfokus pada suatu pekerjaan, urusan tertentu serta adanya saling ketergantungan. Sebagai contoh ketika didesa akan diadakan perbaikan prasarana jalan, jembatan, ibadah, lomba kebersihan, perayaan biasanya masyarakat mengikuti dan aktif dalam kegiatan tersebut. Hanya keterlibatan dalam persoalan yang memerlukan pemikiran, perubahan sebagian besar masyarakat kurang merespon dengan baik . Oleh karena itu, pendekatan terhadap upaya pemberdayaan sosial , harus melibatkan tokoh masyarakat, lembaga dan kelompok-kelompok masyarakat melalui pendekatan keagamaan atau religius. Melalui pendekatan religius, dipandang pendekatan yang lebih “matc” karena kultur dan sikap masyarakat desa di Cianjur yang religius dan paternalistik. Jadi bila tokoh masyarakat (Kiai,Ustadz) mendukung terhadap suatu program/perubahan yang disampaikan pemerintah melalui lembaga desa, maka masyarakat akan lebih mudah menerima pula terhadap program /kebijakan tersebut. 4.3.2.2. Pemberdayaan politik 263 Pemberdayaan masyarakat desa dari dimensi politik, yakni bagaimana para pengurus lembaga desa mampu dengan wewenang yang diberikan mampu melakukan bargaining,memanfaatkan wewenang dan dukungan terhadap program dan pemihakan pada masyarakat. Berdasarkan hasil tabulasi data (P.26-29 ) menunjukkan bahwa dimensi pemberdayaan politik masyarakat berada pada kategori cukup dengan skor 1678. Dengan melihat data di atas, bahwa kondisi keberdayaan politik masyarakat dalam penyusunan dan implementasi program melalui lembaga desa yang diwakili oleh para pemimpin lembaga belum sepenuhnya mampu melakukan bargaining power dengan para pengambil keputusan (decision maker) lembaga supra desa, memanfaatkan wewenang dan pemihakan dalam menggoalkan kepentingan masyarakat. Kemudian mengenai seberapa besar lembaga desa mampu memamfaatkan wewenang yang ada, apakah sudah benar-benar dijalankan dengan optimal, berdasarkan hasil olah data memperlihatkan, masyarakat umumnya memberi tanggapan sangat variatif namun cenderung cukup positip. Bahwa Kepala Desa belum sepenuhnya memamfaatkan wewenang sesuai dengan batas kemampuan yang ada. Kepala Desa sesuai kewenangan yaitu memimpin, membina, mengatur, mengkordinasikan dan memfasilitasi dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan (pasal 14 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005). Sedangkan bidang manajemen pemerintahan dan pembangunan berfungsi merencanakan, menjalankan dan mempertanggungjawabkan kepada pihak-pihak tertentu. 264 Berdasarkan jawaban responden, bahwa lembaga Trimitra desa belum sepenuhnya dapat menjalankan fungsi secara optimal. Adanya perubahan peran dan fungsi kelembagaan desa yang baru belum menunjukkan perubahan kinerja dari lembaga desa terutama menyangkut keberdayaan politik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh pejabat kecamatan : “Perubahan UU tentang otonomi daerah yang berimbas ke desa dalam perjalanannya belum dapat direspon seperti yang diharapkan, kewenangan yang dimiliki lembaga desa, dalam prakteknya kini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Hanya kini masyarakat memiliki keberanian untuk mengekspresikan sikapnya dalam bentuk unjuk rasa, namun kemampuan untuk menyusun program-program yang betul-betul aspiratif serta “mach” dengan kebijakan pemerintah masih perlu pembinaan lebih lanjut”. Adapun dari segi keaktifan anggota lembaga desa dalam memperjuangkan aspirasi dalam proses pembangunan dipandang positip dengan kategori tinggi . Hal ini dapat dilihat dari semakin aktifnya para pengurus lembaga desa dalam menjalankan fungsinya masing-masing dengan telah menghasilkan berbagai kegiatan, program-program pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Meski diakui tidak semua program yang disepakati dapat terealisasi, mengingat keterbatasan-keterbatasan SDM, dana yang tersedia. Oleh karenanya, dukungan birokrasi sangat penting, tentu dengan fungsi dan peranan yang berbeda dengan era sebelumnya. Peran pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya kekuatan tunggal dalam melakukan perubahan, tetapi lebih sebagai fasilitator, motivator dalam pembangunan. 4.3.2.3. Pemberdayaan Ekonomi Dari dimensi pemberdayaan ekonomi hasil olah data (P.30-33), memiliki variasi nilai yang secara komulatif berada pada kategori cukup. 265 Data di atas memperlihatkan bahwa keberdayaan ekonomi masyarakat desa di Kabupaten Cianjur melalui perolehan bantuan, memanfaatkan untuk melakukan usaha agar daya beli meningkat belum menunjukkan kemampuan seperi yang diharapkan. Dari segi kesempatan mendapat bantuan, baik secara komulatif melalui desa maupun secara individu itu sangat bergantung dari jenis program yang diluncurkan. Ada program bantuan yang bersifat pemerataan artinya diberikan kepada seluruh desa, misalnya seperti program Dana Bantuan Pembangunan Desa (PDBD). Namun ada juga program -program dari pemerintah yang sifatnya selektif, seperti Program Pengembangan Kecamatan, Program IDT dan sebagainya. Sedangkan dari segi kelancaran usaha dan pemanfatan bantuan , hal ini berkenaan dengan kondisi masyarakat desa pada umumnya masih rendah kemampuan jiwa entrepreneur untuk mengusahakan pemamfatan modal, sehingga tidak sedikit pinjaman tidak bisa diusahakan bahkan dikembalikan karena usaha macet atau digunakan untuk keperluan lain yang tidak sesuai dengan sasarannya. Selain itu, pada umumnya usaha diperdesaan, seperti usaha dagang, usaha tani, atau jasa pertukangan biasanya kalah bersaing dengan pengusaha luar yang lebih kuat dan berpengalaman. Menurut penuturan tokoh masyarakat yang duduk dalam seksi perekonomian LPM : “Masyarakat desa pada umumnya memiliki sedikit ketrampilan dan pengalaman dalam usaha dengan skala usaha yang terbatas, usaha seperti ini sangat rentan terhadap persaingan mutu dan harga, gangguan alam seperti puso, masa peceklik, dan minimnya modal usaha, sehingga kendati dari sisi usaha menuntut kerja keras, tapi tetap saja tidak menjamin keberlangsungan usaha ke depan”. 266 Oleh karena itu, pentingnya kelembagaan desa yang membidangi urusan ekonomi masyarakat yakni selain untuk melindungi dari kemungkinan persaingan yang tidak sehat, juga agar usaha mereka tetap survive dengan segala keterbatasannya. Adapun menyangkut daya beli masyarakat di Kabupaten Cianjur, menurut laporan publikasi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Cianjur tahun 2006 menyebutkan “Walaupun secara kuantitas ada peningkatan pendapatan, akan tetapi daya beli riil yang diakibatkan oleh inflasi nilai rupiah termasuk daya beli masyarakat, ternyata belum bisa mendongkrak daya beli masyarakat secara signifikan”. (Bappeda & BPS Kabupaten Cianjur, 2006 : 25). Dari perkembangan 5 tahun terakhir terjadi penurunan tajam setelah tahun 2001, tepatnya Indeks Daya Beli masyarakat tahun 2001 (57,56), tahun 2002 turun menjadi (52,63), tahun berikutnya ada kenaikan tipis yakni tahun 2003 (53,09), tahun 2004 (53,17) dan tahun 2005 (53,86). Jika dibandingkan dengan Indeks Daya Beli kabupaten lain di Jawa Barat, Kabupaten Cianjur masih berada di bawah Jawa Barat, yakni tahun 2005 sudah mencapai (59,18). 4.3.2.4. Pemberdayaan Psikologis Selanjutnya dari dimensi pemberdayaan psikologis, bahwa pemberdayan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh akses masyarakat terhadap sumber-sumberdaya, modal (dana), tapi berkaitan dengan pembentukan perilaku yang sadar akan potensi diri dan daya 267 yang dapat dikembangkan dengan memotivasi ke arah yang lebih baik. Dari dimensi psikologis, pemberdayaan berarti juga bagaimana mengukur sikap masyarakat terhadap perubahan, tanggungjawab terhadap kemajuan lembaga dan program-program yang telah direncanakan, kemandirian dan keyakinan untuk melakukan voice, kontrol untuk kemajuan lingkungan dimana mereka berada. Dari hasil olah data lapangan, hasil perhitungan data deskriptif (P.34-38) menunjukkan nilai skor 2201, ini berarti masuk kategori cukup. Bila dilihat secara cermat tinggi rendahnya pemberdayaan pskilogis ini variatif. Seperti bagaimana sikap masyarakat dalam merespon perubahan , umumnya mereka masih relatif lambat. Hal ini berdasarkan hasil kaji empiris, umumnya masyarakat lambat menerima perubahan, dikarenakan selain mereka tidak memiliki cukup akses terhadap informasi, terbatasnya relasi sosial dengan lingkungan supra struktur, masih lekatnya nilai-nilai tradisional yang kurang kondusif serta sikap depensif (menunggu) terhadap apa-apa yang belum jelas dan terbukti mamfaatnya. Pemberdayaan berarti juga adanya sense of belonging dari warga masyarakat terhadap lembaga desa dan seluruh produk kebijakannya. Rasa memiliki sesungguhnya bisa mengikat manakala aspirasi mereka terakomodasi oleh lembaga-lembaga desa yang ada. Dari hasil olah data sebagian masyarakat merasa bahwa terikat atau tidaknya mereka pada kelembagaan desa yang ada amat tergantung 268 dari citra lembaga desa itu sendiri dimata masyarakat. Citra lembaga desa tercermin seberapa besar lembaga mampu memberi manfaat, menjadi alat penyalur dan memberi layanan pada masyarakat. Selama keberadaan lembaga desa hanya mengurus dirinya dan membuat jarak dengan masyarakat tentu akan berpengaruh pada dukungan pada setiap program/kegiatan yang dibuat. Dari pengamatan di lapangan, tingginya tanggapan masyarakat karena keberadaan lembaga desa kendati belum mampu sepenuhnya memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan pembangunan, namun secara umum masyarakat tetap memandang bahwa bagaimanapun lembaga desa secara psikologis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tata kehidupan sosial dalam memperjuangkan, mempertahankan nilai-nilai maupun menyalurkan aspirasi masyarakat. Berdasarkan olah data pada dan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat “Pada umumnya masyarakat senantiasa mendukung terhadap program-kebijakan pembangunan yang dibuat pemerintah, besar kecilnya dorongan mereka untuk mendukung dan berperan aktif sangat tergantung sejauhmana pemimpin (Kepala Desa beserta jajarannya) mau memperhatikan kebutuhan mereka”. 4.4 Pengujian Hipotesis Pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. 269 Dalam uraian ini penulis akan melakukan pengujian secara statistik dari variabel yang diidentifikasikan . Dari hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS 15, didapat koefisien korelasi variabel Komunikasi terhadap variabel pemberdayaan masyarakat dengan hasil r = 0,3735, ini berarti terdapat hubungan yang cukup kuat antara dimensi komunikasi dengan pemberdayaan masyarakat. Karena nilai r korelasinya > 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif, semakin
besar nilai dimensi komunikasi maka semakin besar pemberdayaan
masyarakat.
Berdasarkan pengujian dengan menggunakan path analysis
menunjukkan adanya pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan
Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Y). , seperti ditunjukkan dari
hasil perhitungan ternyata diperoleh koefisien sebesar 0,3735,
koefisien determinasinya sebesar 0,2107. Hal ini berarti bahwa 0,2107
proporsi variabel pemberdayaan masyarakat diterangkan oleh variabel
komunikasi, hubungan ini signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Ini
berarti, semakin efektif proses komunikasi akan semakin tinggi pula
derajat pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan.
Temuan ini didukung oleh hasil penelitian Soesilo Zauhar (1984 : 64)
yang menyimpulkan adanya korelasi yang positif antara komunikasi dengan
pemberdayaan masyarakat desa. Inti dari hubungan ini jelas sebagaimana
dikonsepsikan dari tujuan pengembangan lembaga desa, yakni agar organisasi
beserta pembaharuannya dapat diterima dan didukung oleh lingkungan
masyarakatnya. Sedangkan penerimaan ataupun dukungan lingkungan tersebut
270
hanya mungkin terjadi jika adanya proses penyampaian pesan, gagasan atau
pembaharuan yang dihantarkan lembaga desa terhadap lingkungan
masyarakatnya.
Dengan demikian, adanya aliran informasi intra dan ekstra dalam
lembaga desa yang bukan hanya sebagai sasaran instruksi, pembinaan
semata dari pihak pemerintah supra desa, tetapi juga sebagai wahana
penyalur aspirasi dan partisipasi masyarakat (komunakan) secara
timbal balik. Tersedianya umpan balik seperti itu memungkinkan untuk
diketahuinya sikap atau respon dari pihak yang terlibat yang dapat
menimbulkan perubahan persepsi, sikap, tindakan ke arah yang lebih
baik.
271
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah penyusun menguraikan analisis pembahasan dalam penelitian ini,
maka berikutnya akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Komunikasi yang dijalankan oleh pimpinan (kepala desa) dari beberaopa
dimensi yang diukur secara deskripstif menunjukkan hasil yang positif (
tinggi) . Ini menunjukkan bahwa faktor komunikasi pada umumnya telah
berjalan dengan baik, kendati pada beberapa diimensi masih relatif cukup.
2. Pemberdayaan masyarakat sebagai proses perubahan sikap, nilai, dan tindakan
kearah kemandirian dapat ditumbuhkan melalui “proses belajar”, memperoleh
kategori tinggi.
3. Berdasarkan penelitian faktor komunikasi dari sisi proses berdasarkan hasil uji
statistik melalui dimensi kemampuan komunikator, media, pesan, komunikan
dan feed back menunjukan pengaruh signifikan terhadap pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan. Sumbangan faktor komunikasi relatif cukup
berarti, hal ini mengisyaratkan bahwa dalam pemberdayaan masyarakat
diperlukan interaksi dan hubungan kerja timbal balik yang efektif baik secara
internal maupun eksternal dengan berbagai pihak terkait, sehingga setiap
kebijakan dapat diterima, diaktualisasikan kedalam realitas program.
272
5.2 Saran
1. Hendaknya setiap produk-produk lembaga desa berupa usulan program, baik
yang bersifat fisik maupun non fisik benar-benar dipertimbangkan dalam
rapat-rapat koordinasi pembangunan di tingkat atasnya. Pemberian program
dengan model blue print (cetak biru) yang sudah diplot secara detail dan
bersifat uniformitas oleh lembaga supra desa, hendaknya tetap harus
mengindahkan kemampuan dan kebutuhan variasi lokal. Dengan demikian,
nilai dan strategi dari model bottom up planning yang dipadukan dengan top
down planning bukan hanya slogan yang menjurus pada formalitas belaka,
tetapi benar-benar diimplementasikan dalam wujud nyata.
2. Untuk memberi motivasi, semangat dan kerjasama yang baik, guna terbinanya
konsolidasi ke dalam dan ke luar serta menghindari perbedaan persepsi dan
prasangka-prasangka yang timbul dalam masyarakat, sudah sewajarnya
apabila Kepala Desa sebagai dinamisator dan fasilitator dapat menciptakan
suasana keterbukaan dan kebersamaan. Disamping itu, perlu menciptakan
untuk saling pengertian, saling menerima dan memberi, misalnya dalam
bentuk rangsangan (insentif) ataupun penghargaan yang dapat dirasakan oleh
masyarakat sebagai nilai tambah dari pengorbanan dan keikutsertaan mereka
dalam membantu kelancaran, akselerasi dan kesinambungan pembangunan
desa yang bersangkutan.
3. Kemudian bagi para teoritisi, diharapkan adanya pengkajian dan penelitian
lebih lanjut mengenai pemberdayaan masyarakat dalam kaitan dengan faktor
lain yang belum diteliti.
273
DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyid, Harun, 1994, Statistika Sosial, Penyunting : Teguh Kismantoroadji,
Bandung : Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Black, James A., and Dean J. Champion, 1976, Methods and Issues in Social
Research, New York, London, Sydney, Toronto : John Wiley & Sons,
Inc.
Breton, Margot, 1994, Relating Competence : Promotion and Empowerment,
Journal of Progressive Human Services, 5 (1),27-45.
Bryant, Coralie dan White , 1989, Manajemen Pembangunan untuk
Negara Berkembang (terjemahan), Jakarta : LP3ES.
Chambers, Robert, 1988 , Pembangunan Desa: Mulai dari belakang
(terjemahan), Jakarta, LP3ES.
Cohen, John M. & Uphoff ,1977, Rural Development Participation :
Concepts and Measures for Project Design, Implementation and
Evaluation, New York, Ithaca : Cornell University.
Craig,Gary and Mayo, 1993, Community Empowerment A Reader in
Participation and Development, London,Zed Book
.
Combs, Phillip H & Manzoor, 1980, Memerangi Kemiskinan di Pedesaan
melalui Pendidikan Non Formal ( terjemahan ) Jakarta, YIIS.
Davis, Keith, 1979, Human Behavior at Work Organizational Behavior, McGraw-
Hill Publishing Company, Ltd.,New Delhi.
Dubois ,Brenda & .Miley, 1992, Social Work : An Empowering Profession,
Boston : Allyn and Bacon.
Effendy, Onong Uchjana, 1981, Kepemimpinan Dan Komunikasi, Bandung :
Alumni.
____________________, 1989, Human Relations dan Public Relations dalam
Management, Bandung : Alumni.
____________________, 1998, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, Bandung,
Remadja Rosda Karya.
Eko, Sutoro, 2004, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta
: APMD Press.
274
Friedenberg, Lisa, 1995, Psychological Testing ; Design , Analysis, and Use,
Singapore : Allyn and Bacon.
Friedmann, John., 1992, Empowerment : The Politics of Alternative Development,
Cambridge : Blacwell.
Gibson, James L, Ivancevich dan Donnely , 1994, Organisasi dan Manajemen,
Perilaku, Struktur Proses, (terjemahan ) Edisi keempat, Jakarta :
Erlangga.
Hanna, M.G. and Robinson, 1994, Strategies for Community Empowerment :
Direct-Action and Transformative Approaches to Social Change Practice,
New York : The Edwin Mellen Press.
Hawkins, Briant L, Preston, Paul, 1981, Managerial Communication, Santa
Monica California, Goodyear Publishing Company,Inc.
Juwanto, Gunawan, 1985, Komunikasi Dalam Organisasi, Yogyakarta : Pusbang
Manajemen Andi Offset.
Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan
Pertumbuhan & Pemerataan), Jakarta : CIDES.
___________________, 1997, Administrasi Pembangunan : Perkembangan
Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES.
Ndraha, Talizuduhu, 1981, Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Pembangunan Di
Berbagai Desa, Jakarta : Yayasan Karya Prisma.
Prijono, Onny S, Pranarka (ed), 1996, Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan
Implementasi, Jakarta : Centre for Strategic and International Studies
(CSIS).
Rogers, Everett .M &. Shoemaker, 1981, Komunikasi Inovasi, Suatu Pendekatan
Lintas Sektoral, (Terjemahan), Yogyakarta : Kelompok Diskusi UGM.
Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian, 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta
: LP3ES.
Smeltzer, Larry Waltman, John, Leonard Donald, 1991, Managerial
Communication a Strategic Approach, USA, Ginn Press.
Suharto, Edi, 1997, Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial,
Spektrum Pemikiran, Bandung : LSP,STKS.
__________, 2005, Membangun Masyarakat MemberdayakanRakyat : Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Bandung, Refika Aditama.
275
Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan,
Yogyakarta : Gava Media.
Sumaryadi, I Nyoman, 2005, Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom &
Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta, Citra Utama.
Sumodiningrat, Gunawan, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar Offset.
_____________________, 1999, Pemberdayaan Masyarakat & JPS, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Supriatna, Tjahya, 2000, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Jakarta : PT.
Asdi Mahasatya.
Tjokroamidjojo, Bintoro, Mustopadidjaya , 1988, Kebijaksanaan Dan
Administrasi Pembangunan, Jakarta : LP3ES.
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1991, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta :
LP3ES.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 1993, Politik Pembangunan Sebuah Analisis, Konsep,
Arah dan Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana.
____________________, 1999, Pembangunan : Dilema Dan Tantangan,
Yogyakarta : Tiara Wacana.
SUMBER LAINNYA.
Akadun, 2002, Model Keberdayaan Aparatur Birokrasi Dalam Rangka
Efektivitas Penyelenggaraan Pelayanan Pemerintah di Kabupaten
Bandung, Bandung, Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran.
Menko Kesejahteraan Rakyat RI , 2006, Sambutan pada Seminar Wokrshop
Nasional: “Transformasi kebijakan Publik dan Bisnis dalam upaya
Memecahkan Problem Kemiskinan di Indonesia, Kerjasama Fisip Unpar
dan Badan Kerjasama Lembaga Pengembang Ilmu Adm.se-Indonesia,
Makalah, Bandung.
Rusidi, 1996, Metodologi Penelitian (Diktat Kuliah), Bandung : Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Peraturan Perundangan dan Dokumen Lainnya
276
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta.
Peraturan Pem. RI Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa , Jakarta, CV Citra Utama.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004- 2009, Jakarta,
Sinar Garfika .
Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2001, Rencana Strategis Badan
Pemberdayaan Masyarakat Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun
Anggaran 2001-2005, Bandung.
Pemerintah Daerah Cianjur, Program Pembangunan Daerah 2001- 2005
Kabupaten Cianjur.
Keputusan Bupati Cianjur Nomor 28 Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Lembaga
Kemasyarakatan di Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 08 Tahun 2002 Tentang Rencana
Strategis Kabupaten Cianjur.
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 6 tahun 2006, Tentang Organisasi
dan Tata Pemerintahan Desa
277
L A M P I R A N
Angket
PENGARUH KOMUNIKASI
TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAAN
di Kabupaten Cianjur
_______________________________________________
Petunjuk pengisian :
1. Berilah tanda silang (X ) pada jawaban yang sesuai dengan pendapat
Bapak/Ibu atau kenyataan yang sebenarnya.
2. Kami mohon semua pertanyaan dapat diisi
3. Lembaga desa disini yakni yg tergabung dalam Tri-mitra
(Pemdes,BPD,LPM)
Identitas responden
Nomor responden : …………………………..
Umur : ……. tahun
Jenis kelamin : laki-laki / Perempuan *)
Pekerjaan tetap : ………………………………..
Unsur Lembaga Desa : Pemdes /BPD /LPM *).
Jabatan : …………………………
Pendidikan Terkhir : SD/ SLTP/ SLTA/ D-3/ S-1/ S-2 *)
Pelatihan yang pernah diikuti : …………………………….
===================================================
VARIABEL : KOMUNIKASI
I. Dimendi Kemampuan komunikator
1. Kepala desa selama ini karena kesibukannya, sehingga tidak semua
pesan/informasi dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
2. Dengan banyaknya tuntutan atau keluhan masyarakat, selama ini kepala
desa nampaknya kurang begitu respon dalam mengatasi masalah tersebut.
278
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
3. Dalam menarik simpati masyarakat untuk melakukan perubahan, apakah
kepala desa senantiasa ikut terjun langsung dalam menghadapi hal
masalah yang dihadapi selama ini ?
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
4. Dalam memecahkan masalah pembangunan desa,apakah Kepala desa suka
mempertemukan antara masyarakat dengan pejabat yang berwenang. ?
a. Selalu d. Jarang sekali
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
B.Dimensi Pesan
5. Dalam penyampaian informasi atau pesan-pesan pembangunan yang
disampaikan Kepala Desa, sering menimbulkan berbagai kesalahpahaman
? Apakah itu dirasakan Bapak/Ibu.
a. Selalu d. Jarang/hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
6. Dalam penyampaian pesan –pesan pembangunan melalui berbagai forum
pertemuan, bisanya Kepala desa dalam penyampaiannya senantiasa
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat .
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
7. Setiap pesan-pesan pembangunan/kebijakan yang baru selama ini
masyarakat belum merasakan mamfaatnya .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
C. Dimensi Media
8. Dalam mengadakan pendekatan kepada masyarakat oleh Kepala Desa ,
apakah suka dilakukan secara informal (melalui anjang sana atau
mengajak bicara secara pribadi, misalnya) ?
a. Selalu d. Jarang sekali
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
279
9. Menurut Bapak/Ibu apakah forum pertemuan (seperti pengajian) ,apakah
digunakan dalam menyampaikan pesan oleh Kades ?
a. Selalu d. Jarang
b. Sering e. Hampir tidak pernah
c. Kadang-kadang
10. Forum pertemuan dengan para tokoh masyarakat , apakah sering dilakukan
oleh kepala desa ?
a. Selalu d. Jarang
b. Sering e. Hampir tidak pernah
c. Kadang-kadang
11. Dalam melakukan hubungan kerja keluar, apakah memamfaatkan jaringan
hubungan kerja melalui forum-forum lain (paguyuban,asosiasi) ?
a. Selalu memamfaatkan d. Hampir tidak memanfaatkan
b. Sering memamfaatkan e. Tidak pernah memanfaatkan
c. Kurang memamfaatkan
12. Selain pesan atau informasi pembangunan yang diterima dari para pejabat
yang berwenang, apakah Bapak/Ibu sering memanfaatkan dari sumber
media massa (TV, Radio) ?
a. Selalu d. Jarang sekali
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
D. Dimensi Komunikan
13. Dalam menerima setiap perubahan kebijakan, bagaimana kemampuan
lembaga desa dalam menanggapi terhadap perubahan tersebut .
a. Selalu merespon dengan baik d. Hampir tidak pernah
b. Sering merespon e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
14. Selama ini perubahan - perubahan yang terjadi di lembaga -lembaga desa
nampaknya sangat lambat. Setujukah dengan hal tgersebut .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
15. Apakah hubungan yang dilakukan Kepala Desa dengan
organisasi/lembaga sosial lain yang selevel (BPD,LPM, PKK, LSM)
nampak banyak menemui kesulitan ?
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
16. Dengan keadaan desa yang tersebar ke berbagai pelosok , apakah
hubungan kerja dengan pemerintah tingkat atasnya banyak menghadapi
hambatan (kesulitan) ?
280
a. Sangat menghambat d. Tidak menjadi hambatan
b. Menghambat e. Tidak menghambat sama sekali .
c. Cukup menghambat
E. Dimensi Umpan balik
17. Bagaimana dukungan lingkungan masyarakat terhadap langkah-langkah
yang dilakukan lembaga–lembaga desa yang ada ?
a. Selalu mendukung d. Hampir tidak pernah mendukung
b. Sering mendukung e. Tidak pernah mendukung
c. Kadang-kadang mendukung
18. Dalam memecahkan persoalan pembangunan di desa, menurut
pengalaman apakah ada suasana dialogis (saling bertukar pikiran) antara
Kepala Desa dengan semua elemen lembaga yang ada termasuk tokohtokoh
masyarakat desa ?
1. Ya, selalu d. Jarang sekali
2. Sering e. Tidak pernah
3. Kadang-kadang
19. Dalam acara penyampaian informasi atau laporan pertanggung jawaban,
sudah tercermin adanya suasana keterbukaan/saling pengertian ?
a. Sangat setuju d. Kurang setuju
b. Setuju e. Tidaka setuju
c. Ragu-ragu
20. Dari hasil musyarawarah yang telah disepakati , bagaimana tindaklanjut
dari setiap permasalahan yang dihadapi .
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering; e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
VARIABEL PEMBERDAYAAN
A. Dimensi Sosial
21. Selama ini masyarakat masih merasa sulit memperoleh informasi yang
diperlukan dalam rangka ikut mengontrol kinerja pemerintah desa.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
22. Menurut Bapak/Ibu, apakah selama ini masyarakat mendapat
kemudahan memperoleh layanan dari pemerintah sesuai dengan harapan
a. Sangat sesuai d. Tidak sesuai
b. Sesuai e. sangat tidak sesuai
c. Kurang sesuai
281
23. Bila diperhatikan apakah bantuan yang diberikan pemerintah baik dana
maupun teknis sudah mampu memancing swadaya masyarakat yang
lebih besar ?
a. Sangat mampu d. Tidak mampu
b. Mampu e. Sama sekali tidak mampu
c. Kurang mampu
24. Dengan adanya perubahan pengaturan/kebijakan tentang lembaga desa
(Pemdes,LPM,BPD) tidak berdampak positip pada tatanan gotong
royong masyarakat .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
25. Menurut Bapak/Ibu, dengan perubahan kebijakan ,apakah lembaga desa
lebih memperlihatkan kemampuan kerjasama secara sinergis dengan
lembaga supra desa (Kec/Pemda ) ?
a. Sangat mampu d. Kurang mampu
b. Mampu e. Tidak mampu
c. Cukup mampu
Dimensi Politis
26. Dari pengamatan Bapak/Ibu, para pengurus lembaga desa semakin
mampu untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
27. Menurut pendapat Bapak/Ibu apakah keberadaan lembaga desa dalam
menjalankan fungsi & wewenangnya telah sesuai dengan apa yang
diharapkan ?
a. Sangat sesuai d. Kurang sesuai
b. Sesuai e. Tidak sesuai
c. Cukup sesuai
28. Seberapa besar peranserta aktif masyarakat untuk menjalankan program
pembangunan desa melalui wadah kelembagaan desa yang ada ?
a. Sangat aktif d. Tidak aktif
b. Aktif e. Sangat tidak aktif
c. Kurang aktif
29. Selama ini , program bantuan pemerintah dalam pelaksanaannya kurang
menyentuh kepada kelompok warga yang miskin.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
282
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
Dimensi ekonomis
30. Adanya bantuan-bantuan dari pemerintah .menurut pengalaman dari sisi
pemanfaatan masih belum sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai .
a. Sangat setuju d. Kurang setuju
b. Setuju e. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
31. Bagaimana kemampuan lembaga desa dapat merealisasikan bantuan atau
program yang diperoleh dari pemerintah tingkat atasnya?
a. Sangat mampu d. Tidak mampu
b. Mampu e. Sangat tidak mampu
c. Kurang mampu
32. Menurut Bapak/Ibu, seberapa besar program-program pembangunan telah
dirasakan warga masyarakat untuk kelancaran berusaha .
a. Sangat dirasakan d. Tidak dirasakan
b. Dirasakan e. Sangat tidak dirasakan.
c. Kurang dirasakan
33. Dengan program bantuan pemerintah, kondisi daya beli masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan belum ada kemajuan berarti .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju.
c. Ragu-ragu
Dimensi Psikologis
34. Bagaimana umumnya sikap masyarakat terhadap upaya-upaya inovasi
yang disampaikan pemerintah melalui lembaga di tingkat desa. ?
a. Sangat lambat d. Cepat
b. Lambat e. Sangat cepat
c. Agak lambat
35. Dengan perkembangan pembangunan yang semakin cepat berubah ini,
seberapa besar kemampuan Lembaga desa dalam menselaraskan dengan
tuntutan-tuntutan tadi ?
a. Umumnya mampu menyelaraskan a. Kurang mampu
b. Sebagian mampu b. Tidak mampu menyelaraskan
c. Sebagian kecil
36. Dengan posisi Bapak/ Ibu dalam kepengurusan lembaga desa saat ini,
dirasakan tanggungjawab semakin bertambah .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
283
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
37. Apakah ada kesan selama ini, bahwa pemerintah desa beserta lembaga
desa lainnya masih terlalu banyak menggantungkan diri dari uluran
tangan pemerintah ?
a. Selalu tergantung d. Tidak begitu tergantung
b Sering tergantung e. Tidak tergantung
c Kadang-kadang
38. Apakah Bapak/Ibu yakin dengan perkembangan peranan lembaga desa
seperti ini kemajuan pembangunan desa ini akan segera dapat dicapai ?
a. Sangat yakin d. Tidak yakin
b. Yakin e. Sangat tidak yakin
c. Kurang yakin
==== Terima kasih ====
( MAKALAH DAN HASIL PENELITIAN)
Untuk melengkapi berkas usulan kenaikan
pangkat /jabatan :
Nama : H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
NIP: 131 567 004
Fisip unpad
2
STRATEGI PERENCANAAN
SUMBER DAYA MANUSIA YANG EFEKTIF
M a k a l a h
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2007
3
KATA PENGANTAR
Makalah ini mengangkat judul tentang “Strategi Perencanaan
Sumberdaya Manusia yang efektif”. Hal ini didasarkan pada suatu
pemikiran bahwa organisasi publik maupun bisnis saat ini
dihadapkan pada suatu perubahan kondisi lingkungan yang semakin
cepat . Keselarasan antara perencanaan sumber daya manusia (SDM)
dapat membangun kinerja organisasi yang mampu mengadaptasi
dengan perubahan tadi.
Untuk merancang dan mengembangkan perencanaan sumber
daya manusia yang efektif bukanlah pekerjaan yang mudah, dia
membutuhkan suatu pemikiran, pertimbangan jangka pendek maupun
jangka panjang. Tiga tahap perencanaan yang saling terkait, seperti
strategic planning yang bertujuan untuk mempertahankan
kelangsungan organisasi dalam lingkungan persaingan. Kedua,
operational planning, yang menunjukkan demand terhadap SDM, dan
ketiga, human resources planning, yang digunakan untuk memprediksi
kualitas dan kuantitas kebutuhan sumber daya manusia dalam jangka
pendek dan jangka panjang yang menggabungkan program
pengembangan dan kebijaksanaan SDM.
Dalam pelaksanaannya, perencanaan sumber daya manusia
harus disesuaikan dengan strategi tertentu. Hal ini dimaksudkan
untuk meminimalisikan adanya kesenjangan agar tujuan dengan
kenyataan dan sekaligus menfasilitasi keefektifan organisasi dapat
dicapai. Perencanaan sumber daya manusia harus diintegrasikan
dengan tujuan perencanaan jangka pendek dan jangka panjang
organisasi. Hal ini diperlukan agar organisasi bisa terus survive dan
dapat berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan yang sangat
cepat dan dinamis .
Dengan selesainya makalah ini ,kami ucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam
penulisan makalah ini. Semoga bermamfaat.
Bandung, Pebruari 2007
Penulis
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................... ii
1. Pendahuluan .................................................................. 1
2. Berbagai Pengertian dan Strategi Perencanaan SDM ....... 3
3. Manfaat Pengembangan SDM di Masa Depan ................. 6
4. Tahapan Perencanaan SDM .................................................. 8
5. Kesenjangan dalam Perencanaan Sumber daya Manusia ... 9
6. Implementasi Perencanaan SDM........................................ 11
7. Penutup ............................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................. 16
5
STRATEGI PERENCANAAN
SUMBER DAYA MANUSIA YANG EFEKTIF
1. PENDAHULUAN.
Sebuah organisasi dalam mewujudkan eksistensinya dalam rangka
mencapai tujuan memerlukan perencanaan Sumber daya manusia yang efektif.
Suatu organisasi, menurut Riva’i( 2004:35) “tanpa didukung pegawai/karyawan
yang sesuai baiik segi kuantitatif,kualitatif, strategi dan operasionalnya ,maka
organisasi/perusahaan itu tidak akan mampu mempertahankan keberadaannya,
mengembangkan dan memajukan dimasa yang akan datang”.
Oleh karena itu disini diperlukan adanya langkah-langkah
manajemen guna lebih menjamin bahwa organisasi tersedia tenaga kerja
yang tepat untuk menduduki berbagai jabatan, fungsi, pekerjaan yang
sesuai dengan kebutuhan . Perencanaan sumber daya manusia (Human
Resource Planning) merupakan proses manajemen dalam menentukan
pergerakan sumber daya manusia organisasi dari posisi yang diinginkan di
masa depan, sedangkan sumber daya manusia adalah seperangkat
proses-proses dan aktivitas yang dilakukan bersama oleh manajer sumber
daya manusia dan manajer lini untuk menyelesaikan masalah organisasi
yang terkait dengan manusia.
Tujuan dari integrasi system adalah untuk menciptakan proses
prediksi demand sumber daya manusia yang muncul dari perencanaan
strategik dan operasional secara kuantitatif, dibandingkandengan prediksi
6
ketersediaan yang berasal dari program-program SDM. Oleh karena itu,
perencanaan sumber daya manusia harus disesuaikan dengan strategi
tertentu agar tujuan utama dalam memflitasi keefektifan organisasi dapat
tercapai..
Strategi bisnis di masa yang akan datang yang dipengaruhi
perubahan kondisi lingkungan menuntut manajer untuk mengembangkan
program-program yang mampu menterjemahkan current issues dan
mendukung rencana bisnis masa depan. Keselarasan antara bisnis dan
perencanaan sumber daya manusia (SDM) dapat membangun
perencanaan bisnis yang pada akhirnya menentukan kebutuhan SDM.
Beberapa faktoreksternal yang mempengaruhi aktivitas bisnis dan
perencanaan SDM, antara lain: globalisasi, kemajuan teknologi,
pertumbuhan ekonomi dan perubahan komposisi angkatan kerja.
Perubahan karakteristik angkatan kerja yang ditandai oleh berkurangnya
tingkat pertumbuhan tenaga kerja, semakin meningkatnya masa kerja bagi
golongan tua, dan peningkatan diversitas tenaga kerja membuktikan
perlunya kebutuhan perencanaan SDM. Dengan demikian, proyeksi
de3mografis terhadap angkatan kerja di masa depan akan membawa
implikasi bagi pengelolaan sumber daya manusia yang efetif.
Peramalan kebutuhan sumber daya manusiadi masa depan serta
perencanaan pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia tersebut
merupakan bagian dalam perencanaan sumber daya manusia yang
meliputi pencapaian tujuan dan implementasi program-program. Dalam
perkembangannya, perencanaan sumber, perencanaan sumber manusia
7
juga meliputi pengumpulan data yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi keefektrifan program-program yang sedang berjalan dan
memberikan informasi kepada perencanaan bagi pemenuhan kebutuhan
untuk revisi peramalan dan program pada saat diperlukan. Tujuan utama
perencanaan adalah memfasilitasi keefektifan organisasi, yang harus
diintegrasikan dengan tujuan perencanaan jangka pendek dan jangka
panjang organisasi (Jackson & Schuler, 1990). Dengan demikian,
perencanaan sumber daya manusia merupakan suatu proses
menterjemahkan strategi bisnis menjadi kebutuhan sumber daya manusia
baik kualitatif maupun kuantitatif melalui tahapan tertentu.
2. Berbagai Pengertian dan Strategi Perencanaan SDM
Mondy & Noe (1995) mendefinisikan Perencanan SDM sebagai
proses yang secara sistematis mengkaji keadaan sumberdaya manusia
untuk memastikan bahwa jumlah dan kualitas dengan ketrampilan yang
tepat, akan tersedia pada saat mereka dibutuhkan”. Kemudian Eric Vetter
dalam Jackson & Schuler (1990) dan Schuler & Walker (1990)
mendefinisikan Perencanaan sumber daya manusia (HR Planning)
sebagai; proses manajemen dalam menentukan pergerakan sumber daya
manusia organisasi dari posisinya saat ini menuju posisi yang diinginkan di
masa depan. Dari konsep tersebut, perncanaan sumber daya manusia
dipandang sebagai proses linear, dengan menggunakan data dan proses
masa lalu (short-term) sebagai pedoman perencanaan di masa depan
(long-term).
8
Dari beberapa pengertian tadi ,maka perencanaan SDM adalah
serangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sistematis dan
strategis yang berkaitan dengan peramalan kebutuhan tenaga
kerja/pegawai dimasa yang akan datang dalam suatu organisasi
(publik,bisnis ) dengan menggunakan sumber informasi yang tepat guna
penyediaan tenaga kerja dalam jumlah dan kualitas sesuai yang
dibutuhkan.
Adapun dalam perencanaan tersebut memerlukan suatu strategi
yang didalamnya terdapat seperangkat proses-proses dan aktivitas yang
dilakukan bersama oleh manajer sumber daya manusia pada setiap level
manajemen untuk menyelesaikan masalah organisasi guna meningkatkan
kinerja organisasi saat ini dan masa depan serta menghasilkan
keunggulan bersaing berkelanjutan. Dengan demikian, tujuan perencanaan
sumber daya manusia adalah memastikan bahwa orang yang tepat berada
pada tempat dan waktu yang tepat,sehingga hal tersebut harus disesuaikan
dengan rencana organisasi secara menyeluruh.
Untuk merancang dan mengembangkan perencanaan sumber daya
manusia yang efektif menurut Manzini (1996) untuk, terdapat tiga tipe
perencanaan yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan sistem
perencanaan tunggal.
Pertama, strategic planning yang bertujuan untuk mempertahankan
kelangsungan organisasi dalam lingkungan persaingan,
Kedua, operational planning, yang menunjukkandemand terhadap SDM, dan
9
Ketiga, human resources planning, yang digunakan untuk memprediksi
kualitas dan kuantitas kebutuhan sumber daya manusia dalam jangka pendek
dan jangka panjang yang menmggabungkan program pengembangan dan
kebijaksanaan SDM.
Perencanaan sumber daya manusia dengan perencanaan strategik
perlu diintegrasikan untuk memudahkan organisasi melakukan berbagai
tindakan yang diperlukan ,manakala terjadi perubahan dan tuntutan
perkembangan lingkungan organisasi yang demikian cepat . Sedangkan
tujuan pengintegrasian perencanaan sumber daya manusia adalah untuk
mengidentifikasi dan menggabubungkan faktor-faktor perencanaan yang
saling terkait, sistematrik, dan konsisten. Salah satu alasan untuk
mengintegrasikan perencanaan sumber daya manusia dengan
perencanaan strategik dan operasional adalah untuk mengidentifikasi
human resources gap antara demand dan supply, dalam rangka
menciptakan proses yang memprediksi demand sumber daya manusia
yang muncul dari perencanaan strategik dan operasional secara kuantitatif
dibandingkan dengan prediksi ketersediaan yang berasal dari programprogram
SDM.
Pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia organisasi di masa depan
ditentukan oleh kondisi faktor lingkungan dan ketidakpastian, diserta tren
pergeseran organisasi dewasa ini. Organisasi dituntut untuk semakin
mengandalkan pada speed atau kecepatan, yaitu mengupayakan yang
terbaik dan tercepat dalam memenuhi kebutuhan tuntutan/pasar (Schuler
& Walker, 1990).
10
3. Manfaat Pengembangan SDM di Masa Depan
Pimpinan yang secara teratur melakukan proses pengembangan
strategi sumber daya manusia pada organisasinya akan memperoleh
manfaat berupa distinctive capability dalam beberapa hal dibandingkan
dengan mereka yang tidak melakukan, seperti :
Yang sifatnya strategis yakni :
1. Kemampuan mendifinisikan kesempatan maupun ancaman bagi
sumber daya manusia dalam mencapai tujuan bisnis.
2. Dapat memicu pemikiran baru dalam memandang isu-isu sumber
daya manusia dengan orientasi dan mendisdik patisipan serta
menyajikan perluasan perspektif.
3. Menguji komitmen manajemen terhadap tindakan yang dilakukan
sehingga dapat menciptakan proses bagi alokasi sumber daya
program-program spesifik dan aktivitas.
4. Mengembangkan “sense of urgency” dan komitmen untuk
bertindak.
Kemudian yang sifatnya opersional ,perencanaan SDM dapat
bermamfaat untuk :
1. Meningkatkan pendayagunaan SDM guna memberi kontribusi
terbaik,
2. Menyelaraskan aktivitas SDM dengan sasaran organisasi agar
setiap pegawai/tenaga kerja dapat mengotimalkan potensi dan
ketrampilannya guna meningkatkan kinerja organisasi,
11
3. Penghematan tenaga,biaya, waktu yang diperlukan ,sehingga
dapat meningkatkan efisiensi guna kesejahteraan
pegawai/karyawan.(Nawawi, 1997: 143)
Adapun pola yang dapat digunakan dalam penyusunan strategi
sumber daya manusia organisasi di masa depan antara lain , (Schuler &
Walker, 1990) :
· Manajer lini menangani aktivitas sumber daya manusia (strategik dan
manajerial), sementara administrasi sumber daya manusia ditangani oleh
pimpinan unit teknis operasional.
· Manajer lini dan Biro kepegawaian/ sumber daya manusia saling berbagi
tanggung jawab dan kegiatan, dalam kontek manajer lini sebagai pemilik
dan sumber daya manusia sebagai konsultan.
· Departemen sumber daya manusia berperan dalam melatih manajer
dalam praktik-praktik sumber daya manusia dan meningkatkan kesadaran
para manajer berhubungan dengan HR concerns
4. Tahapan Perencanaan SDM
Menurut Jackson dan Schuler (1990), perencanaan sumber daya manusia
yang tepat membutuhkan langkah-langkah tertentu berkaitan dengan aktivitas
perencanaan sumber daya manusia menuju organisasi modern. Langkahlangkah
tersebut meliputi :
1.Pengumpulan dan analisis data untuk meramalkan permintaan
maupun persediaan sumber daya manusia yang diekspektasikan
bagi perencanaan bisnis masa depan.
2.Mengembangkan tujuan perencanaan sumber daya manusia
12
3.Merancang dan mengimplementasikan program-program yang dapat
memudahkan organisasi untuk pencapaian tujuan perencanaan
sumber daya manusia
4.Mengawasi dan mengevaluasi program-program yang berjalan.
Keempat tahap tersebut dapat diimplementasikan pada pencapaian
tujuan jangka pendek (kurang dari satu tahun), menengah (dua sampai
tiga tahun), maupun jangka panjang (lebih dari tiga tahun).
Rothwell (1995) menawarkan suatu teknik perencanaan sumber
daya manusia yang meliputi tahap :
(1) investigasi baik pada lingkungan eksternal, internal, organisasional:
(2) forecasting atau peramalan atas ketersediaan supply dan demand
sumber daya manusia saat ini dan masa depan;
(3) perencanaan bagi rekrumen, pelatihan, promosi, dan lain-lain;
(4) utilasi, yang ditujukan bagi manpower dan kemudian memberikan
feedback bagi proses awal. Sementara itu, pendekatan yang digunakan
dalam merencanakan sumber daya manusia adalah dengan actiondriven
,yang memudahkan organisasi untuk menfokuskan bagian
tertentu dengan lebih akurat atau skill-need, daripada melakukan
perhitungan numerik dwengan angka yang besar untuk seluruh bagian
organisasi.
Perencanaan sumber daya manusia umumnya dipandang sebagai
bciri penting dari tipe ideal model MSDM meski pada praktiknya tidak
selalu harus dijadikan prioritas utama. Perencanaan sumber daya manusia
merupakan kondisi penting dari “integrasi bisnis” dan “strategik,”
implikasinya menjadi tidak sama dengan “manpower planning” meski
13
tekniknya mencakup hal yang sama. Manpower planning menggambarkan
pendekatan tradisional dalam upaya forecasting apakah ada
ketidaksesuaian antara supply dan demand tenaga kerja, serta
merencanakan penyesuaian kebijakan yang paling tepat. Integrasi antara
aspek-aspek perencanaan sumber daya manusia terhadap pengembangan
bisnis sebaiknya memastikan bahwa kebutuhan perencanaan sumber daya
manusia harus dilihat sebagai suatu tanggung jawab lini.
5. Kesenjangan dalam Perencanaan Sumber daya Manusia
Dalam perencanaan SDM tidaklah semudah apa yang
dibayangkan, kendati telah ada perhitungan dan pertimbangan
berdasarkan kecenderungan dan data yang tersedia, tapi kemelencengan
bisa saja terjadi. Hal ini wajar karena selain adanya dinamika organisasi
juga adanya perubahan faktor lingkungan , kebijakan yang tidak
diantisipasisi sebelumnya. Proses perencanaan sering tidak berjalan
sebagaimana mestinya, karena kebijakan perencanaan tidak dibuat secara
detil, sehingga terjadi kesenjangan antara kebijakan sebelumnya dengan
aspek teknis operasional secara empiris . Persoalan yang dihadapi dalam
perencanaan sumber daya manusia dalam pengembangan dan
implementasinya dari strategi sumber daya manusia dapat dikelompokkan
ke dalam empat permasalah (Rothwell, 1995) :
Pertama, perencanaan menjadi suatu problema yang dirasa tidak
bermanfaat karena adanya perubahan pada lingkungan eksternal
14
organisasi, meskipun nampak adanya peningkatan kebutuhan bagi
perencanaan.
Kedua, realitas dan bergesernya kaleidoskop prioritas kebijakan dan
strategi yang ditentukan oleh keterlibatan interes group yang memiliki
power.
Ketiga, kelompok faktor-faktor yang berkaitan dengan sifat manajemen
dan ketrampilan serta kemampuan manajer yang memiliki preferensi bagi
adatasi pragmatik di luar konseptualisasi, dan rasa ketidakpercayaan
terhadap teori atau perencanaan, yang dapat disebabkan oleh kurangnya
data, kurangnya pengertian manajemen lini, dan kurangnya rencana
korporasi.
Keempat, pendekatan teoritik konseptual yang dilakukan dalam pengujian
kematangan perencanaan sumber daya manusia sangat idealistik dan
preskriptif, di sisi lain tidak memenuhi realita organisasi dan cara manajer
mengatasi masalah-masalah spesifik.
Permasalahan tersebut merupakan sebuah resiko yang perlu
adanya antisipasi dengan menerapkan aspek fleksibilitas ,manakala terjadi
kesenjangan di lapangan. Namun sedapat mungkin manajer telah
menyiapkan langkah-langkah antisipasi secara cermat setiap
perkembangan yang terjadi , karena pada dasarnya sebuah bangunan
perencanaan SDM tidak harus dibongkar secara mendasar , jika ada
kekurangan dan kelemahan ,tentu ada upaya mengatasi jalan keluar yang
terbaik. Oleh karena itu diperlukan analisis terhadap perencanaan yang
dibuat dengan menreapkan analisi SWOT.
15
6. Implementasi Perencanaan SDM
Pemilihan teknik merupakan starting point dalam melaksanakan
berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gaya manajeral, nilai dan
budaya secara keseluruhan. Beberapa teknik perencanaan sumber daya
manusia (Nursanti, 2002 : 61) dapat diimplementasikan dalam proses
rekrutmen dan perencanaan karir.
a. Rekrutmen
Identifikasi kemungkinan ketidakcocokan antara supply dan demand
serta penyesuaian melalui rekrutmen, sebelumnya dilihat sebagai alasan
perencanaan manpower tradisional. Oleh karena itu diperlukan pendekatan
baru yang mempertimbangkan kombinasi kompetensi karyawan melalui
pengetahuan, keterampilan dan sikap dan pengalaman yang dimiliki.
Perencanaan MSDM dapat dijadikan petunjuk dan memberikan wawasan
masa yang akan datang bagi orang-orang yang diperlukan untuk
m,enyampaikan produk-produk inovatif atau pelayanan berkualitas yang
difokuskan melalui strategi bisnis dalam proses rekrutmen.
b. Perencanaan Karir
Hal ini membutuhkan pengertian proses-proses yang diintegrasikan
pada karekteristik individual dan preferensi dengan implikasinya pada :
budaya organisasi, nilai dan gaya, strategi bisnis dan panduan, struktur
organisasi dan perubahan, sistem reward, penelitian dan sistem
pengembangan, serat penilaian dan sistem promosi. Beberapa organisasi
dewasa ini menekankan pada tanggung jawab individual bagi
16
pengembangan karir masing-masing. Sistem mentoring formal maupun
informal diperkenalkan untuk membantu pencapaian pengembangan karir.
Seberapa jauh fleksibelitas dan efisiensi organisasi ditentukan oleh
kebijakan pemerintah, baik fiskal maupun pasar tenaga kerja.
c. Evaluasi Perencanaan SDM
Perencana sumber daya manusia dapat digunakan sebagai indikator
kesesuaian antara supply dan demand bagi sejumlah orang-orang yang
ada dalam organisasi dengan keterampilan yang sesuai : perencanaan
sumber daya manusia juga berguna sebagai “early warning” organisasi
terhadap implikasi strategi bisnis bagi pengembangan sumber daya
manusia dengan melakukan audit terhadap SDM. Teknik-teknik yang dapat
digunakan dalam evaluasi perencanaan sumber daya manusia meliputi :
a. Audit sederhana terhadap sasaran apaqkah memenuhi tujuan,
kekosongan terisi, biaya berkurang, dan sebagainya. Sedangkan
tingkat audit tergantung pada tujuan organisasi dan seberapa jauh
analisis terhadap keberhasilan maupunb penyimpangan dapat
dilakukan.
b. Evaluasi sebagai bagian dari tinjauan prosedur organisasi lain sesuai
standar penggunaan :
a. Prosedur total kualitas; perlu bagi kebutu8han pengawasan dan
dapat menggambarkan atensi bagi ketidakcukupan SDM
17
b. Prosedur investasi manusia; perlu pengawasan bagi hasil pelatihan
terhadap analisis kebutuhan pelatihan bagi seluruh karyawan
berbasis kontinyuitas.
c. Pendekatan analitis bagi utilisasi sumber daya manusia dan
pengawasan hasil
c. Evaluasi sebagai bagian dari audit komunikasi generalv atau survai
sikap karyawan
d. Dimasukkannya hal-hal berikut sebagai bagian audit yang lebih luas
atau tinjauan fungsi SDM :
· Nilai tambah yang diperoleh organisasi, misalnya dalam
mengembangkan manusia atau pengurangan perpindahan tenaga
kerja.
· Dalam pemenuhan target departemen sumber daya manusia atau
penetapan fungsi
· Dalam pengwasan pencapaian “equal opportunity target” dalam hal
gender atau ras
· Sebagai bagian bentuk internal atau eksternal bench-marking
komporasi dari perencanaan sumber daya manusia yang digunakan
dan outcomes dalam bagian lain di organisasi yang sama
e. Melakukan review atas penilaian individu.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa tujuan perencanaan
sumber daya manusia adalh memastikan bahwa orang yang tepat berada
pada tempat dan waktu yang tepat, sehingga hal tersebut harus
18
disesuaikan dengan rencana organisasi secara menyeluruh. Salah satu
hasil evaluasi penerapan program jangkan panjang dapat ditujukan bagi
perencanaan program suksesi.
7 . Penutup.
Berdasarkan uraian sebelumnya, pada bab ini penulis
mengemukakan beberapa kesimpulan :
1. Perencanaan sumber daya manusia (Human Resource Planning)
merupakan salah satu fungsi dalam Manajemen Sumberdaya manusia
yang mengorientasi pada bagaimana menyusun langkah-langkah
strategi menyiapkan sumberdaya manusia (pegawai/karyawan) dalam
suatu organisasi secara tepat dalam jumlah dan kualitas yang
diperlukan .Perencanaan SDM sebagai; proses manajemen dalam
menentukan pergerakan sumber daya manusia organisasi dari
posisinya saat ini menuju posisi yang diinginkan di masa depan dengan
menggunakan data sebagai pedoman perencanaan di masa depan .
2. Perencanaan sumber daya manusia awal difokuskan pada perencanaan
kebutuhan sumber daya manusia di masa depan serta cara pencapaian
tujuannya dan implementasi program-program, yang kemudian
berkembang, termasuk dalam hal pengumpulan data untuk
mengevaluasi keefektifan program yang sedang berjalan dan
memberikan informasi kepada perencana bagi pemenuhan kebutuhan
untuk revisi peramalan dan program daat diperlukan.
3. Dalam pelaksanaannya, perencanaan sumber daya manusia harus
disesuaikan dengan strategi tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk
19
meminimalisikan adanya kesenjangan agar tujuan dengan kenyataan
dan sekaligus menfasilitasi keefektifan organisasi dapat dicapai.
Perencanaan sumber daya manusia harus diintegrasikan dengan
tujuan perencanaan jangka pendek dan jangka panjang organisasi. Hal
ini diperlukan agar organisasi bisa terus survive dan dapat berkembang
sesuai dengan tuntutan perubahan yang sangat cepat dan dinamis .
20
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, S.E., & Schuler, R.S. 1990. Human Resource Planning:
Challenges for Industrial/Organization Psychologists. New York,
West Publishing Company .
Mondy ,R.W & Noe III,RM,1995,Human Resource Management,
Massahusetts, Allyn & Bacon
Nawawi, Hadari, 2001, Manajemen Sumberdaya Manusia, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press.
Nursanti, T.Desy, 2002, Strategi Teintegrasi Dalam Perencanaan SDM ,
dalam Usmara, A (ed), Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya
Manusia, Yogyakarta, Amara books.
Purnama, N. 2000. Membangun Keunggulan Bersaing Melalui Integrasi
Perencanaan Strategik dan Perendanaan SDM. Jakarta,
Usahawan, 7(29):3-8
Riva’i, Veithzal, 2004, Manajemen Sumberdaya Manusia untuk
Perusahaan : dari teori ke praktek, Jakarta ,RadjaGrapindo Persada.
Rothwell, S. 1995. Human Resource Planning. In J. Storey (ED). Human
Resource Management: A Critical Text . London: Routledge
Schuler. R.S., & Walker, J.W. 1990. Human Resource Strategy: Focusing
on Issues and Actions. Organizational Dynamics, New York, West
Publishing Company .
21
PERANAN KOMPETENSI DALAM
PENGEMBANGAN
MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERISTAS PADJADJARAN
2006
22
KATA PENGANTAR
Makalah dengan mengmbil judul tentang “Peranan
Kompetensi Dalam Pengembangan Manajemen SDM” didasarkan
pada suatu pemikiran bahwa permasalahan kompetensi merupakan
wacana yang tengah berkembang, ketika organisasi dihadapkan
pada berbagai tantangan dan persaingan yang semakin tajam.
Organisasi di negara maju telah menunjukkan keberhasilan dengan
menggunakan praktek pengelolaan SDM yang efektif melalui cara
peningkatan keterampilan dan keahlian SDM .
Dengan semakin tingginya tingkat kompetisi antar
organisasi/perusahaan ,maka tidak ada pilihan lain bagi setiap
manajer kecuali bagaimana organisasi mampu menghasilkan produk
yang berkualitas dan kompetif di pasaran. Dalam organisasi publik
lebih pada bagaimana memberi pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat ,sehingga organisasi tersebut tetap memiliki reputasi dan
citra yang baik dimata masyarakat.
Karakteristik yang diperlukan dalam Organisasi publik
dewasa ini adalah kompetensi di orietasikan pada aspek
entrepreneurship,sensitivitas dan responsivitas , mempunyai
wawasan pengetahuan ( knowledge) , ketrampilan (skill) dan sikap
perilaku (attitude) yang relevan dengan visi,misi dan budaya kerja
organisasi. Karakteristik kompetensi tersebut amat membantu
keberhasilan organisasi dalam membawa misinya dengan
memperhatikan keterkaitan dengan seleksi, perencanaan suksesi.
Namun demikian, peranan kompetensi bagi organisasi tidak akan
mampu memacu produktivitas yang tinggi tanpa dibarengi sistem
penghargaan dan evaluasi kinerja yang terukur.
Dalam penulisan makalah ini tentu
masih ada kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan. Semoga.
Bandung, Desember 2006
Penulis
23
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................ ii
1. Pendahuluan....................................................................... 1
2. Konsep Kompetensi dalam perspektif historis .............. 2
3. Pengertian dan karakteristik Kompetensi ........................ 4
4. Model Kompetensi dalam Manajemen SDM ..................... 7
5. Beberapa Kompetensi yg dibutuhkan untuk Masa Depan.. 11
6.Penutup ............................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 18
24
PERANAN KOMPETENSI DALAM PENGEMBANGAN
MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
1. Pendahuluan.
Permasalahan kompetensi dalam kaitannya dengan pengembangan
SDM merupakan wacana yang tengah berkembang, ketika organisasi
dihadapkan pada berbagai tantangan dan persaingan yang semakin tajam.
Organisasi di negara maju telah menunjukkan keberhasilan dengan
menggunakan praktek pengelolaan SDM yang efektif melalui cara
peningkatan keterampilan dan keahlian SDM .
Dalam pengelolaan SDM suatu organisasi di era kompetisi ini
memberi kesadaran bahwa dunia kerja masa kini dan yang akan datang
telah mengalami perubahan. Peran SDM dalam organisasi mempunyai arti
yang sama pentingnya dengan pekerjaan itu sendiri, sehingga interaksi
antara organisasi dan SDM menjadi fokus perhatian para pimpinan di
berbagai tingkatan manajemen dan berbagai organisasi baik publik
maupun bisnis. Karenanya penting untuk mengadopsi dan
mensosialisasikan nilai-nilai (values) baru yang sesuai dengan tuntutan
lingkungan organisasi kepada semua unsur dalam organisasi. Ancok
dalam Usmara (2002, 139) menyebutkan pergeseran pandangan tentang
SDM sebagai refleksi dari adanya revitalisasi peran SDM dalam kegiatan
organisasi yang memandang “manusia tidak lagi dianggap sebagai biaya
tetapi dianggap sebagai aset (modal), Karyawan tidak lagi difokuskan
untuk ‘berkompetensi’ pada kemajuan diri sendiri, tetapi lebih pada
kerjasama untuk kepentingan bersama”. Inilah konsekwensi dari
25
pergeseran pardigma manajemen sebagaimana dikatakan Alfin Tofler
memasuki ke gelombang ke tiga (third wave) dalam manajemen (termasuk
dalam manajemen SDM).
2. Konsep Kompetensi dalam perspektif historis
Perkembangan kompetensi sebagai konsep maupun praktek dalam
manajemen tidak dapat dipisahkan dengan sejarah perkembangan
Manajemen Sumberdaya Manusia itu sendiri. Timbulnya teori motivasi
pada dekade empat puluhan dengan Maslow sebagai pelopornya
merupakan bukti konkrit bahwa penekanan pentingnya sumberdaya
manusia sebagai aset,potensi yang memiliki pengaruh besar terhadap
kemajuan organisasi di sektor bisnis maupun publik. Salah satu kebutuhan
yang diperlukan perusahaan/organisasi adalah menyangkut kompetensi
SDM. Hal ini mengingat kini organisasi menghadapi berbagai kemajuan di
bidang informasi dan teknilogi sehingga diperlukan orang yang memiliki
keahlian tertentu.
Istilah “kompetensi” sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Menurut
Organisasi Industri Psikologi Amerika (Mitrani, Palziel, and Fitt, 1992)
gerakan tentang kompetensi telah dimulai pada tahun 1960 dan awal 1970.
Menurut gerakan tersebut banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa
hasil test sikap dan pengetahuan, prestasi belajar di sekolah dan diploma
tidak dapat memprediksi kinerja atau keberhasilan dalam kehidupan.
Unsur tersebut sering menimbulkan bias terhadap minoritas, wanita dan
orang yang berasal dari strata sosio ekonomi yang rendah.
26
Temuan tersebut telah mendorong dilakukan penelitian terhadap
variabel kompetensi yang diduga memprediksi kinerja individu dan tidak
bias dikarenakan faktor rasial, jender dan sosio ekonomi. Oleh sebab itu
beberapa prinsip yang perlu diperhatikan adalah :
· Membandingkan individu yang secara jelas berhasil di dalam
pekerjaannya dengan individu yang tidak berhasil. Melalui cara ini
perlu diidentifikasikan karakteristik yang berkaitan dengan
keberhasilan tersebut.
· Mengidentifikasikan pola perilaku individu yang berhasil. Pengukuran
kompetensi harus menyangkut reaksi individu terhadap situasi yang
terbuka ketimbang menggantungkan kepada pengukuran responden
seperti test “multiple choice” (pilihan ganda) yang meminta individu
mem8ilih alternatif jawaban. Prediktor yang terbaik atas apa yang
dapat dilakukan oleh seseorang adalah mengetahui apa yang
dipikirkan individu secara spontan dalam situasi yang tudak terstrutur.
(Mitrani, Palziel, and Fitt, 1992)
Pertanyaan yang harus di jawab atas permasalahan tersebut
adalah jika cara klasik menggunakan pengukuran sikap tidak
memprediksi kinerja. Menurut David Mc. Clellands dalam (Mitrani, Palziel,
and Fitt, 1992), yang harus dilakukan adalah:
Pertama, mencari individu yang memiliki kinerja yang tinggi, dan
membandingkannya dengan individu yang berkinerja rendah.
Kedua, mengembangkan teknik Behavioral Event Interview (BEI)
yang menggabungkan teknik seleksi sebelumnya (critical incident
method) dalam teknik yang baru. Falnagan lebih tertarik untuk
mengindentifikasikan unsur tugas dalam pekerjaan, sementara
Mc.Clelland lebih tertarik kepada karakteristik SDM yang
27
melakukan pekerjaan dengan baik. Teknik BEI meminta individuindividu
untuk memikirkan beberapa aspek penting atas keadaan
yang berkaitan dengan pekerjaannya sehingga menimbulkan hasil
yang baik atau buruk.
Ketiga, menganalisis transkrip BEI atas informasi tentang
keberhasilan dan ketidakberhasilan para pemim[pin untuk
mengindentifikasi karakteristik yang membedakan kedua sampel
tersebut. Analisis biasanya lebih ditekankan kepada perilaku yang
menunjukkan kinerja yang tinggi ketimbang yang rata-rata.
Perbedaan kedua karakteristik tersebut diterjemahkan kedalam
tujuan dan definisi sistem skoring yang dapat dipercaya oleh
masing-masing pengamat.
Adapun esensi dari teori Mc.Clelland tentang pendekatan penilaian
kompetensi terhadap job analisys, bahwa penelitian lebih menekankan
kepada orang-orang yang melakukan pekerjaan dan berkinerja baik, dan
mendifinisikan job berdasarkan karakteristik dan perilaku orang-orang
tersebut, ketimbang menggunakan pendekatan tradisional dengan
menganalisis unsur yang ada dalam job tersebut.
3. Pengertian dan karakteristik Kompetensi
Kompetensi didefenisikan (Mitrani et.al, 1992; Spencer and
Spencer, 1993) ; “an underlying characteristics of an individual which is
related to criterion-referenced effective and or superior performance in a
job or situation (sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan
berkaitan dengan efetivitas kinerja individu dalam pekerjaannya ).
Berdasarkan difinisi tersebut bahwa kata “ underlying charateristic”
mengandung makna kompetensi adalah bagian kepribadian yang
mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat
diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Sedangkan kata
“causally related” berarti kompetensi adalah suatu yang menyebabkan
28
atau memprediksi perilaku dan kinerja. Sedangkan kata “Criterionreferenced”
mengandung makna bahwa kompetensi sebenarnya
memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik, diukur dari
kriteria atau standar yang digunakan. Misalnya, kriteria volume penjualan
yang mampu dihasilkan oleh seseorang tenaga.
Kompetensi dapat berupa penguasaan masalah, ketrampilan
kognitif maupun ketrampilan perilaku, tujuan,perangai, konsep diri, sikap
atau nilai. Setiap orang dapat diukur dengan jelas dan dapat ditunjukkan
untuk membedakan perilaku unggul atau yang berberstasi rata-rata.
Penguasaan masalah dan ketrampilan relatif mudah diajarkan, mengubah
sikap dan perilaku relatif lebih sukar. Sedangkan mengubah tujuan dapat
dilakukan tetapi prosesnya panjang,lama dan mahal.
Penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan agar dapat mengetahui
tingkat kinerja yang diharapkan untuk katagori baik atau rata-rata.
Penentuan ambang kompetensi yang dibutuhkan tentunya akan dapat
dijadikan dasar bagi proses seleksi, suksesi perencanaan, evaluasi kinerja
dan pengembangan SDM. Menurut Spencer and Spencer (1993), Mitrani
et. Al, (1992), terdapat 5 (lima) karakteristik kompetensi, yaitu :
· “Knowledge” adalah informasi yang memiliki seseorang untuk bidang
tertentu. Pengetahuan (knowledge) merupakan kompetensi yang
kompleks. Skor atas tes pengetahuan sering gagal untuk memperidiksi
kinerja SDM karena skor tersebut tidak berhasil mengukur
pengetahuan dan keahlian seperti apa seharusnya dilakukan dalam
pekerjaan. Tes pengetahuan mengukur kemampuan peserta tes untuk
memilih jawaban yang paling benar, tetapi tidak bisa melihat apakah
seseorang dapat melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya.
· “Skill” adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu
baik secara pisik maupun mental. Misalnya, seorang dokter gigi secara
29
pisik mempunyai keahlian untuk mencabut dan menambal gigi tanpa
harus merusak saraf. Selain itu kemampuan seorang programer
komputer untuk mengorganisasikan 50.000 kode dalam logika yang
sekuensial.
· Motives adalah drive, direct and`select behavior to ward certain
actions or goals and away from other Seseorang memiliki motif
berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang
memberikan tantangan pada dirinya dan bertanggungjawab penuh
untuk mencapai tujuan tersebut serta mengharapkan feed back untuk
memperbaikii dirinya.
· “Traits” adalah watak yang membuat orang untuk berperilaku atau
bagaimana seseorang merespon sesuatu dengan cara tertentu.
Misalnya percaya diri (self-confidence), kontrol diri (self-control),
steress resistance, atau hardiness (ketabahan / daya tahan)
· “Self-Concept” adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang.
Sikap dan nilai diukur melalui tes kepada responden untuk mengetahui
bagaimana value (nilai) yang dimiliki seseorang, apa yang menarik bagi
seseorang melakukan sesuatu. Seseorang yang dinilai menjadi “leader”
seyogyanya memiliki perilaku kepemimpinan sehingga perlu adanya tes
tentang leadership ability.
Dalam kaitannya dengan karakteristik ke lima kompetensi tadi,
maka dapat dikatakan adanya 3 kecenderungan yang terjadi:
Pertama , bahwa kompetensi pengetahuan (Knowledge Competencies) dan
kahlian (Skill Competencies) cenderung lebih nyata (visible) dan relatip
berada di permukaan sebagai salah satu karakteristik yang dimiliki
manusia. Oleh karenanya kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif
mudah untuk dikembangkan sehingga program pelatihan merupakan cara
yang baik untuk menjamin tingkat kemampuan SDM.
Kedua, motif kompetensi dan “trait” berada pada “personality iceberg”
sehingga cukup sulit untuk dinilai dan dikembangkan sehingga salah satu
cara yang paling efektif adalah memilih karakteristik tersebut dalam proses
seleksi.
30
Ketiga, self-concep (konsep diri), trait (watak / sifat) dan motif kompetensi
lebih tersembunyi (hidden), dalam (deeper) dan berada pada titik central
kepribadian seseorang (Spencer and Spencer, 1993). Konsep diri (selfconcept)
terletak diantara keduanya. Sedangkan sikap dan nilai (values)
seperti percaya diri “self-confidence” (seeing ones self as a “manajer”
instead of a “technical/profesional”) dapat dirubah melalui pelatihan,
psikoterapi sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan sulit.
Dengan melihat kecenderungan di atas, maka dapat memberikan
gambaran pada manajemen bagaimana upaya meningkatkan kualitas SDM
ke depan baik dalam perencanaan maupun dalam pengembangannya.
Disisi lain bahwa karakteristik tersebut memiliki hubungan satu dengan
yang lain yang saling menentukan.
4. Model Kompetensi dan Pendekatan yang Terintegrasi dalam
ManajemenSumber Daya Manusia.
Model kompetensi adalah suatu cara bagaimana memetakan suatu
sistem pemikiran yang dapat memberi gambaran terintegrasi mengenai
kompetensi kaitannya dengan strategi manajemen SDM. Dalam konteks
strategi manajemen SDM tersebut terdapat beberapa unsur terkait yakni
1. sistem rekruitmen dan seleksi, 2. Penempatan dan rencana suksesi, 3.
Pengembangan karier 4, Kompensasi . Adapun penjelasan selanjutnya
sebagai berikut :
Pertama, sistem rekruitmen dan seleksi .
31
Sistem rekrutmen yang berbasis kompetensi biasanya memusatkan
pada metode seleksi yang dapat digunakan untuk memilih sejumlah calon
dari populasi pelamar yang cyukup besar secara cepat dan efisien. Seleksi
dalam proses rekrutmen memerlukan tantangan yang khusus, seperti
menseleksi dari jumlah pelamar dalam kurun waktu yang pendek. Oleh
karena itu sistem rekrutmen yang berbasis kompetensi perlu menekankan
kepada usaha mengindetifikasikan 3 kompetensi yang memenuhi kriteria
seperti :
· Kompetensi yang telah dikembangkan dan diperlihatkan oleh pelamar
dalam suatu pekerjaan (misalnya : inisiatif)
· Kompetensi yang dapat mempridiksi prospek keberhasilan calon
pegawai jangka panjang dan kompetensi tersebut sulit dikembangkan
melalui training atau pengalaman kerja (misalnya : Motivasi
berprestasi)
· Kompetensi yang dapat dipercaya dengan menggunakan wawancara
perilaku yang singkat dan tertentu. Misalnya, jika kolaborasi tim
ladership merupakan kompetensi yang diinginkan, para pewancara
dapat meminta calon menunjukkan kompetensi tersebut.
Kedua, Penempatan dan rencana suksesi
Penetapan dan rencana suksesi berbasis kompetensi memusatkan
kepada usaha identifikasi calon yang dapat memberikan nilai tambah pada
suatu pekerjaan organisasi. Oleh karena itu, sistem seleksi dan penetapan
harus menekankan kepada identifikasi kompetensi yang paling dibutuhkan
32
bagi kepentingan suatu pekerjaan tertentu. Usaha yaqng dilakukan adalah
mengunankan sebanyak mungkin sumber informasi tentang calon sehingga
dapat ditentukan apakah calon memiliki kmpetensi yang dibutuhkan
Metode penilaian atas calon yang dapat dilakukan melalui berbagai
cara seperti wawancara perilaku (behavioral event review) tes, simulasi
lewat assesment centers, menelaah laporan evaluasi kinerja atas penilaian
atasan, teman sejawat dan bawahan, calon pegawai direkomendasikan
untuk promosi atau ditetapkan pada suatu pekerjaan berdasarkan atas
rangking dari total bobot skor berdasarkan kriteria kompetensi.
Ketiga , Pengembangan Karier
Kebutuhan kompetensi untuk pengembangan dan jalur karier akan
menentukan dasar untuk pengembangan karyawan. Karyawan yang dinilai
lemah pada aspek kompetensi tertentu dapat diarahkan untuk kegioatan
pengembangan kompetensi tertentu sehingga diharapkan dapat
memperbaiki kinerjanya. Beberapa pilihan pengembangan kompetensi
termasuk pengalaman “ássessment center”, lembaga-lembaga training,
pemberian tugas-tugas pengembangan, mentor dan sebagainya.
Proses perolehan kompetensi (competency acquisition process)
telah dikembangkan untuk meningkatkan tingkat kompetensi yang meliputi:
· Recognition; suatu simulasi atau studi kasus yang memberikan
kesempatan peserta untuk mengenali satu atau lebih kompetensi yang
dapat memprediksi individu berkinerja tinggi di dalam pekerjaannya
sehingga seseorang dapat belajar dari pengalaman simulasi tersebut.
33
· Understanding; instruksi khusus termasuk modelling perilaku tentang
apa itu kompetensi dan bagaimana penerapan kompetensi tersebut.
· Assessment; umpan balik kepada peserta tentang berapa banyak
kompetensi yang dimiliki peserta (membandingkan skor peserta) .Cara
ini dapat memotivasi peserta mempelajari kompetensi sehingga mereka
sadar adanya gap antara kinerja yang aktual dan kinerja yang ideal.
· Feedback; suatu latihan dimana peserta dapat mempraktekkan
kompetensi dan memperoleh umpan balik bagaimana peserta dapat
melaksanakan pekerjaan tertentu dibanding dengan seseorang yang
berkinerja tinggi.
· Job Application; peserta menetapkan tujuan dan mengembangkan
tindakan yang spesifik agar dapat menggunakan kompetensi di dalam
kehidupan nyata.
Keempat, Kompensasi untuk Kompetensi dan Manajemen Kinerja
Sistem kompensasi yang didasarkan pada keahlian secara ekplisit
mengkaitkan reward terhadap pengembangan keahlian. Cara ini sangat
tepat untuk dilakukan apabila karyawan tidak memiliki kontrol terhadap
hasil-hasil kinerjanya
Efektifitas evaluasi kinerja tergantung pada ketepatan penggunaan
masing-masing bentuk data yang ditentukan sebagai sasaran suatu sistem
dan tingkat pengawasan atas kinerja karyawan untuk masing-masing
variabel yang dinilai. Data hasil kinerja biasanya digunakan untuk
keputusan pemberian “reward”. Jika karyawan mempunyai pengawasan
34
yang bersifat individual atas hasil suatu pekerjaan (misalnya, dalam kerja
tim), maka reward hanya akan didasarkan atas hasil tersebut. Hasil
pekerjaan tersebut tentunya dapat mengakibatkan demotivasi bagi individu
yang berkinerja tinggi. Dalam hal ini beberapa porsi “reward” harus
didasarkan atas “job behavior”. Data job behavior biasanya digunakan
untuk keputusan pengembangan skill individu. Misalnya, bagaimana
evaluasi terhadap kinerja manajer Y menunjukkan adanya kelemahan
dalam aspek Motivator , maka orang tersebut dapat disarankan untuk
mengikuti pelatihan Achievement Motivation Training (AMT) untuk
mengembangkan keahliannya.
5. Beberapa Kompetensi yang dibutuhkan untuk Masa Depan
Dengan semakin tingginya tingkat kompetisi antar
organisasi/perusahaan ,maka tidak ada pilihan lain bagi setiap manajer
kecuali bagaimana organisasi/perusahaan mampu menghasilkan produk
yang berkualitas dan kompetif di pasaran. Dalam organisasi publik lebih
pada bagaimana memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat
,sehingga organisasi tersebut tetap memiliki reputasi dan citra yang baik
dimata masyarakat. Dari pemikiran tersebut , maka kompetensi yang
dibutuhkan pada setiap level manajemen memiliki penekanan yang
spesifik, kendati tidak berarti sesuatu yang berbeda dengan level lainnya.
Tiga tingkatan pada level manajemen yakni level eksekutif,
manajer/pimpinan dan karyawan.
35
1. Tingkat Eksekutif
Kompetensi apa yang dibutuhkan ,hal ini sangat tergantung pada
organisasi apa mereka bergerak dengan melakukan analisis terhadap
kebutuhan dan dinamika perubahan lingkungan. Tapi pada umumnya
pada tingkat pimpinan /eksekutif diperlukan beberapa kompetensi , yakni
(1) strategic thingking;
(2) change leadership dan
(3) relationship management.
Strategic thingking adalah kompetensi untuk memahami
kecenderungan ancaman, kekuatan dan kelemahan organisasi agar dapat
mengidentifikasikan “strategic response” secara optimum. Strategi ini
dilakukan melalui analisis SWOT yang akan memberikan gambaran nyata
terhadap kekuatan,kelemahan,peluang dan ancaman yang mungkin bakal
dihadapi organosasi/perudsahaan. Analisis ini memerlukan kemampuan
konseptual kognitif dengan berbagai pertimbangan rasional yang dapat
diuji tingkat kebenarannya.
Dari aspek change leadership yakni kompetensi untuk
mengkomunikasikan visi dan strategi perusahaan dapat ditransformasikan
kepada pegawai/karyawan terkait. Pemahaman atas visi organisasi oleh
para karyawan akan mengakibatkan motivasi dan komitmen sehingga
karyawan dapat bertindak sebagai sponsor inovasi dan “enterpreneurship”
terutama dalam mengalokasikan sumber daya organisasi sebaik mungkin
untuk menuju kepada proses perubahan.
36
Sedangkan kompetensi relationship management adalah
kemampuan untuk meningkatkan hubungan dan jaringan dengan semua
pihak terkait baik dengan unsur pemerintah, masyarakat, maupun
stakeholder lainnya. Kerjasama dengan negara lain sangat dibutuhkan
bagi keberhasilan organisasi.
2. Tingkat Manajer
Pada tingkat manajer, paling tidak diperlukan aspek-aspek
kompetensi seperti: fleksibilitas, change implementation, interpersonal
understanding and empowering. Aspek fleksibelitas adalah kemampuan
merubah struktur dan proses manajerial; apabila strategi perubahan
organisasi diperlukan untuk efektivitas pelaksanaan tugas organisasi.
Dimensi “interpersonal understanding” adalah kemampuan untuk
memahami nilai dari berbagai tipe manusia. Aspek pemberdayaan
(empowerment) adalah kemampuan berbagai imformasi, penyampaian ideide
oleh bawahan, mengembangkan pengembangan karyawan,
mendelegasikan tanggungjawab, memberikan sarau umpan balik,
menyatakan harapan-harapan yang positif untuk bawahan dan memberikan
reward bagi peningkatan kinerja. Kesemua faktor-faktor tersebut membuat
karyawan merasa termotivasi dan memiliki tanggung jawab yang lebih
besar.
Adapun dimensi “team facilitation” adalah kemampuan untuk
menyatukan orang untuk bekerja sama secara efektif dalam mencapai
tujuan bersama; termasuk dalam hal ini adalah memberikan kesempatan
37
setiap orang untuk berpartisipasi dan mengatasi konflik. Sedangkan
dimensi “portability” adalah kemampuan untuk beradapsi dan berfungsi
secara efektif dengan lingkungan luar negeri sehingga manajer harus
“portable” terhadap posisi-posisi yang ada di negara manapun
3. Tingkat Karyawan (tingkat pelaksana)
Pada tingkat karyawan diperlukan kualitas kompetensi seperti
fleksibelitas; kompetensi motivasi dan kemampuan untuk belajar, motivasi
berprestasi, motivasi kerja di bawah tekanan waktu; kolaborasi, dan
orientasi pelayanan kepada pelanggan. Dimensi fleksibelitas adalah
kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang
mengembirakan ketimbang sebagai ancaman. Aspek mencari informasi,
motivasi dan kemampuan belajar adalah kompetensi tentang antusiasme
untuk mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan
interpersonal.
Dimensi motivasi berprestasi adalah kemampuan untuk
mendorong inovasi; perbaikan berkelanjutan dalam kualitas dan
produktifitas yang dibutuhkan untuk memenuhi tanyangan kompetensi.
Aspek motivasi kerja dalam tekanan waktu merupakan kombinasi
fleksibelitas, motuvasi berprestasi, menahan stress dan komitmen
organisasi yang membuat individu bekerja dengan baik dibawah
permintaan produk-produk baru walaupun dalam waktu yang terbatas.
Dimensi kolaborasi adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam
38
kelompok yang multi disiplin; menaruh harapan positif kepada yang lain,
pemahaman interpersonal dan komitmen organisasi.
Sedangkan dimensi yang terakhir untuk karyawan adalah
keinginan yang besar untuk melayani pelanggan dengan baik; dan inisiatif
untuk mengatasi hambatan-hambatan di dalam organisasi agar dapat
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi pelanggan.
Dalam kaitan dengan kualitas sumberdaya birokrasi yang
berkembang dalam organisasi publik dalam mendukung konsep good
governance , Tjokrowinoto (2001: 27) menyebutkan bahwa kompetensi
yang diperlukan bagi seorang birokrat mencakup . a.l :
1. Memiliki sensitivitas dan responsivitas terhadap peluang dan
tantangan baru yang timbul di dalam pasar ,
2. Mempunyai wawasan pengetahuan ( knowledge) , ketarampilan
(skill) dan sikap perilaku (attitude) yang relevan dengan
visi,misi dan budaya kerja organisasi .
3. Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumberdaya
yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang
berproduksi rendah menuju kegiatan yang berproduksi tinggi,
4. Tidak terpaku pada kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi
instrumental birokrasi, tetapi harus mampu melakukan
terobosan ( break throuh ) melalui pemikiran yang kreatif dan
inovatif.
5. Dapat bekerja secara profesional dan komitmen pada prestasi,
loyalitas,dedikasi pada pekerjaan dan organisasi.
6. Memilki jiwa entrepreneurship yang tinggi dan kosnsisten
Kompetensi yang dimiliki oleh pegawai /karyawan ini tentu tidak
begitu saja muncul, tantu diperlukan perencanaan pengembangan SDM,
komitmen Pimpinan dan seluruh unit/divisi terkait ,kearah kemajuan dan
daya dukung instrumen lainnya, termasuk soal rewards dan punishment.
Upaya ke arah tersebut tentu menjadi sebuah keniscayaan,kendati dalam
39
penerapannya tentu disesuaikan dengan kemampuan, iklim organisasi dan
budaya kerja yang tengah dikembangkan.
6.Penutup.
Berlandaskan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat penulis
simpulkan sebagai berikut :
1. Pergeseran pandangan tentang SDM sebagai refleksi dari adanya
revitalisasi peran SDM dalam kegiatan organisasi yang memandang
manusia sebagai salah satu faktor keberhasilan organisasi dalam
merealisasikan misinya sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan
demikian bagaimana upaya manajemen meningkatkan kualitas SDM
ke depan baik dalam perencanaan maupun dalam pengembangannya.
2. Kompetensi sangat diperlukan bagi organisasi yang adaptif terhadap
dinamika perubahan dalam masyarakat maupun pasar. Didalamnya
menyangkut perubahan paradigma , orietasi, nilai, perilaku ,struktur ,
tujuan yang berkinerja tinggi . Kompetensi bagi organisasi/ karyawan
menjadi hal yang krusial tetapi sekaligus sebuah keniscayaan , karena
berbagai tantangan dan keterbatasan.
3. Kompetensi yang dibutuhkan pada setiap level manajemen memiliki
penekanan yang spesifik, yang akan memberi kontribusi bagi kemajuan
organisasi. Tiga tingkatan pada level manajemen yakni level eksekutif,
manajer/pimpinan dan karyawan. Pada tingkat pimpinan /eksekutif
diperlukan beberapa kompetensi , yakni (1) strategic thingking; (2)
change leadership dan (3) relationship management. Pada tingkat
40
manajer, kompetensi seperti: fleksibilitas, change implementation,
interpersonal understanding and empowering , Pada tingkat karyawan
diperlukan kualitas kompetensi seperti fleksibelitas; kompetensi
motivasi dan kemampuan untuk belajar, motivasi berprestasi,
kolaborasi, dan orientasi pelayanan kepada pelanggan.
4. Dalam Organisasi publik kompetensi lebih di orietasikan pada aspek
entrepreneurship,sensitivitas dan responsivitas , mempunyai wawasan
pengetahuan ( knowledge) , ketrampilan (skill) dan sikap perilaku
(attitude) yang relevan dengan visi,misi dan budaya kerja organisasi .
5. Karakteristik kompetensi dan keterkaitan penerapannya dengan seleksi,
perencanaan suksesi, pengembangan, sistem penghargaan dan
manajemen kinerja sangat membantu keberhasilan organisasi agar
tetap surveve dan berkembang.
41
DAFTAR PUSTAKA
Gilley. W.J and May Cunich, Ann, 2000, Beyond the Learning
Organization: Creating a Culture Growth and Development Through
State of the Art Human Resource Practice. Perseus Book, USA.
Janszen, Felix, 2000, The Age of inovation. Pearson Education Limited,
Great Britain.
Mitrani, A, Daziel, M. And Fitt, D. ,1992, Competency Based Human
Resource Mangement: Valua-Driven Strategies for Recruitmen,
Development and Reward; Kogan Page Limited: London
Spencer, M. Lyle and Spencer, M. Signe ,1993, Competence at Work
Modelas for Superrior Performance, John Wily & Son, Inc, New
York, USA.
Tangkilisan, Hessel Nogi.S, 2005, Manajemen Publik, Jakarta, Gramedia
Widiasara Indonesia.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001, Birokrasi dalam
Polemik,Yogyakarta,Pustaka Pelajar.
42
M a k a l a h
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2007
43
KATA PENGANTAR
Makalah ini menyajikan uraian tentang bagaimana
membangun jiwa kewirausahaan dalam tubuh birokrasi yang nota
bene memiliki karakteristik yang spesifik. Dewasa ini
entrepreneurship menjadi sebuah kebutuhan bagi para personel,
karena hampir semua jenis organisasi besar berhubungan dengan
pengelolaan resources (sumber-sumberdaya) dari mulai input
menjadi output organisasi yang dengan menerapkan prinsip-prinsip
birokrasi modern .
Perkembangan birokrasi di Indonesia dalam menjalankan
misinya, kini masih sangat mekanistik dan cenderung lebih
mengorientasikan pada produktivitas yang bersifat materialistik
sehingga menimbulkan dehumanisasi.
Model organisasi humanistis sebagai model alternatif, lebih
mengedapankan nilai kualitas dan eksisten seorang yang dilihat
dari segi kemanfaatannya, kompetensinya, profesionalitas dan
komitmennya pada kemajuan organisasi daripada sebagai mesin
produksi dalam pencapaian tujuan organisasi semata. Dengan
demikian nilai-nilai humanis haruslah menjadi nilai yang inherent
dalam pengembangan organisasi birokrasi ke depan.
Dalam penyusunan makalah ini , kendatipun penulis telah
berupaya secara maksimal, tentu masih jauh dari sempurna. Kritik
dan saran yang bersifat membangun akan sangat bermamfaat .
Semoga bermamfaat.
Bandung, Agustus 2007
Penulis
44
! " # $ % &
' (
) *
45
MEMBANGUN ENTREPRENEURSHIP
MENUJU BIROKRASI HUMANISTIK
1. Pendahuluan.
Salah satu kualitas sumberdaya birokrasi yang dituntut
dalam good governance adalah kualitas entreprenerial yang dapat
menjembatani antara negara (state) dengan civil society dan pasar .
Karena dalam pengaturan pemerintahan yang baik memungkinkan
layanan publik yang efisien, berkinerja organisasi ynagn tinggi
dengan menggunakan sumberdaya secara optimal sesuai dengan
nilai-nilai humanistik.
Intrepreneurship adalah kemampuan yang kuat untuk
berkarya dengan semangat kemandirian termasuk keberanian untuk
mengambil resiko usaha dan meminimalisasi resiko tersebut menjadi
keuntungan. Pada saat sekarang, entrepreneurship menjadi
kebutuhan bagi para personel, karena hampir semua jenis organisasi
besar berhubungan dengan pengelolaan input menjadi output
organisasi yang diselenggarakan dengana menggunakan prinsipprinsip
organisasi, efektivitas dan produktivitas.
Entrepreneurship terjemahan dari istilah Prancis yang
kemudian diterima dalam bahasa Inggris maupun Indonesia, yaitu
entrepreneur, yang mengandung arti sebagai a person in effective
control of commercial undertaking. Istilah entrepreneur, menurut
46
Burch (1986) , dimaksudkan sebagai seseorang yang tidak hanya
menjalankan atau memimpin suatu perusahaan dengan baik,
melainkan seseorang yang berani mengambil inisiatif guna
mengembanagkan dan memajukan usahanya dengan menggunakan
atau bahkan menciptakan lapangan-lapangan kerja baru. Dalam
rangka tindakannya itu, ia sudah harus memperhitungkan resiko
dengan cerma. Beberapa asas entrepreneurship, menurut Burch,
antara lain dikemukakan sebagai kemampuan berpikir dan bertindak
kreatif dan inovatif, bekerja secara teliti, tekun, dana produktif.
Jiwa-jiwa inilah yang dapat mengantarkan individuke dalam
pengambilan peran dalam berkarya dan mengendalikan sumbersumber
yang dimiliki (resources) ke dalam proses produktif.
Dalam konteks kelahirannya, jiwa entrepreneurship ini lebih
banyak dibutuhkan kalangan industriawan dan bisnisman, atau
bahkan untuk usaha mandiri perseorangan, dan tidak untuk
organisasi dan pegawai publik, seperti pegawai pemerintah. Namun
pada perkembangan sekarang ini, sektor pemerintahan seharunya
juga mengambil peran aktif dalam pengelolaan bidang-bidang bisnis
baik secara langsung maupun melalui kerja sama mereka dengan
para pengusaha. Bahkan adalah keniscayaan bagi negara (pegawai),
dalam negara yang sumberdaya alamnya melimpah dan luas bidang
sektornya untuk mengoptimalisasikan secara efisien untuk sebesarbesarnya
kemakmuran masyarakat.
47
Sebagaimana dikatakan Peter Drucker (1999) dalam The sage
of Management Theory, “The most entreprenurial, innovative
people be have like the worst time surving bureaucrat of power
hungry politicion six month after they have taken over the
management of public service institution. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa semua orang mungkin menjadi seorang
entrepeneur jika organisasinya menyelenggarakan sistem
manajemen entrepreneurship. Sebaliknya hampir semua
entrepreneur dapat berubah menjadi seorang birokrat organisasinya
menyelenggarakankebiasaan birokratik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jiwa
entrepreneurship amat dipengaruhi model organisasinya.
Sebelumnya , peran organisasi publik dan pegawai pemerintah lebih
diasumsikan untuk melayani masyarakat (public service), dengan
sedikit meninggalkan orientasi input. Namun sekarang pemerintah
daerah disyaratkan untuk memikirkan input-input dalam rangka
memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) dengan
mengoptimalisasikan semua sumberdaya alam, lingkungan,
teknologi dan sumberdaya manusia yanag ada.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa organisasi
pemerintahan yang akan datang membutuhkan nilai
entrepreneurship ke dalam sistem manajemennya. Dalam kaitan
tersebut, adalah niscaya dibutuhkan jiwa entrepreneurship yang
positif sesuai dengan aturan-aturan kelembagaan dalam
48
melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, termasuk
di dalamnya mencari input-input yang sah dalam rangka
memperkuat organisasi daerahnya. Beberapa kebijakan pemerintah
yang diajukan pada dekade ini berupa otonomi daerah, eselonisasi
bupati, deregulasi investasi di daerah, pemangkasan pngutan non-
Perda dan kebijakan stream-linning aparatur di tingkat pusat
menunjukkan pentingnya pengembangan kelembagaan struktur
birokrasi yang ada.
2. Tantangan Birokrasi Indonesia
Perkembangan manajemen pemerintahan di Indonesia dan
juga para aparatur negara masih belum menampakkan pergeseran ke
arah kondisi tantangan luar (erxternal challenges) berupa
perkembangan sistem komunikasi, teknologi dan pendekatanpendekatan
baru dalam pemerintahan. Hal ini lebih terasa pada level
pemerintahan menengah ke bawah di mana persepsi tentang
aparatur birokrasi adalah warga yang status tinggi dan harus
memperoleh penghargaan yang sewajarnya dari masyarakat yang
dipimpinnya masih melekat kuar.
Tidak dapat dipungkiri sebagian besar jumlah pegawai kita
terutama di tingkat menengah ke bawah adalah mereka yang
memiliki pengalaman dan masa pengabdian yang lama daripada
mereka yang memiliki pendidikan yang memadai dalam rangka
mengisi dan mengembangkan metode pendekatan baru dalam
49
pembangunan. Oleh sebab itu, ditengarai bahwa pegawai kita yang
jumlahnya besar itu kurang bisa amenyesuaikan diri dengan
perkembangan di sekitarnya.
Dwight Waldo, ahli administrasi dan manajemen memberi
gambaran tentang pentingnya manajemen modern yang dipakai
sebagai sistem penyanagga dari semakin meningkatnya tuntutan
akan pelayanan publik (public services) pada negara-negara yang
sedang berkembang yang akan datang. Waldo mengingatkan, bahwa
dalam perkembangan sekarang, para pengelola negara mesti
mempunyai dan mengembangkan visi-visi baru pelayanan kepada
masyarakat—visi aparatur modern—yang mendukung meluas dan
kompleksnya tuntutan internal dan eksternal organisasi publik
maupun bisnis. Dwight Waldo (1980, 70) menulis, willy-nilly;
administration is every one concern, if we wish to survive, we have
batter be intellegent about it.
Dalam tahap sekarang, perubahan budaya-budaya sosial, tidak
saja terjadi pada masyarakat bisnis, juga pada masyarakat publik
(birokrasi). Di samping itu gaya penampilan (performance) dari
aparatur birokrasi modern telah sampai pada tuntutan sebagai
aparatur modern yang siap mendukung semakin kompleksnya
masyarakat ‘yang diperintah’ . Visi baru itu menyangkut tiga hal/
Pertama, their doing, yaitu cara kerja mereka; Kedua, kapasitas
yang menyangkut skil and attitude; dan Ketika, wawasan
50
pemerintahan yang luas yang menyangkut pendekatan (approahes)
baru dalam merumuskan dan memecahkan masalah.
Pada saat berbagai item pembangunan dipacu dengan cepat,
laju komunikasi dan transportasi yang tak terkirakan (the
unprecedented speed of communiation and transportation),
meningkatnya tensi-tensi politik dalam negeri serta kompleksitas
masyarakat, maka para aparatur negara dalam birokrasi dihadapkan
tantangan baru dalam era birokrasi modern. Yang dimaksudkan
dengan birokrasi modern ialah birokrasi di mana nuansa kerja dan
orientasinya berdasarkan kaidah-kaidah organisasi modern yang tak
saja mekanistis (sesuai prosedur) melainkan yang organis—adaptis
(saxena, Bennis), 1969), yaitu organisasi birokrasi yang lebih
terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas aparat, mempunyai
hubungan yang lebih longgar dan terbuka.
Demikian pula ahli birokrasi dan komunikasi, Adam Ibrahim
Indrawijaya mengutip tulisan Wendell French menyebutkan
“Organization development refers to cope with changes in it’s
external environment…..”. Dalam kaitan tersebut dibutuhkan orangorang
yang mendukung organisasi yang berubah menuju modern
tersebut .
Dalam rangka untuk mendukung keanadalan organisasi yang
modern dibutuhkan 3 hal: (1) Personel yang mempunyai dalam
jumlah yang cukup; (2) Sarana dan sistem yang mendukung
51
(enabling system); dan (3) Komitmen baru dan tradisi birokrasi yang
berwawasan kerakyatan. Sebagaimana dikatakan Douglas Yetes
(1982) saat membahas tentang birokrasi dan demokrasi untuk
pemerintah AS, menyangsikan ketemunya dua nuansa keluwesan
dana kepastian dalam birokrasi (Sintesa No. 10 th. 2 1994).
Secara teoritis untuk memacu (racing) kemajuan yang
demikian pesat, birokrasi seharusnya dapat mengimbangi
perkembangan praktik-praktik yang menjadi tanggung jawabnya.
Persyaratan pokok agar bisa mengimbangi perkembangan
masyarakat adalah penekanan pada aparat birokrasi untuk dapat
mengatasi atau memperbaiki proses dan struktur birokrasi yang
secara aslinya (an sich) kaku rigid. Apabila kelemahan proses yang
rigid tersebut tidak diimbangi oleh nuansa prkarsa aparat yang lebih
bebas (self qrowth) tentu akan terjadi lack antara teori dan praktek
birokrasi semestinya.
Dalam kaitannya dengan perana sistem administrasi negara
ini, ada beberapa hambatan pada sistem yang perlu dihilangkan agar
pembangunan kualitas manusia dapat terlaksana dengan baik.
Hambatan paling utama adalah semakin lestarinya rutinisasi tugastugas
pembangunan serta penekanan yang terlalu berlebihan pada
pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada pejabat atasan dan
penilaiana prestasi kerja petugas pelaksana atas dasar keberhasilan
dalam mencapai target.
52
Secara garis besar hambatan-hambatan pada sistem
administrasi pembangunan bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni:
hambatan proses dan hambatan orientasi (Saxena, 1986: 49).
Hambatan proses mencakup baik aspek prosedur dan struktur.
Birokratisasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan
pembangunan telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat
hirarkis dan legalistik, sehingga prosedur lebih bertujuan untuk
memenuhi tuntutan struktur daripada manfaat. Fleksibilitas dan
arus komunikasi yang lancar, yang amat diperlukan dalam
penyelenggaraan program pembangunan menjadi terhambat, dan
dalam birokrasi pembangunan yang luar biasa besarnya di
Indonesia, prosedur menjadi amat kaku dan lamban. Yang lebih
parah, prosedur yang mencekik ini ditumpangi kepentingan pribadi
dan dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk keuntungan
pribadi maupun kelompok.
Peranan birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan dalam
pengelolaan program pembangunan juga telah menimbulkan etos
kerja yang memaksa para aparat untuk mempertahankan status quo.
Sifat yang menonjol adalah semangat untuk mempertahankan
keadaan dan kurang mkementingkan kemajuan yang identik dengan
perubahan yang terus menerus. Orientasi status quo ini tumbuh
sangat subur dalam suatu sistem administrasi yang kmenggunakan
prinsip kemampuan pencapaian target atau delapan sukses dan
akuntabilitas kepada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi sebagai
53
dasar penilaian prestasi kerja pejabat bawahan. Untuk merubah
orientasi ini diperlukan tak sekedar modifikasi dalam prosedur
pertanggungjawaban kepada pejabat atasan dan pengurangan kontrol
pemerintah pusat terhadap sumberdaya dan pelayanan di daerah.
Dalam kaitan ini wewenanag yang lebih bear perlu diberikan kepada
lembaga perwakilan rakyat di daerah untuk mengawasi pelaksanaan
pembangunan.
Kelemahan-kelemahan proses maupun orientasi yang terdapat
pada sistem administrasi ini, menyebabkan semakin kerasnya
tuntutan akan adanya upaya intervensi baik berupa debirokratisasi,
deregulasi, privatisasi maupun peningkatan kapasitas birokrasi
pemerintah agar organisasi ini mampu mengelola pembangunan
kualitas manusia. Bagaimana struktur organisasi yang mampu untuk
merangsang partisipasi yang merupakan syarat mutlak bagi
pembangunan kualitas manusia? Dalam melaksanakan tugas-tugas
pembangunan sebagai upaya peningkatan kapasitas, sifat-sifat
birokrasi pemerintah yang stabil-mekanisnistis tak mungkin
dihilangkan keseluruhan. Sifat tersebut hanya dapat dikurangi dan
diganti dengan organisasi yang lebih bersifat organis-adaptif
(Saxena, ibid; dan Bernnis; 1969), yaitu organisasi yang lebih
terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas, serta mampu
melaksanakannya. Struktur birokrasi yang organi-adaptif ini
mempunyai mpola hubungan yang lebih longgar dan terbuka
terhadap pengaruh dari luar. Partisipasi dalam perumusan tujuan
54
menjadi lebih besar sehingga terbuka kesempatan yang luas untuk
keterlibatan dari bawah (bottom-up) maupun dari atas (top-down).
Selain bentuk organisasi yang organis-adaptif, perlu juga
diadakan distribusi kekuasaan dan sumberdaya. Dengan kata lain,
suatu peningkatan sentralisasi yang memadai adalah syarat yang
diperlukan demi keberhasilan pembangunan kualitas manusia.
Dalam hal ini ada perbedaan yang jelas antara national-building dan
pembangunan. Dalam pembinaan nation-building sentralisasi
kekuasaan memang diperlukan. Dalam tahap pembangunan ini,
sentralisasi yang berlebihan harus segera ditinggalkan untuk diganti
dengan desentralisasi, yakni penyerahan fungsi, fungsi perencanaan,
pengelolaan dan pengendalian pembangunan secara bertahap kepada
daerah dan masyarakat.
Perubahan-perubahan pada birokrasi pemerintah sendiri
sebenarnya tidak akan terjadi terlepas dari kondisi lingkungan.
Karena dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini
diperlukan suatu prasyarat mutlak, yakni kemungkinan setiap
aparatur meningkatkan kapasitasnya. Peningkatan kemampuan
aparatur ini akan memungkinkan mereka untuk membantu
menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam
pembangunan.
3. Menuju Birokrasi Humanis
55
Pemahaman mengenai model birokrasi di era selanjutnya
menjadi sangat penting sejalan dengan pergeseran pusat perhatian
terhadap masalah-masalah di sekitar peningkatan kualitas kehidupan
politik menyertai sukses-sukses pembangunan ekonomi telah
dicapai. Bahwa sosok birokrasi sekarang ini masih menampilkan
karakteristik patrimonial adalah realitas benang sejarah yang perlu
dicermati secara hati-hati. Model birokrasi tradisional dan kolonial
yang paternalistik cenderung mengalami esistensi sampai sekarang,
dan kadang-kadang mengambil bentuk ekspresi yang baru (neotradisional).
Hal ini menjadi persoalan, di mana tuntutan kualitas
kehidupan politik menghendaki adanya desentralisasi dan partisipasi
arus bawah yang lebih luas. Di samping itu, pengembangan untuk
memodernisasi birokrasi menuntut adanya peningkatan kualitas
administrasi dan manajemen. Namun prinsip-prinsip seperti
pendelegasian wewenang, pengembangan profesionalisme, dan
pengembangan sumbersya aparat, terhambat oleh kecenderungan
praktek-praktek patrimonial yang masih menonjol, seperti tercermin
dalam sistem rekruitmen pada jajaran birokrasi.
Kehadiran birokrasi di tengah-tengah masyarakat politik
merupakan conditio sine qua non. Yang menjadi persoalan adalah
sentralisasi dan konsentrasi peran birokrasi dalam berbagai sektor
kehidupan masyarakat dan negara. Dalam kondisi demikian,
birokrasi menjadi tidak fungsional lagi untuk melayani kepentingan
masyarakat. Birokrasi sering memperlihatkan dirinya sebagai tuan
56
atau bos yang berwewenang mengatur, mengendalikan, dana
mengontrol politik rakyat.
Padahal jika dilihat dalam konteks hubungan kekuasan,
birokrasi pada dasarnya merupakan mata rantai yang
menghubungkan pemerintah dengan rakyatnya. Birokrasi pada
dasarnya merupakan alat pemerintah yang bekerja untuk
kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam posisi demikian,
maka tugas birokrasi adalah merealisasikan setiap kebijakan
pemerintah dalam pencapaian kepentingan masyarakat. Sebagai alat
pemerintah, jelas birokrasi tidak mungkin netral dari pengaruh
pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak
memiliki kemandirian. Justru karena tugasnya sebagai alat
pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat inilah, maka
diperlukan kemandirian birokrasi. Di sinilah letak seninya aparat
birokrasi itu. Seperti dicitrakan dalam konsep “Hegelian
Bureaucracy”, birokrasi seharusnya menempatkan dirinya sebagai
mediating agent, jembatan antara kepentingan masyarakat dengan
kepentingan pemerintah.
Kemandirian birokrasi bisa dijelaskan dengan adanya
netralitas pengaruh pemerintah, meski ia adalah alat bagi
pemerintah. Tolok ukurnya ialah sejauh mana birokrasi bisa
berpihak pada kepentingan masyarakat dan melalayni masyarakat.
Dengan demikian, dalam ketidaknetralannya tersebut, birokrasi
tetap memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan
57
masyarakat secara keseluruhan. Ia menempatkan dirinya lebih
sebagai abdi masyarakat daripada abdi negara, atau setidaknya ada
keseimbangan antara keduanya.
Dalam hubungannya dengan sistem politik, bangun ideal
birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan adalah, bahwa
birokrasi haruslah apolitis, dalam pengertian bahwa tugasnya
melayani masyarakat secara keseluruhan harus dibebaskan dari
pengaruh interest tertentu pemerintah selalku pemberi tugas. Dalam
pengertian ini, kehadiran birokrasi seharusnya tidak mencitrakan
diri sebagai new political power (kekuatan politik baru) dalam peta
politik yang ada. Lebih-lebih jika kemudian menobatkan diri secara
meyakinkan sebagai gurita politik yang mendominasi seluruh
perikehidupan politik.
Sementara itu, untruk mengikis pengaruh minor neotradisionalisme
birokrasi, maka hal yang penting dalam birokrasi
adalah suatu transformasi budaya birokrasi yang mewarisi semangat
kerajaan dan kolonial menuju budaya birokrasi modern yang organi
adaptif yang dikehendaki adalah birokrasi yang terbuka terhadapa
gagasan inovatif, peka terhadap perubahan-perubahan
lingkungannya, penekanan pada peningkatan produktivitas,
profesionalisme, pelayanan dan peningkatan kualitas sumberdaya
aparatnya.Model birokrasi demikian seperti dutulis Saxena akan
kenyal terhadap gonangan dana ketidakpastian yang melanda
lingkungannya. Berbeda dengan model Weber yang terkesan
58
mekanistis dalam model organis-adaptif ini pola hubungan antar
jenjang hierarki relatif lebih longgar tidak terkungkung pada
prosedur-prosedur administratif yang formalistis, sementara itu
unsur-unsur dalam sistem birokrasi mempunyai peluang untuk
berhubungan dengan pihak luar. Tujuan dan nilai-nilai akan
diserasikan sehingga birokrasi menjadi sebuah institusi yang terus
menerus mencari hal-hal baru, menyesauikan diri dengan
perkembangan, dan selalu belajar dari pengalaman masa lalu.
Karakteristik baru ditujukan ke arah kemampuan memecahkan
masalah-masalah secara efektif dan daya inovatif. Nilai-nilai sentral
yang ditanamkan adalah: efektif, efisien, etos profesional, sifat-sifat
adaptif, responsif serta keberanian untuk mengambil resiko.
Partisipasi dalam proses perumkusan tujuana melebar dan
keterlibatan aparat birokrasi berlangsung dari bawah ke atas
(bottom up) maupun sebaliknya (topdown).
Dengan demikian, model organis-adaptif ini merupakan
model alternatif terhadap upaya transformasi nilai-nilai neotradisionalisme
birokrasi menuju ide-ide modernisasi birokrasi
dengan mengacu pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia.
Model organis adaptif ini sekaligus mendobrak model modernisasi
legal-rasional ala Weberian yang terkesan mekanistis. Dalam
model kemanistis ini, nilai seorang lebih dilihat dari segi
kemanfaatannya, sehingga nilai-nilai manusia seringkali tidak
ditempatkan secara proporsional. Hakekat manusia sering
59
mengalami degradasi menjadi sekedar pemaksimum manfaat (utility
maximizer) atau menjadi mesin pencapaian tujuan belaka. Manusia
kehilangan otonomi dalam menentukan pilihannya untuk
beraktualisasi, dan pada gilirannya mengalami proses dehumanisasi.
Proses dehumanisasijelas tidak sesuai dengan ide pengembangan
kualitas sumberdaya manusia dan demokratisasi. Karenanya nilainilai
humanis haruslah menjadi nilai yang inherent dalam model
birokrasi organis adaptif.
Para penganjur humanis organisasi seperti McGregor,
Golembiewski, Argyris, Morgan, Bryan and White, soedjatmoko,
Korten dan lainnya, dengan satu dan lain formasi telah
menempatkan dimensi manusia sebagai titik sentral konstruksi
pemikiran mereka. Unsur-unsur paling inti dari nilai human ini
dapat dirumuskan dalam tiga nilai inti, ialah: kesejahteraan hidup,
harga diri, dana kebebasan.
Dimensi humanistis tidak dapat diwujudkan jika ketiga nilai
human itu selalu ditawar dan ditundukkan pada nilai-nilai lainnya
atas nama modernisasi atau rasionalitas. Kebebasan dan harga diri
merupakan landasan untuk menciptakan kondisi kelestarian
pertumbuhan potensi manusia. Tidak ada sumber harga diri yang
begitu asasinya bagi perkembangan manusia, seperti rasa mandiri
dan rasa percaya diri, tidak saja untuk mencukupi kebutuhan diri
sendiri tetapi juga untuk menyumbang dan melayani orang lain dan
masyarakat. Akhirnya, secara ringkas dapat disimpulkan, bahwa
60
model birokrasi yang harus dibangun untuk menjawab persoalan di
era berikut adalah yang mempunyai karakteritik organis adaptif,
apolitis, netral, berorientasi pada pelayanan, mempunyai sifat-sifat
seperti dicitrakan dalam konsep hegelian bureaucracy.
4. Penutup.
Dari apa yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, ada
beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan:
1. Organisasi pemerintahan yang akan datang membutuhkan
nilai entrepreneurship ke dalam sistem manajemennya
sesuai dengan aturan-aturan kelembagaan dalam
melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat,
termasuk di dalamnya mencari input-input yang sah dalam
rangka memperkuat organisasi daerahnya.
2. Perubahan sosial budaya, tidak saja terjadi pada masyarakat
bisnis, juga pada masyarakat publik (birokrasi). Di samping
itu gaya penampilan (performance) dari aparatur birokrasi
modern telah sampai pada tuntutan sebagai aparatur modern
yang siap mendukung semakin kompleksnya masyarakat
‘yang diperintah’ . Visi baru itu menyangkut tiga ha utama
,meliputi cara kerja aparat ; kapasitas yang menyangkut
skil and attitude; dan wawasan pemerintahan yang luas yang
menyangkut pendekatan (approahes) baru dalam
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik
61
3. Dalam hubungannya dengan sistem politik, model ideal
birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan seyogyanya
birokrasi haruslah apolitis. Ini berarti bahwa tugas melayani
masyarakat secara keseluruhan harus dibebaskan dari
pengaruh interest tertentu pemerintah selaku regulator,
sehingga kehadiran birokrasi tidak mencitrakan diri sebagai
new political power (kekuatan politik baru) dalam peta
politik yang ada.
4. Model organis-adaptif merupakan model alternatif
terhadap upaya transformasi nilai-nilai neo-tradisionalisme
birokrasi menuju ide-ide modernisasi birokrasi dengan
mengacu pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia.
Model organis adaptif ini sekaligus mendobrak model
modernisasi legal-rasional ala Weberian yang terkesan
mekanistis. Model organisasi humanistis lebih
mengedapankan nilai kualitas dan eksisten seorang yang
dilihat dari segi kemanfaatannya, kompetensinya,
profesionalitas dan komitmennya pada kemajuan organisasi
daripada sebagai mesin produksi dalam pencapaian tujuan
organisasi semata. Dengan demikian nilai-nilai humanis
haruslah menjadi nilai yang inherent dalam pengembangan
organisasi birokrasi ke depan.
62
DAFTAR PUSTAKA
Burch, G. John, 1986, Entrepreneurship, John Wiley and Sons.
Inc.
Drucker , Peter ,1999 , The sage of Management Theory, London:
Heinemann.
Indrawijaya, Adam Ibrahim,1989, Perubahan dan Pengembangan
Organisasi,Bandung, Sinar Baru.
Kumorotomo, Wahyudi, 2004, Etika Admisitrasi Negara, Jakarta,
Radja Grapindo Persada.
Osborne,David and Ted Gaebler, 1993, Reinventing Government :
How the Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public
Sector, USA : A Plume Book.
Tjokrowinoto, Moelyarto, 2001, Birokrasi dalam Polemik,
Yogyakarta,Pustaka Pelajar.
Waldo, Dwight, 1980, The Interprise of Public Administration,
California Chandler & Sharp Published Inc.
======
Makalah
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2008
KATA PENGANTAR ................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................ ii
1 Pendahuluan ............................................................. 1
2. Pengertian Pelayanan Publik dan Tipe Budaya
Organisasi ............................................................... 2
3. Budaya Kinerja dalam organisasi Publik ................... 6
4. Kelemahan Budaya kinerja Pelayanan Publik............ 8
5. Upaya dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. 14
6. Penutup.................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................. 17
............................................. i DAFTAR ISI .............................................................. ii 1. PENDAHULUAN ................................................ 1 2. KONTRIBUSI PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA... 4 3. EKSISTENSI KUALITAS MANUSIA BERMULTIDIMENSI ............................................ 8 4. STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA .............................................................. 11 5. PENUTUP .............................................................. 13 DAFTAR PUSTAKA .................................................. 14 STRATEGI PENGEMBANGAN 102 SUMBER DAYA MANUSIA DALAM ERA KOMPETISI 1. PENDAHULUAN Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) merupakan salah satu faktor determinan yang banyak mendapat perhatian dari banyak kalangan terutama di kalangan organisasi bisnis maupun publik. Bagi kalangan perusahaan (organisasi bisnis) Sumber Daya Manusia (SDM) umumnya sebagai “sumber daya pemacu produktivitas” dalam memenangkan persaingan global. Seperti diketahui globalisasi bukan lagi merupakan isue ,tapi sebuah realita yang harus dipandang sebagai sebuah keniscayaan yang disadari atau tidak pasti akan mempengaruhi terhadap tantangan yang dihadapi organisasi manapun. Tantangan yang dihadapi adalah dengan tingkat ketidakpastian lingkungan organisasi semakin tinggi, masalah kualitas SDM menjadi suatu hal yang sangat dibutuhkan. Dalam konsep pembangunan SDM, pembangunan Indonesia ke depan diarahkan kepada pembangunan manusia seutuhnya. Hal ini berarti bahwa, kualitas SDM ini dapat diukur dari seberapa jauh SDM yang ada dapat berdaya manfaat bagi lingkungan organisasi baik secara internal maupun eksternal yang bersifat simbiose mutualistik . Mengingat pentingnya peran pengembangan SDM dalam organisasi (perusahaan) agar tetap dapat survive dalam iklim 103 persaingan bebas tanpa, maka “peran manajemen SDM tidak lagi hanya tanggungjawab para pegawai atau karyawan ,tapi merupakan tanggungjawab pimpinan/para manajer” (Riva’i, 2004:5) Dalam konsep perspektif makro organisasi, organisasi dipandang sebagai sub sistem dari lingkungannya. Menurut konsep ini kemampuan daya tahan organisasi ditentukan oleh seberapa jauh organisasi dapat mengantisipasi dan mengadaptasikan dirinya terhadap lingkungan luarnya (eksternal). Di era global yang semakin terbuka ini, Indonesia akan menghadapi lingkungan yang semakin tajam dan selalu berubah. Karakteristik lingkungan yang serba tidak pasti ini bagi Indonesia merupakan “ancaman” dan sekaligus “peluang”. Hal ini menuntut kepekaan terhadap perubahan-perubahan eksternal tersebut. Djiwandono (1993) secara spesifik menyebutkan bahwa daya kepekaan ini terutama untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di negara-negara yang banyak mengadakan hubungan dagang dan keuangan serta permodalan dengan Indonesia, maupun negaranegara yang karena posisinya memang berpengaruh besar terhadap hubungan ekonomi-moneter dan perdagangan dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang dan kawasan ASEAN. Kondisi kritis yang dihadapi bangsa Indonesia yang melanda tahun 80-an dapat menjadi pelajaran yang cukup berarti, seperti turunnya harga komoditi primer, khususnya harga Migas dan resesi dunia tampak sekali melandasi “kerentanan” sumber daya ASEAN 104 termasuk Indonesia (Pangestu, 1992). Krisis ekonomi ini meskipun dalam banyak hal telah “menghancurkan” kegiatan usaha dalam negeri tetapi tampaknya telah membawa hikmah bagi kebijaksanaan pemerintah. Sebagian besar negara-negara ASEAN mengambil berbagai langkah perbaikan ekonomi dengan mendorong diversifikasi ekspor komoditi primer ke barang-barang manufaktur, meningkatkan efisiensi dengan memasukkan kekuatan-kekuatan bersaing serta lebih membuka perekonomian negara tersebut. Umumnya dapat diidentifikasi ada banyak faktor yang ikut mempengaruhi keberhasilan sasaran sebuah organisasi, seperti faktor struktur, teknologi, dan lingkungan. Namun pada hakikatnya kekuatan daya tahan organisasi tertumpu pada SDM nya. SDM lah yang membentuk struktur dan memanfaatkan teknologi. Ada persyaratan penting untuk memastikan keberhasilan organisasi ini, yaitu pertama, setiap organisasi hendaknya mampu membina dan mempertahankan SDM yang mantap dan terampil, kedua, organisasi yang dapat menikmati prestasi dari SDM-nya, dan ketiga, organisasi yang dapat menjamin kepuasan dan kesejahteraan anggotanya. Secara sederhana SDM dalam organisasi/perusahaan dapat dipilih ke dalam tiga tingkatan, tingkatan pertama mewakili pimpinan puncak, tingkatan kedua mewakili pimpinan menengah, dan tingkatan ketiga mewakili pekerja. Dalam sebuah organisasi ketiga tingkatan ini mempunyai fungsi dan tanggung jawab berbeda. Pekerja sebagai SDM yang mewakili tingkatan ketiga merupakan 105 komponen sistem yang berfungsi melaksanakan kebijaksanaan yang diputuskan oleh tingkat di atasnya. Meningkatkan kualitas SDM dalam organisasi tentunya akan mencakup keseluruhan tingkatan ini. Dalam pengembangan SDM ada hal penting yang juga perlu mendapat perhatian yakni apakah dengan SDM yang berkualitas akan dengan serta merta akan meningkatkan kesejahteraan anggota organisasi khususnya pada karyawan staf maupun para manajer . Sebab peningkatan kualitas SDM tidak banyak berarti tanpa ada upaya untuk meningktakan kesejahteraan tanpa ada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Karena dengan SDM yang unggullah suatu organisasi/ perusahaan dapat meningkatkan produktifitas dan kinerjanya. 2. KONTRIBUSI PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA . Suatu studi yang dilakukan oleh Jagernson (dalam Susilo, 1995: 73) tentang sumbangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dari tahun 1848-1973 menemukan bahwa produktivitas tenaga kerja menduduki tempat pertama dibandingkan dengan modal dan teknologi dalam sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Dalam analisis lebih lanjut ditemukan bahwa faktor utama yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja adalah pendidikan. Berbagai hasil penelitian baik oleh Bank Dunia maupun Inkels, adalah memberikan bukti tentang nilai lamanya pendidikan terhadap peningkatan produktivitas tenaga 106 kerja.Kajian lebih lanjut dalam konteks pendidikan di Indonesia bisa jadi tidak selamanya selaras dengan peranan pendidikan di negara-negara maju. Kendati pendidikan sebagai sarana untuk menghasilkan SDM ,namun banyak pihak yang memandang ,bahwa produk pendidikan di Indonesia tidak begitu “match” dengan kebutuhan pasar kerja . Kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki seringkali tidak mencerminkan tingkat kemampuan yang memadai untuk bisa bersaing di pasar global. Menyadari pentingnya lembaga pendidikan sebagai alat “transformasi” SDM yang utama, maka pada masa sekarang isu yang sering muncul adalah bagaimana dunia pendidikan mampu menjawab tantangan dan sekaligus mengisi tekno struktur dunia kerja baik di sektor publik maupun bisnis. Berkaitan dengan hal tersebut ,maka perlu adanya penyesuaian-penyesuaian dalam bidang pendidikan untuk mengantisipasi perkembangan Iptek.Penyesuaian ini dapat menyangkut perubahan struktural, perubahan isi, perubahan peran pendidik , kegiatan-kegiatan pendidikan baru, dan perubahan dalam pengelolaan sistem pendidikan. Ada banyak faktor yang diperkirakan mempengaruhi perkembangan pendidikan ini. Faktor-faktor tersebut antara lain, demografi, ekonomi, dan hubungan internasional (Amijaya,1991).Dari sisi internal, berarti acuan yang perlu dilihat 107 berkaitan dengan mutu pendidikan itu sendiri. Sampai sekarang belum ada kesepakatan yang baku terhadap pengertian “mutu”. Bahasan yang sering dipakai untuk melihat indikator ini adalah mengenai korelasi kurikulum dengan dunia kerja. Soedijarto (dalam Susilo,1995:74) mencoba mempertimbangkannya dengan melihat hal-hal yang berkait dengan (1) tolok ukur indikator mutu pendidikan dan lembaga penanggung jawab, (2) kurikulum sebagai tolok ukur kerangka acuan dan motivasi pendidikan, dan (3) kualitas proses belajar dan sistem evaluasi sebagai determinan mutu pendidikan, serta (4) implikasi bagi perencanaan dan pengembangan kurikulum yang selaras. Secara teknis untuk menunjang keberhasilan, pendidikan di atas pada hakikatnya terdapat tiga fungsi sosial kependidikan yang mencakup antara lain: (1) fungsi untuk menyiapkan peserta didik menjadi warga negara yang “Berjiwa entrepreneur”, (2) fungsi untuk membekali peserta didik yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya dengan kemampuan dan keterampilan fungsional, dan (3) fungsi untuk membekali peserta didik untuk dapat melanjutkan pelajarannya.Ketiga fungsi sosial kependidikan ini menunjuk kepada pentingnya para perencana kurikulum untuk selalu melihat kecenderungan perkembangan masyarakat, negara dan dunia kerja. Gambar 1 Taksonomi keterkaitannya 108 Sumber: Levin, Henry M. 1976 The Limits of Educational Reform, New York: David McKay, Co., Inc. Dalam Soedjatmoko et. Al. Ibid hal 149. Dengan demikian pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk menambah pengetahuan, tetapi juga meningkatkan ketrampilan tenaga kerja, dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas kerja. Produktivitas kerja disamping dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat. 3. EKSISTENSI KUALITAS MANUSIA BERMULTIDIMENSI Kualitas dari organisasi seperti visi dan misi, strukturnya, sasarannya, outputnya, tergantung dari kualitas manusianya. Manusia sebagai sumber dari sifat, sikap, dan perilaku organisasi. Tanpa manusia, organisasi tidak pernah bersikap dan berperilaku. Manusia adalah roh dari organisasi. Secara fitrah manusia adalah makhluk yang paling unggul di atas segala makhluk. Struktur ekonomi (dunia kerja) dengan persyaratan Kualifikasi Tenaga Kerja dan Iptek PBM (Proses Belajar Mengajar) pada suatu lembaga pendidikan Sistem Nilai Sosbudpolhankamagama Kemampuan dan karakteristik lulusan Masyarakat/ Keluarga 109 Keunggulan manusia selain memiliki potensi koginiti (rasio) yang akan melahirkan daya berpikir,daya kritis dan analitis , juga afektif (rasa) yang akan melahirkan budi pekerti, moral dan psikomotorik ( performance) yang tercermin dari segi ketrampilan atau skill tertentu. Dari sisi lain dikatakan manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang berbudaya dan makhluk yang hidup dengan nilai-nilai norma, kembali pertanyaan kita: Sudah benarkah kenyataannya? Di sinilah titik masalahnya jika benar manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang berbudaya dan makhluk yang hidup dalam nilai-nilai norma berarti akan terjalinlah satu tali kasih antara sesama makhluk dan tali kasih antara makhluk dalam arti khusus adalah manusia dengan Pencipta maupun tali kasih antara manusia dengan alam sekitarnya yaitu flora dan fauna, sebab alampun termasuk jenis makhluk yang diciptakan oleh Pencipta untuk diatur dan dikelola manusia sebagai sarana kelangsungan hidupnya. Begitu juga di dalam sistem manajemen dalam sebuah organisasi. Manajer sebagai penguasa organisasi adalah sebagai pengatur, pembina dari anggota organisasi, oleh karenanya ia sebagai pusat kesetimbangan dari organisasi. Oleh karena itu manajer harus bisa memelihara, membina, dan mendidik sumber daya manusia ke arah perubahan yang lebih baik. Bila manajer dalam melakukan aktivitasnya hanya mementingkan nafsu dirinya 110 tanpa peduli dengan anggota organisasi struktur di bawahnya yang terjadi adalah gejolak, konflik, dan keresahan. Jadi jelaslah fokusnya bila kita menginginkan organisasi yang harmonis tanpa gejolak yang berarti , manajerlah pertama-tama yang dituntut terlebih dahulu kesadarannya. Bila kita berbicara tentang kesadaran maka kesadaran tidak dapat dilakukan dengan logika atau akal semata melainkan dengan sebuah rasa. Sebab munculnya gejolak dan kegoncangan dalam organisasi hanya dapat dirasakan barulah jalan keluarnya dengan pikiran (logika). Keterkaitan kesadaran adalah budi pekerti ataupun akhlak luhur dari manajer. Dan inilah panggilan jiwa dan tanggungjawab moral bagaimana setiap manager berusaha agar mampu melakukan anitisipasi dalam mengatasi adanya ketidakpuasaan dari pihak tertentu agar semua unsur dalam perusahaan merasa memiliki guna memacu kinerjanya. Secara normatif Manajemen dari sebuah organisasi menghendaki penataan terhadap potensi manusia yang cukup setimbang sempurna di antara anggota organisasi, struktur, dan lingkungan. Dengan demikian jangkauan manajemen disusun atas kepentingan bersama, yang saling mencintai sesama anggota organisasi, langkah-langkah bergerak aktif, berproses menerobos, dan berusaha mengatasi masalah-masalah organisasi yang mampu memberikan pemecahan tepat guna, yaitu manajemen yang sikap dan perilakunya tidak mengundang gugatan pihak kaum lemah. Atau 111 dengan kata lain manajemen yang selalu senantiasa memperhatikan nasib anggota organisasi sampai ke tingkat bawah. Yang terhimpun dalam organisasi adalah manusia-manusia yang beraneka ragam pendirian, keyakinan atau pendapat. Tugas manajer adalah mempersatukan perbedaan-perbedaan tersebut satu kesatuan pandang untuk menjangkau masalah-masalah organisasi yang mampu memecahkan masalah secara tepat guna. Sistem penghimpunan potensi ini diibaratkan jari-jari tangan yang berbeda panjang pendeknya tetapi melekat dalam satu kesatuan pada pangkal telapak tangan, yang di antara jari-jari tersebut saling kerjasama bahu membahu dan tidak pernah ada penindasan di antara yang lain. 4. STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA. P engembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) dalam organisasi pada dasarnya suatu bentuk usaha untuk meningkatkan daya tahan dan daya saing organisasi terhadap ancaman lingkungan eksternal dan suatu usaha untuk meningkatkan daya innovative untuk menciptakan peluang. Dengan demikian PSDM dalam organisasi merupakan bentuk usaha pengembangan yang bersifat integral, baik yang menyangkut SDM sebagai individu dan sebagai sistem, maupun organisasi sebagai wadah SDM untuk memenuhi kebutuhannya. Mondy & Noe ( 1995) menyebutkan bahwa: ”pengembangan sumberdaya manusia adalah sebagai upaya manajemen yang terencana dan dilakukan secara berkesinambungan 112 untuk meningkatkan kempetensi pekerja dan unjuk kerja organisasi melalui program pelatihan, pendidikan dan pengembangan.” Usaha PSDM yang integral ini, umumnya ada dasar yang direkomendasikan sebagai PSDM (Jons, 1981 dalam Sarwono, 1993). (1) Pelatihan bertujuan mengembangkan individu dalam bentuk peningkatan keterampilan, pengetahuan, dan sikap, (2) Pendidikan, bertujuan meningkatkan kemampuan kerjanya dalam arti luas, sifat pengembangan ini umumnya bersifat formal dan sering berkait dengan karier, (3) Program Pembinaan bertujuan mengatur dan membina manusia sebagai sub sistem organisasi melalui program-program perencanaan dan penilaian seperti manpower planning, performance appraisal, job analysis, job classification, dan sebagainya, (4) Recruitment, bertujuan mendapatkan SDM sesuai dengan kualifikasi kebutuhan organisasi dan sebagai salah satu alat bagi organisasi dalam pembaharuan dan pengembangan, (5) Perubahan sistem, bertujuan untuk menyesuaikan sistem dan prosedur organisasi, sebagai jawaban untuk mengantisipasi ancaman dan peluang faktor eksternal. Perubahan ini akan dipakai sebagai alat bagi SDM dalam meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerjanya, (6) Pengembangan organisasi, bertujuan untuk menjembatani perubahan-perubahan dan pengembangan baik dari sisi internal maupun eksternal. 113 Pengembangan SDM tidaklah dapat dilaksanakan secara sembarangan, mengingat pentingnya peran manusia dalam menunjang efektivitas organisasi dan mengingat masalah yang dapat timbul sehubungan dengan SDM itu. Menurut Sarwono (1993) pengelolaan SDM akan semakin rumit bila organisasi itu merupakan perusahaan yang memiliki aset besar, yang produktivitasnya tergantung pada efektivitas kerja para karyawannya. Ada hubungan timbal-balik yang berkait satu sama lain, antara pengembangan organisasi sebagai sistem dan pengembangan manusia sebagai sumber daya. Kualitas organisasi ditentukan oleh SDM-nya, dan PSDM-nya ditentukan oleh tingkat pertumbuhan dan perubahan organisasinya. 3. Penutup Kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia, mempunyai posisi yang sangat dibutuhkan dalam upaya menjembatani perkembangan dunia yang semakin transparan dan global. Untuk itu perlu ada strategi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, yang mengarah pada pembangunan sumber daya manusia yang seutuhnya baik pembangunan dalam bidang jasmani maupun rohani. 2. Hal itu dilakukan melalui proses pendidikan,pelatihan dan pembinaan serta menciptakan kondisi yang dibangun oleh setiap manajer dalam suatu organisasi baik bisnis maupun organisasi publik secara terstruktur dan profesional. 114 3. Pendekatan mutu modal manusia (human capital quality ) menekankan fngsi manusia (karyawan) sebagai faktor produksi yang amat penting selain modal finansial, teknologi , material. Lemahnya kemampuan mutu SDM akan membawa implikasi pada proses produksi , daya kreasi dan keberlangsungan suatu organisasi dalam menghadapi era kompeteisi dan tantangan masa global. 115 DAFTAR PUSTAKA Mondy ,R.W & Noe III,RM,1995,Human Resource Management, Massahusetts, Allyn & Bacon Pangestu, Mari, 1993, Perekonomian Asia Timur, Jakarta, Prisma No.4 th. XXII. Riva’i, Veithzal, 2004, Manajemen Sumberdaya Manusia untuk Perusahaan : dari teori ke praktek, Jakarta ,RadjaGrapindo Persada. Sarwono, Salito, 1993, Sumberdaya Manusia kunci Sukses Organisasi, Jakata ,Lembaga Manajemen Univeristas Indoensia. Soedjatmoko, 1991, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, Jakarta Gramedia. Susilo , Heru 1995, Mencari Starategi Pengembangan Sumberdaya manusia dalam Organisasi ,Malang ,FIA Unibraw dan IKIP Malang. Usmara, A (ed) , 2002, Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, Amara books. === 116 PERANAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DALAM PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA M a k a l a h Disusun Oleh : H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERISTAS PADJADJARAN 2007 117 KATA PENGANTAR Tema yang diangkat dalam makalah ini adalah tentang “Peranan Pendidikan dan Pelatihan dalam pengembangan Sumberdaya Manusia’. Pendidikan dan pelatihan sebagai salah satu instrumen yang dapat meningkatkan pengembangan SDM dirasa amat penting keberadaannya, mengingat masih banyak rendahnya mutu SDM kita dibandingkan dengan negara –negara lain. Di tengah-tengah berbagai sumber kekuatan atau berbagai jenis potensi untuk program yang mengandung potensi untuk menimbulkan perubahan organisasi, maka isu kritisnya adalah seberapa kuat stimulan yang bersumber dari peraturan dan program pendidikan dan pelatihan mampu berperan sebagai “pemicu” dalam perubahan organisasi atau pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Kebijakan tentang prioritas pembangunan Indonesia mengorientasikan pada : “Pembangunan sumber daya manusia agar makin meningkat kualitasnya sehingga dapat mendukung pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dengan pendidikan nasional yang makin merata dan bermutu, disertai peningkatan dan perluasan pendidikan keahlian yang dibutuhkan berbagai bidang pembangunan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi yang makin mantap”. Dalam pembinaan personil selanjutnya, pimpinan perlu mengembangkan strategi self management bagi personil yang telah selesai mengikuti pendidikan dan pelatihan, supaya mereka mampu menyelesaikan pekerjaan sendiri, melalui tanggung jawabnya bertindak melalui manipulasi peristiwa internal dan eksternal. Demikian makalah yang penulis susun, semoga dapat melengkapi bahan kajian yang telah disusun oleh para penulis lainnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Bandung, Mei 2007 Penulis. 118 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................ i DAFTAR ISI ............................................................ ii 1. PENDAHULUAN ............................................... 1 2. ANALISIS SWOT DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA ............................... 3 3. KUALIFIKASI SDM YANG DIPERLUKAN MASA DEPAN ..................................................... 9 4. STRATEGI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN SDM ..................................... 11 5. KESIMPULAN .................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA ................................................. 21 119 PERANAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA 1. PENDAHULUAN Pengaruh perkembangann sains dan teknologi dalam berbagai kehidupan semakin meningkat, terutama karena desakan tuntutan masyarakat baik di level lokal,nasonal maupun global. Untuk menyesuaikan dan mengantisipasi pengaruh tersebut diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Berkaitan dengan hal tersebut, pembangunan nasional Indonesia saat inipun memerlukan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Personil yang telah ada sebagian besar masih belum mampu menyelesaikan pekerjaan pada jenjangnya masing-masing. Oleh sebab itu sasaran umum Pembangunan Jangka Panjang Kedua untuk menciptakan kualitas manusia dan kualitas masyarakat merupakan keputusan strategis yang seyogayanya diimplementasikan dalam berbagai sektor Pemerintahan. Pengelolaan sumber daya manusia tidak hanya terpusat pada kegiatan seleksi, penempatan, pengupahan, pelatihan, transfer, promosi serta berbagai tindakan lainnya, yang fokusnya adalah pada kepentingan organisasi kerja. Tugas utama dari pengelolaan sumber 120 daya seringkali hanya mengusahakan agar personil dapat bekerja secara efektif. Perhatian yang terlampau terpusat pada kepentingan organisasi kerja cenderung disertai pengbaian hak-hak mereka untuk diperlakukan secara manusiawi. Strategi pembangunan yang manusiawi, bukan saja memperhitungkan peningkatan kualitas sumber daya manusia, dikenal dengan istilah strategi pengembangan sumber daya manusia atau human resources development. Tapi dalam artian yang luas pengembangan sumber daya manusia terutama meliputi pendidikan dan pelatihan, peningkatan kesehatan manusiawi, yang menyegarkan dalam organisasi, dan pertemuan ilmiah seperti seminar, simposium perlu untuk ditingkatkan. Ciri yang konkrit dari program pendidikan dan pelatihan dalam peningkatan mutu unjuk kerja personil selalu berkembang, karena kebutuhan organisasi kerja dan masyarakat selalu berubah.Kekuatan potensial yang dapat menimbulkan perubahan adalah yang saling berkaitan. Namun kegagalan bisa terjadi manakala saling tumbang tindih yang satu dengan yang lain, maka mungkin saja program pendidikan dan pelatihasn merupakan salah satu bentuk secara sengaja, tidak mampu menimbulkan perubahan yang substansial dalam rangka suatu rekayasa. Penelaahan seperti ini adalah tidak memadai apabila analisisnya terbatas pada efisiensi dan efektivitas internal sebagai sebuah program dengan sistem tertutup. Persoalan akan terungkap lebih jelas, jika dianalisis pula faktor eksternal, terutama faktor 121 organisasi kerja dalam mendayagunakan personil yang telah melalui proses pendidikan dan pelatihan. Di tengah-tengah berbagai sumber kekuatan atau berbagai jenis potensi untuk program yang mengandung potensi untuk menimbulkan perubahan organisasi, maka isu kritisnya adalah seberapa kuat impuls yang bersumber dari peraturan dan program pendidikan dan pelatihan yang mampu berperan sebagai “pemicu” dalam perubahan organisasi atau pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 2. ANALISIS SWOT DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA . Dalam pengembangan SDM banyak faktor yang mempengaruhi terhadap keberhasilan maupun kegagalan dalam meningkatkan kinerja organisasi. Berbagai analisis yang digunakan dimaksudkan untuk melakukan telaah terhadap berbagai situasi atau keadaan lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal. Salah satu instrumen penting mengantisiapsi situasi dan kondisi perlu menggunakan analisis SWOT seperti yang ditegaskan oleh Hunger dan Wheelen, “The factor are most importance to the corporation’s future are refered to as strategic factors and summarized with the acronym S.W.O.T, standing for Strength, 122 Weaknesses, Oppotunities, and Threats (Hunger dan Wheelen, 1993:12). Analisis SWOT mengembangkan strength (kekuatan), weaknesses (kelemahan), oppotunities (kesempatan), dan threats (ancaman). Pendekatan ini berusaha mengembangkan kekuatankekuatan dan kelemahan-kelemahan internal organisasi (Looking In), dengan memperhatikan kesempatan-kesempatan dan ancamanancaman yang ada dari lingkungan eksternal (Looking Out). Dalam makalah ini dibicarakan khusus yang berkenaan dengan Sumber Daya Manusia di Lingkungan Pemerintahan. Komponen tersebut akan dibahas berikut ini satu per satu. 1. Kekuatan ( Strength ) Faktor yang menjadi kekuatan dalam pengembangan dan pembinaan SDM adalah setiap kebijakan yang diputuskan pemerintah baik dalam bentuk Program Pembanguan Jangka Menengah Nasional , maupun UU dan Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai pedoman bagi pada pelaksana di lapangan . Prioritas pembangunan yang berkaiktan dengan SDM adalah bahwa: “Pembangunan sumber daya manusia agar makin meningkat kualitasnya sehingga dapat mendukung pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dengan pendidikan nasional yang makin merata dan bermutu, disertai peningkatan dan perluasan 123 pendidikan keahlian yang dibutuhkan berbagai bidang pembangunan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi yang makin mantap”. Di Indonesia telah diadakan berbagai pendidikan dan pelatihan dari berbagai bidang atau profesi dengan maksud meningkatkan ketrampilan, pengetahuan dan profesionalisme pegawai agar diperoleh kinerja yang optimal. Mutu unjuk kerja personil setelah bertugas kembali menunjukkan kemampuan menyelesaikan tugas dengan rasa percaya diri yang cukup tinggi. Dengan demikian kita telah memiliki kekuatankekuatan berupa peraturan pendukung, sejumlah personil yang telah dilatih, dan ketrampilan kompetitif yang baik. 2. Kelemahan ( weaknesses) Dalam pengembangan dan pembinaan Aparatur Negara masih ditemui sistem manajemen yang belum efisien dan efektif. Di antara kelemahan atau kendala yang dihadapi (U. Husna, 1995) adalah: a) Pengkajian mutu unjuk kerja personil di lingkungan Pemerintah Kabupaten/kota yang baru sampai pada taraf melakukan investarisasi pendidikan kedinasan yang telah diikuti personil dan memberikan rekomendasi untuk mengikuti seleksi pendidikan dan pelatihan berikutnya. b) Mutu unjuk kerja personil yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagian masih rendah karena masih terdapat keraguan dalam menyelesaikan tugas. Mereka memerlukan penambahan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan jabatannya. Perilaku personil setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan tidak seluruhnya dapat memberikan kontribusi untuk pengembangan organisasi. 124 c) Persiapan Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan tidak melibatkan seluruh penatar atau instruktur. d) Asumsi panitia tentang kemampuan penatar dalam memahami silabus berakibat proses belajar mengajar tidak seluruhnya menarik perhatian peserta dalam mencapai tujuan. e) Penyediaan fasilitas dalam memberikan pelayanan kepada learners terlebih-lebih pada saat peralatan terbatas belum terlaksana dengan baik. f) Substansi Kurikulum belum menyentuh seluruh kebutuhan organisasi dan pertumbuhan kepribadian peserta. g) Metode yang dipergunakan dalam melaksanakan proses belajar mengajar dalam persepsi peserta belum dapat membangkitkan keakraban emosional dan memberikan kepercayaan intelektual. walupun demikian prosesnya telah diupyakan disesuaikan dengan keadaan lapangan. h) KKPRK tidak seluruhnya dapat dijadikan pedoman untuk memonitor tugas setelah mereka kembali, karena belum tentu menduduki posisi seperti yang direncanakan KKPRK. i) Pelaporan peserta setelah mengikuti pendidiikan dan pelatihan belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk mementau kegiatan mereka. j) Pertimbangan dalam Penempatan Personil baru dilakukan bila ada formasi. k) Desiminasi alumni yang tidak proporsional menyulitkan penempatan personil sesuai dengan kebutuhan organisasi. l) Pembinaan personil di lingkungan Pemerintah Daerah mengalami benturan peraturan.Pembinaan Personil seringkali hanya ditujukan kepada personil yang menunjukkan keinginan untuk tumbuh dan berkembang. Adapun dari sisi manajemen pembelajaran , dapat dilihat dari kelemahan , al.: a) Masih melemahnya koordinasi dalam penyusunan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan, dan pengendalian sehingga mengakibatkan kurang adanya konsistensi dan keterpaduan yang menyulitkan pencapaian tingkat daya guna dan produktivitas yang optimal. b) Kendala kelembagaan adalah belum dapat berfungsinya secara efektif dan efisien beberapa satuan organisasi dalam aparatur 125 pemerintah; belum tertatanya pembagian tugas dan wewenang antar instansi vertikal di daerah dengan dinas daerah sehingga pelaksanaan urusan pembangunan di daerah masih ada yang tumpang tindih serta kurang mendorong pelaksanaan otonomi daerah yang bertitik berat pada tingkat II. c) Masih melemahnya kualitas pegawai dan administrasi kepegawaian negeri seperti antara lain kecilnya persentase tenaga sarjana dan jumlah peserta pendidikan dan pelatihan dalam formasi kepegawaian. Demikian pula, program dan penyelenggaraan diklat yang belum memadai dan terencana baik, serta belum sepenuhnya dikaitkan secara taat azas dengan kebijaksanaan pengembangan karier. d) Dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, perilaku aparatur belum sepenuhnya menunjukkan semangat melayani, mengayomi dan bersikap terbuka. 3. Kesempatan ( opportunities ) Perkembagan dunia semakin terbuka yang memerlukan kepekaan bagaimana memamfaatkan berbagai peluang yang ada. Ada sebuah pandangan yang menyatakan bahwa peluang yang terbuka tidak memiliki fungsi apa-apa tanpa dapat memanfaatkannya secara pro aktif. Kesempatan-kesempatan yang ada dapat dipetik dari ekspansi global adalah bagaimana kita mampu 126 mengakses berbagai informasi dunia yang dapat membantu mengembangkan SDM kita. Berbagai kegiatan yang berorientasi pada pengembangan SDM, baik dalam bentuk pendidikan,pelatihan, seminar ,workshop baik yang diselenggrakan lembaga pemerintah maupun non pemerintah memberi ruang gerak bagi setiap aparat maupun manajer untuk terus dapat meningkatkanb kalitas` sumber daya manusia. Kemampuan SDM kita dalam penguasaan Iptek memberikan kesempatan untuk merebut pasar dunia. Bahkan lulusan SDM kita dari luar negeri dan dalam negeri memberikan sponsor pendidikan dalam peningkatan mutu SDM. 4. Ancaman ( threats ) Ancaman yang utama dari luar adalah perkembangan Iptek, berupa arus teknologi komunikasi menghilangkan batas ruang dan waktu. Ketika memasuki pasar bebas, maka perlu antisipasi dampak negatif dari ekspansi tersebut. Hal ini akan terasa ketika terjadinya persaingan yang semakin tajam menghendaki produk maupun layanan harus berorientasi pasar . Pengaruh global bukan hanya berakibat tertinggalnya kita dalam teknologi tetapi akan mempengaruhi budaya bangsa. Adanya budaya kerja yang menghambat dapat mengakibatkan kurangnya kepercayaan para investor dan penyandang dana (donatur) terhadap pemerintah . 127 3. KUALIFIKASI SDM YANG DIPERLUKAN MASA DEPAN Tuntutan kebutuhan masyarakat yang akan datang ditandai dengan dominasi teknologi komunikasi, sebagian besar pekerjaan terletak pada sektor jasa dan informasi. Informasi merupakan kekuatan dan kekuasaan pada zaman pasca modern. Dunia sedang bergulat dalam masa transisi menuju ekonomi jasa. Teknologi komunikasi menghilangkan batas ruang dan waktu. Peristiwa yang terjadi di seluruh dunia mempengaruhi reaksi kita. Kita ikut terharu oleh mayat-mayat yang tertimpa bencana di belahan bumi yang lain. Jaringan telekomunikasi telepon, telek, faksimili, radio, televisi, komunikasi (gabungan komputer dan telekomunikasi), international network (internet) secara eksponensial memperbanyak frekuensi kontak kita. Pertukaran informasi di antara penduduk dunia berlangsung dengan cepat dalam jumlah yang banyak. Manusia harus bereaksi dengan cepat, padahal alternatif yang tersedia sangat beragam. Karena luasnya perubahan yang terjadi seluruh aspek kehidupan kita terpengaruh keluarga, pekerjaan, pendidikan, rekreasi, bahkan kehidupan beragam. Manusia dikatakan sehat secara psikologis bila dapat memberikan reaksi yang tepat pada lingkungannya, bila ia “well adjusted”. Kemampuan beradaptasi memberikan kesan bahwa ia mampu memahami dan mengendalikan lingkungan. Ia memiliki 128 ketrampilan dan memperlihatkan unjuk kerja yang optimal. Mutu unjuk kerja yang diharapkan adalah tercapainya tingkat kematangan dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada personil. Hersey dan Blanchard (1980:162) mengemukakan variasi kematangan seseorang ditinjau dari tanggung jawab sebagai berikut: (1) individuals who are neither willing nor able to take responsibility. (2) individuals who are willing but not able to take responsebility (3) individuals who are able but not willing to take responsibility, and (4) individuals who are able to take responsibility. Jadi tingkat kematangan seseorang yang memperlihatkan mutu unjuk kerja yang tinggi adalah mereka yang memiliki keinginan bertanggung jawab dan dapat bertanggung jawab. Kemudian ditegaskannya dua faktor kematangan yaitu, (1) “job maturity-ability and technical knowledge to do the task, and (2) psychological maturityfeling of self confidence and self respect about one self as and individual” (Hersey dan Blanchard, 1980:163). Jadi orang yang matang atau memperhatikan mutu unjuk kerja yang tinggi tidak hanya memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengerjakan tugas, tapi juga memiliki rasa kepercayaan pada diri sendiri dan merasa baik dari apa yang dilakukannya. Mampu mengadakan segala perubahan karena salah satu ciri kehidupan adalah perubahan. Mereka yang tidak mengikuti 129 perubahan zaman akan tinggal menjadi manusia yang konservatif dan menghalangi kemajuan. Personil yang memiliki mutu unjuk kerja tinggi akan lebih peka (sensitif) terhadap nilai-nilai yang sifatnya rohani atau spiritual, pertumbuhan kepribadian tidak menyimpang dengan norma. 4. STRATEGI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN SDM Untuk pembinaan serta pengembangan sumber daya manusia diperlukan suatu strategi tertentu, sehingga hasil yang diharapkan bisa tercapai. Henry Mintzberg yang menjelaskan bahwa, A strategy is the pattern or plan that integrates an organization’s gloals, policies, and action sequences into a cohesive whole. (Henry Mintzberg, 1982:5). Farky Gaffar menegaskan bahwa strategi adalah mekanisme organisasi yang menjabarkan visi secara operasional dan menterjemahkan kebijaksanaan dalam bentuk tindakan nyata. Strategi adalah cara yang tepat untuk melaksanakan kebijakan (1994:7). Strategi yang dapat ditempuh dalam pembinaan pengembangan SDM dalam manajemen dimulai dari pengkajian kebutuhan (need assesment) untuk suatu program, persiapan dan pelaksanaan pendidikan, evaluasi dan pembinaan untuk meningkatkan effisiensi dan efektivitas implementasi pendidikan dan pelatihan. Mengembangkan kerja sama dengan pihak pemakai untuk mendukung pelaksanaan pendidikan dan pelatihan merupakan 130 strategi yang cukup penting. Kegiatan tersebut akan dibahas satu persatu berikut ini. 1. Pengkajian Kebutuhan (Need Assesment) Salah satu kegiatan dalam pengkajian ini adalah mengkaji mutu unjuk kerja personil. Agar perencanaan pendidikan dan pelatihan mencapai sasaran, maka organisasi pemakai perlu mengkaji mutu unjuk kerja personil di lingkungannya secara komprehensif. Daniel L. Stufflebeam dkk (1985:6-7) mengemukakan beberapa definisi kebutuhan dalam mengkaji kebutuhan adalah sebagai berikut: Discrepancy view: A need is discrepancy between desired performance and observed or predicted performance”. Democratic view: A need is a charge desired by a mayority of some referance group. Analytic View: A need is direction in wich improvement can be predicted to accur, given information about current status. Diagnostic view: A need is something who absence or defiency proves harmfull. Kebutuhan akan pendidikan dan pelatihan bukan hanya dilakukan secara kuantitatif tapi perlu dilakukan secara komprehensif yakni dengan mengkaji dan menginventarisasi mutu unjuk kerja personil yang ada sekarang dengan yang seharusnya untuk mampu menyelesaikan pekerjaan. 2. Persiapan dan Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan memerlukan persiapan. Di antara persiapan itu adalah membuat kebijakan pertemuan 131 dengan penatar, membuat jadwal, mempersiapkan fasilitas proses belajar mengajar. Untuk membuat persiapan pendidikan dan pelatihan Diklat perlu mengadakan pertemuan dengan seluruh penatar. Kita tidak boleh berasumsi bahwa silabi sudah cukup memadai untuk pegangan menyampaikan materi. Pertemuan dengan seluruh penatar pada dasarnya untuk mencegah terlalu jauh menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan. Koordinasi di antara adanya pertemuan bersama semua gerak langkah terkoordinasi dengan baik. Dalam hal seperti ini perlu sikap hati-hati dalam membuat suatu asumsi seperti yang disarankan oleh Michael W. Apple (1995:153), “We should cautions of technical solutions to political problems. We should cautions about fine-sounding words that may not take account of daily lives of the people who work in this institutions”. Tantangan dalam pengembangan program dan pelaksanaan kurikulum adalah faktor penatar, panitia, dan sistem organisasi. Dalam kondisi seperti ini dituntut tanggungjawab pimpinan sebagai perancang program. “In dedigning profesional development programs for those responsible for instructions, instructional leaders should address the technical skills needed to develop and implement an outcome-based instructional system...” (Kathleen A. Fitzpatrick, 1995:127). Dari pembahasan di atas jelaslah bahwa kurikulum perlu diupayakan untuk dihubungkan dengan tugas personil di lapangan 132 yang menyangkut berbagai ketrampilan. Keterhubungan itu memang perlu diperhatikan dalam merancang kurikulum. Substansi Kurikulum perlu menyentuh seluruh kebutuhan organisasi dan pertumbuhan kepribadian peserta. Jika dilihat dari materi kurikulum, agar peserta mengalami perubahan yang mendasar sebagai aparat pemerintah, maka kurikulum seyogyanya secara substansi memuat tentang: tecnical skill, conceptual skill, human skill, political skill, dan personal growth. Ketrampilan teknis (technical skill) yaitu kemampuan untuk menggunakan alat-alat, prosedur dan teknik dari suatu bidang kegiatan tertentu. Ketrampilan manusiawi (human skill) yaitu kemampuan untuk bekerja dengan orang lain, memahami dan merancang serta mendorong orang lain. Orang lain itu termasuk bawahan. Ketrampilan konseptual (conceptual skill) adalah kemampuan mengkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh kepentingan dan kegiatan organisasi sehingga organisasi dapat dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Ketrampilan politis (Political skill) dimaksudkan adalah ketrampilan yang mampu memperoleh kekuatan untuk mencapai tujuan organisasi. Ketrampilan politis termasuk menentukan hubungan yang benar dan mempengaruhi orang yang benar. Ketrampilan politis termasuk memenangkan pengaruh dari orang lain, merebut kekuatan ataupun mempertahankan kekuatan. 133 Ketrampilan ini memungkinkan seorang untuk terus mengembangkan kariernya. “Recently, Pfeffer (1989) suggested that a political focus may be an important, yet overlook. persfective in understanding career success”. (Timothy A. Judge, 1994:44). Pertumbuhan kepribadian (personal growth) diharapkan tumbuh sikap yang positif terhadap keseluruhan tugas pengabdiannya, dan kedewasaan bertindak. Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang pemimpin. Penampilan untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi stafnya. Peserta sebagai input diasumsikan sudah memiliki (K) Knowledge: Pengetahuan, (S) Skill: Ketrampilan, dan (A) Atitude: Sikap. Setelah selesai mengikuti pendidikan diharapkan lebih menekankan pada perubahan Atitude (Sikap), setelah itu Skill (Ketrampilan), dan terakhir memiliki knowledge (pengetahuan). Upaya untuk menguasai KSA menjadi ASK tidak hanya dalam semboyan tapi diwujudkan dalam setiap penyampaian aspek kurikulum, dengan terintegratif dalam setiap proses belajar mengajar. Aspek tersebut memang tidak terlihat secara eksplisit dalam kurikulum, aspek tersebut seakan-akan tersembunyi di dalam setiap piranti, dan nyata hingga tidak perlu penyampaian secara monolitik. Performance instruktur mencakup aspek-aspek: a) Kemampuan profesional, b) Kemampuan sosial, c) Kemampuan 134 personal. Ketiga standar umum ini sering dijabarkan sebagai berikut: (Johnson, 1980). Kemampuan profesional seorang pelatih atau instruktur meliputi: (1) Penguasaan materi pelajaran yang terdiri dari bahan yang akan diajarkan, dan konsep dasar keilmuan dari bahan yang diajarkan itu: (2) Penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan; (3) Penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa. Kemampuan sosial menyangkut kemampuan menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai instruktur. Kemampuan personal (pribadi) mencakup: (1) Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai seorang pelatih beserta unsurunsurnya: (2) Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang instruktur: (3) Penampilan upaya untuk menjadikan dirinya panutan dan teladan bagi peserta latihan. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa profesi instruktur perlu mendapat pengakuan dan perlindungan hukum. Sehingga tidak semua orang mempunyai peluang untuk tampil menyelenggarakan proses belajar mengajar. Metode yang dipergunakan dalam melaksanakan proses belajar mengajar dalam persepsi peserta seyogyanya dapat membangkitkan keakraban emosional dan memberikan kepercayaan intelektual. 135 Evaluasi atau penilaian dilakukan pada dasarnya untuk mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilakukan, dalam upaya menyerap kurikulum yang telah ditetapkan. Dengan evaluasi dapat diektahui bagian kurikulum yang dapat dikembangkan terutama yang masih lemah. Evaluasi juga dapat mengetahui faktor penyebab kelemahan kurikulum dan proses belajar mengajar. Dengan demikian dapat diupayakan cara pemecahannya. 3. Penempatan dan peningkatan Kinerja Pegawai. Penempatan kembali personil setelah mengikuti pendidikan merupakan sebagai salah satu tindakan manajemen. Penempatan ini menunjukkan berbagai variasi. Ada di antara mereka yang dipromosikan atau ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari sebelum mengikuti pelatihan. Ada yang menempati posisi semula yang sama, dan ada pula yang dialihtugaskan pada posisi lain dengan eselon yang sama. Salah satu tugas Bagian Personalia adalah mengatur penempatan pegawai dan terus mengatur personil selama berada dalam organisasi. Prinsip yang dikembangan the right man on the right place , harus menjadi acuan bagaiaman menempatkan kembali pegawai yan telah mengikuti diktlat tersebut .Tentu harapan pegawai dapat ditempatkan sesuai dengan skill, ketrampilan dan kemampuan kerjanya. 136 Dalam pembinaan personil pimpinan perlu mengembangkan strategi self management bagi personil yang telah selesai mengikuti pendidikan dan pelatihan, supaya mereka mampu menyelesaikan pekerjaan sendiri, melalui tanggung jawabnya bertindak melalui manipulasi peristiwa internal dan eksternal. Mereka dapat mengubah dan mengembangkan perilakunya sesuai dengan potensi yang telah dimilikinya. Bahkan diharapkan mereka dapat komitmen dengan perilaku positif yang dicapainya. Nahoney & Arnkoff, menegaskan bahwa “The self management literature treats individuals as if they were isolated system, who sole task are those of observing their own behaviors, setting up cues and reimforcing and punishing themselves” (tsui, Ashford, 1974:96). Perubahan lingkungan terjadi karena adanya penyederhanaan dari hal-hal yang dipandang sangat kritis dalam organisasi. Organisasi perlu menyesuaikan diri, termasuk perubahan di lingkungan dan staf (Gutherie et-al, 1993:889). Pimpinan perlu memotivasi pegawai setelah Pendidikan dan Pelatihan, termasuk memperhatikan faktor yang sangat penting dalam peningkatan kualitas manusia adalah kesehatan personil dalam organisasi. Menjaga kesehatan personil dalam artian yang luas termasuk kesehatan lingkungan, dan mental merupakan upaya pembinaan sumber daya manusia. 137 Personil yang matang tanpa dukungan dan organisasi yang mapan juga tidak akan mendatangkan produtkivitas yang tinggi. Agar produktivitas organisasi semakin meningkat, maka penggunaan (deployment) pegawai setelah pelatihan perlu dilakukan secara tepat. 5. KESIMPULAN Pengembangan sumber daya manusia akan berjalan dengan efektif bila organisasi penyelenggaraan mengelolanya secara profesional. Salah satu upaya pengembangan SDM adalah pendidikan dan pelatihan. Untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan diperlukan suatu strategi. Strategi yang dapat ditempuh tetap mengacu pada mutu, di mana produk akhir diukur dan memenuhi standard tertentu. Standard bagi personil diukur dari kemampuan melaksanakan tugas sesuai dengan eselon tertentu. Mutu yang akan ditingkatkan adalah mutu unjuk kerja personil agar mereka lebih produktif dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggungjawabnya sekarang atau untuk masa yang akan datang. Upaya perbaikan mutu unjuk kerja yang tuntas perlu dilakukan secara terus menerus, mulai dari mengkaji mutu unjuk kerja, melaksanakan strategi pendidikan dan pelatihan, menempatkan kembali, mengevaluasi dan membina mutu unjuk kerja setelah selesai pendidikan dan pelatihan. Dalam mengkaji mutu unjuk kerja personil dilakukan kegiatan identifikasi mutu unjuk kerja personil dengan instrumen yang validitas dan 138 reliabilitasnya telah teruji, membuat kebijakan dan prioritas, menentukan program yang ditempuh. Lembaga pendidikan yang bertugas meningkatkan mutu unjuk kerja personil seyogyanya mempertimbangkan hasil kajian mutu unjuk kerja personil yang telah diperoleh, sebagai bahan pengayaan kurikulum. Kurikulum yang dipakai adalah koheren yang secara substantif mensikronisasikan kebutuhan individu dengan kebutuhan organisasi sebagai tujuan yang akan dicapai. Kurikulum, proses pendidikan dan pelatihan, dan evaluasi merupakan suatu sistem yang harus direncanakan secara strategis, sehingga dalam pelaksanaan tidak banyak mengalami benturan dan hambatan. Instruktur dan peserta merupakan komponen yang sangat menentukan. === 139 DAFTAR PUSTAKA Asmara, U. Husna, 1995, Permasalahan Sumberdaya Aparatur : Tinjauan dari Aspek Pendidikan dan Pelatihan, Pontianak, LAN dan Pemda Kalbar. Hersey ,Paul and Blanchard, Kennet.H, 1980, Management of Organizational Behavior, Utilizing Human Resources, New`Delhi , Prentice Hall of India Private Limited . Hunger,J. David dan Wheelen, Thomas L, 1993, Strategic Management, Addison Wesley Publishing Caompany,Inc. Judge, Timothy A & Robert D Bretz ,1994, Political Influence Behavior and Career Success, Journal of Management 20(1). Mintzberg, Henry and Brian Quinn James, 1992,The Stategy Process, Concepts and Contexts, New Jersey USA, Prentice Hall Inc. Nawawi, Hadari, 2001, Manajemen Sumberdaya Manusia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Nursanti, T.Desy, 2002, Strategi Teintegrasi Dalam Perencanaan SDM , dalam Usmara, A (ed), Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, Amara books. Riva’i, Veithzal, 2004, Manajemen Sumberdaya Manusia untuk Perusahaan : dari teori ke praktek, Jakarta ,RadjaGrapindo Persada. 140 " 1 " - - Materi disampaikan dalam kegiatan Pelatihan Administrasi Perkantoran Dinas Kesehatan Kota Cimahi 28 Juni 2007 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN 2007 141 KATA PENGANTAR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2006
162
KATA PENGANTAR
Sesuai dengan arah kebijakan Nasional pembangunan perdesaan yang
tercantum dalam Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 Bab 25 yaitu
:“Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan
kualitasnya, baik sebagai insan maupun sebagai sumberdaya pembangunan, serta
penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan
kerja sama untuk memperkuat posisi tawar” .
Strategi kebijakan pembangunan seperti ini mengorientasikan pada
community development memberi peluang terjadinya perubahan dalam tatanan
masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, peningkatan partisipasi dan
desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya yang
ada melalui pengembangan institusi lokal/desa sebagai wahana agar keberdayaan
masyarakat dalam pembangunan perdesaan dapat terwujud .
Pemberdayaan dapat ditumbuhkan melalui “proses belajar” yakni dengan
mengoptimalkan peran komunitas dalam proses pembangunan melalui pola
mekanisme dan jaringan kerja dengan berbagai stake holder terkait, sehingga
setiap perubahan kebijakan (desentralisasi) dapat diterima dan diaktualisasikan
kedalam realitas program.
Dalam kesemptan yang berbahagia ini, penulis ingin menyampaikan
kepada Pimpinan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisip Unpad dan seluruh
staf yang telah memberi keleluasan bagi penulis untuk menyelesaikan makalah
ini dengan sebaik-baiknya. Kiranya apa yang disajikan bermamfaat bagi
khalayak pembaca.
Bandung, September 2006
Penulis
163164 STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA 1. Pendahuluan . Salah satu masalah krusial di negara berkembang adalah pembangunan yang terlalu menekankan pada pertumbuhan (ekonomi). Strategi ini ternyata telah banyak mendapat kritik, karena tidak mampu menuntaskan munculnya masalah kemiskinan dan kesenjangan yang menahun (chronical poverty and inequity) dan tidak memberikan banyak kontribusi pada peningkatan kualitas dan kreasi masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan dalam melaksanakan pembangunan (Sumodiningrat, 1999: 4). Hal ini terbukti dari fakta, kendati aplikasinya didalam program dasawarsa pertama PBB sepanjang tahun 1950-an berhasil mengantarkan banyak dunia ketiga mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 5 % per tahun, memasuki dasawarsa 1960-an, pendekatan ini dianggap gagal mengangkat mayoritas penduduk di negara-negara tersebut dari masalah yang paling mendasar, yakni kemiskinan. Mereka mengakui bahwa efek tetesan ke bawah (trickle down effect) yakni terjadinya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat akan merembes dari "pusat" ke "pinggiran" (periphery), dari sektor modern ke sektor tradisional, dari perkotaan ke perdesaan ternyata sering tidak terjadi, malah sebaliknya yang terjadi adalah trickle up effect. (Arief, l998 : 5). Oleh karena itu perlunya perubahan strategi pembangunan yang mengorientasikan pada community development sehingga memberi peluang terjadinya perubahan dalam tatanan masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, 165 peningkatan partisipasi dan desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya dalam memacu pembangunan . Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik berdampak luas bukan hanya dalam tatanan politik , tapi juga sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Desentralisasi akan mempunyai makna bila pengelolaan otonomi daerah bergerak kedesa, memberikan sentuhan pemberdayaan melalui perbaikan pelayanan publik, membangkitkan prakarsa dan potensi lokal, membangun basis sosial di tingkat lokal dan juga memperkuat partisipasi masyarakat dalam urusan pemerintahan dan pembangunan. Upaya ke arah itu yaitu tentu tidak bisa dilakukan oleh orang perorangan dalam masyarakat secara parsial, tetapi harus dihimpun dalam suatu lembaga atau organisasi yang mampu merespon perubahan tersebut. Arah kebijakan Nasional pembangunan perdesaan sesuai Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 Bab 25 yaitu :“Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitasnya, baik sebagai insan maupun sebagai sumberdaya pembangunan, serta penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan kerja sama untuk memperkuat posisi tawar” . Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat untuk mampu dan berkembang secara mandiri sangat diperlukan dalam proses pembangunan, baik di tingkat nasional maupun tingkat perdesaan. Hal ini sejalan dengan dengan tantangan dalam pembangunan manusia di Indonesia dalam era reformasi, yakni ada 2 perubahan besar mempengaruhi perilaku 166 pembangunan dan menuntut perubahan paradigma pembangunan yang lebih sesuai, yakni : Pertama, adanya perubahan dari era otokratis menjadi demokratis, maka pemerintah dituntut untuk merubah dari yang sifatnya “provider” ke arah “enabler” yaitu pemerintah yang memberdayakan masyarakat, Kedua , adanya perubahan cara memerintah yang sebelumnya sentralisasi menjadi desentralisasi. (Menko Kesra RI, 2006: 8) . Sejalan dengan pemikiran tersebut, kebijakan desentralisasi sesungguhnya merupakan salah satu instrumen untuk melaksanakan transformasi sosial di berbagai tingkatan. Namun perubahan yang tengah berlangsung baik di tingkat nasional hingga tingkat desa, belum didukung oleh langkah-langkah strategi dan operasional secara komprehensif. Perubahan yang terjadi masih cenderung bersifat dipermukaan saja, belum menyentuh pada perubahan perspektif, sikap ,perilaku dan peran yang signifikan dari lembaga-lembaga pemerintah maupun masyarakat perdesaan. 2. Good Governance Tingkat Desa . Dalam konsep good governance, kini peran pemerintah (desa) bukan satusatunya lembaga yang berfungsi sebagai aktor utama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Karena setiap persoalan yang terjadi dalam proses pemerintahan maupun pembangunan tidak bisa dipecahkan oleh pemerintah semata. (Dwipayana, 2003: xv ). Pemerintah desa harus melakukan kerjasama sinergis dengan Pemerintah supra desa (Pemda,Pemerintah Pusat) maupun lembaga-lembaga selevel yakni Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dan lembaga desa lainnya yang harus dipandang sebagai mitra kerja dalam mempercepat proses pembangunan. Sebab inti 167 desentralisasi mendasarkan pada pemikiran bagaimana agar kekuasaan, kewenangan, tanggungjawab dan alokasi sumber-sumberdaya harus dibagi dan didayagunakan sampai ke level bawah (desa) . Hubungan pemerintah desa dengan masyarakat desa dalam onteks good governance seyogyanya tidak lagi bersifat vertikal (atasan bawahan) melainkan harus lebih b ersifat horizontal (Suwaryo, 2005 : 14). Pemerintah harus secara bertahap mengurangi intervensi yang berlebihan terhadap lembaga –lembaga desa , sehingga terdapat ruang dan gerak desa untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitasnya secara lebih leluasa. Lemahnya kemampuan lembaga di tingkat desa dalam mengadopsi nilainilai baru dan perubahan pola-pola kebijakan , pada gilirannya mengakibatkan terjadinya proses marginalisasi masyarakat desa yang berimplikasi terhadap tingkat keberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan. Dengan demikian perlu ada penguatan dan pengembangan lembaga desa agar bisa responsif terhadap tuntutan masyarakat dan pembangunan agar tetap survive. 3. Perubahan orientasi kebijakan . Bergulirnya reformasi telah membangkitkan semangat baru bagaimana kehidupan pemerintah masyarakat ditata kembali menjadi kehidupan yang lebih dinamis . Semangat desentralisasi sebagaimana tersurat dalam UU No 22/99 dan UU No. 32 tahun 2004 menunjukkan adanya pergeseran orientasi penyelenggaraan administrasi pembangunan dan manajemen pemerintahan. Ini berarti pada level suprastruktur, menghendaki adanya reformasi sistem pengelolaam pembangunan yang merubah fungsi dan peran birokrasi 168 pemerintah sebagai fasilitator, katalisator melalui pelayanan yang lebih berpihak pada masyarakat. Sedangkan pada level infra struktur (masyarakat) memberi ruang terhadap aktualisasi pelaksanaan dan pengembangan kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam menjabarkan, menerapkan dan menata kelembagaan lokal dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Hans Antlov (2002: 367) mengungkapkan bahwa: “ semangat UU No. 22 Tahun 1999 berbeda dengan yang dengan UU No. 5 tahun 1979 , dengan terang menyatakan (penjelasan umum) bahwa dasar pengaturan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang baru adalah amat memperhatikan aspek keragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”. Seiring dengan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat di tingkat nasional maupun global berimplikasi pada perubahan kebijakan sistem pemerintahan ,maka diperlukan suatu strategi atau arah kebijakan pembangunan yang bersifat terpadu yang pada dasarnya mempunyai tiga arah (Sumodingrat, 1999 : 191), yakni : Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran serta masyarakat. Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran serta masyarakat lokal Dengan strategi pembangunan tersebut dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. Perubahan struktur yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara terencana, yaitu yang menghasilkan harus menikmati, begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang menghasilkan. Proses ini diarahkan agar setiap upaya 169 pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building). Oleh karenanya, proses transformasi harus digerakkan oleh masyarakat sendiri dengan tetap memperhatikan kebijakan-kebijakan pemerintah. Strategi pembangunan ini memberi peluang terjadinya perubahan dalam tatanan masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, peningkatan partisipasi dan desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya yang ada melalui pengembangan institusi lokal/desa sebagai wahana agar keberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan dapat terwujud . 4. Strategi Pemberdayaan dalam pembangunan. Term “pemberdayaan” merupakan terjemahan dari kata empowerment, disamping kerap pula disebut dengan istilah “memberdayakan” (empower). Secara terminologi konsep pemberdayaan memiliki pengertian yang cukup beragam, ada yang menyebutkan bahwa pemberdayaan berarti memberi wewenang ,membangun power, kekuatan, kekuasaan atau daya (Cook dan Macauly, 1996 : 24), (Osborne dan Gaebler, 1993 : 49). Ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan “konsep mengenai kekuasaan (power), kekuasaan bukan hanya diartikan kekuasan politik dalam arti sempit, kekuasaan senantisa hadir dalam konteks relasi sosial dan organisasi”. (Suharto, 2005 : 57). Karenanya, konsep ini telah mengalami perkembangan dan sudah diterima secara meluas, sehingga tidak menutup kemungkinan istilah pemberdayaan memiliki pengertian dan persepsi yang berbeda satu dengan yang lain. 170 Pemberdayaan menunjukan pada kemampuan orang khususnya kelompok lemah, sehingga mereka memiliki kemampuan atau keberdayaan dalam : a. Memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan hanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, kemiskinan. b. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan. c. Berpartisiapsi dalam proses pembangunan dan keputusan yang mempengaruhi masa depannya. (Suharto, 2005 : 58). Dari penjelasan tadi, dapat dipahami bahwa pemberdayaan dapat dikatakan sebagai suatu “tujuan dan proses “(Suharto, 2005 : 59). Sebagai suatu tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan (sosial/organisasi), yaitu masyarakat yang berdaya memiliki kekuasaan (kemampuan/otoritas) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat sosial, ekonomi, politik maupun psikologis. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai suatu proses. Sebagai proses, pemberdayaan berarti serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan terutama kelompok lemah dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari 2 aspek penting yaitu : Pertama, pemberdayaan sebagai proses mengembangkan kemandirian, keswadayaan, memperkuat posisi (bargaining position) terhadap setiap keputusan atau kebijakan pemerintah. Kedua sebagai proses memfasilitasi masyarakat dalam memperoleh akses terhadap sumber-sumberdaya,memberikan ruang gerak dan memberi dorongan untuk tumbuh dan berkembangnya kreasi, partisipasi dalam mengatasi masalah yang dihadapi. 171 Pada setiap upaya pemberdayaan baik yang dilakukan pemerintah, dunia usaha maupun pihak yang peduli pada masyarakat, paling tidak harus memuat lima hal pokok yakni : “Adanya stimulan, peningkatan kualitas SDM, pembangunan prasarana dan pembangunan/pengembangan kelembagaan pedesaan”. (Sumodingrat, 1996 : 5). Pertama, memberdayakan melalui bantuan dalam bentuk dana sebagai stimulan bagi pengembangan program/proyek pembangunan. Dalam upaya ini, diperlukan masukan dana/stimulan dan bimbingan-bimbingan seperti penyusunan program, teknologi untuk memampukan dan memandirikan masyarakat perdesaan. Contoh upaya disini adalah program IDT, BBPPD, Kupedes, dan lain-lain . Kedua, dalam jangka yang lebih panjang meningkatkan kualitas sumber daya manusia perdesaan, agar memiliki dasar yang memadai untuk meningkatkan dan memperkuat produktivitas dan daya saing. Upaya ini sekurang-kurangnya harus meliputi tiga aspek, yaitu pendidikan, kesehatan dan gizi. Tiga aspek yang disebutkan tadi merupakan paramater tentang tingkatan Indek Pembangunan Manusia (Human Development Index) Ketiga, pembangunan prasarana. Dalam pembangunan prasarana perdesaan, keterlibatan masyarakat desa setempat harus diutamakan. Dengan mempercayakan pembangunan prasarana sederhana itu kepada masyarakat desa, akan diperoleh berbagai keuntungan, selain dimilikinya prasarana tadi, masyarakat desa juga memperoleh nilai tambah dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman dalam membangun proyek-proyek ,sehingga mereka juga memiliki sense of belonging. Bimbingan teknis yang diberikan oleh aparat teknis dapat memberi penguatan terhadap kelembagaan desa. 172 Keempat, pembangunan kelembagaan perdesaan teramat penting melalui pengembangan lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan desa agar pembangunan perdesaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar pada pemerintah desa dan masyarakat desa itu sendiri. Aparat desa harus mampu menampung aspirasi, menggali potensi, dan menggerakkan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan. Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa pemberdayaan dapat pula dipahami sebagai suatu proses dan juga output (hasil/keadaan) yang ingin dicapai. Proses yang dimaksudkan disini menurut Sulistiyani (2004 : 83) adalah proses belajar (learning process) dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap yaitu melalui : “1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku; 2. Tahap transformasi kemampuan; dan 3. Tahap peningkatan kemampuan pengetahuan”. 1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. Pada tahap ini pihak pemberdaya/aktor/pelaku pemberdayaan berusaha menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. dengan demikian masyarakat semakin terbuka dan merasa membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kondisi. 2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan, keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan 173 yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. 3. Tahap peningkatan kemampuan pengetahuan, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Kemandirian tersebut akan ditandai oleh kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan melakukan inovasi-inovasi di dalam pembangunan. Dalam kondisi seperti ini masyarakat seyogyanya didudukkan sudah terlibat aktif dalam pembangunan sebagai pelaku atau pemeran utama, pemerintah lebih berperan sebagai fisilitator. Namun dalam kemandirian tersebut, mereka masih perlu dilindungi supaya dapat terpupuk dan terpelihara dengan baik, dan selanjutnya dapat membentuk kedewasaan sikap masyarakat. Pemberdayaan sebagai sebuah alternatif dalam perkembangan konsep pembangunan untuk mencari solusi terhadap kegagalan model pembangunan yang telah diterapkan sebelumnya. Tentu dalam penerapannya diperlukan adaptasi dan modifikasi, agar lebih match dengan situasi dan lingkungan yang ada. Dalam kerangka itu, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui 3 strategi/ cara, yakni melalui : “Enabling, empowering & protection.” (Kartasasmina, 1996 : 23). Pertama, menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Setiap manusia dan masyarakat mempunyai potensi dan daya yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan upaya membangun daya dengan memotivasi dan membangkitkan kesadaran potensi yang dimiliki serta mengembangkannya. Dengan demikian 174 pemberdayaan merupakan proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekanan di segala bidang dan sektor kehidupan. Kedua, penguatan potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Penguatan ini melalui langkah-langkah nyata menyangkut penyediaan berbagai masukan serta membuka akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang membuat masyarakat makin berdaya. Upaya dan arah yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta akses ke sumber-sumber informasi dan pelayanan. Empowering juga berarti kemampuan penguatan pranata sosial ekonomi, pemantapan nilai-nilai budaya yang mampu mengintegrasikan kelembagaan dan peranan masyarakat. Kualitas peningkatan partisipasi terutama dalam proses pengambilan keputusan dan melakukan kolaborasi dengan stakeholder terkait. Dari sisi tersebut hendak mencapai suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirian melakukan voice, akses dan kontrol terhadap lingkungan, komunitas, sumber daya dan relasi sosial dengan negara/pemerintah. Ketiga, pemberdayaan bermakna melindungi (protection) dan keberpihakan terutama terhadap kelompok masyarakat miskin atau yang kurang berdaya, bagaimanapun juga sebagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya terbatas dan langka, melainkan ada problem struktural dalam bentuk ketimpangan, dominasi, hegemoni yang menimbulkan pembagian sumber daya secara tidak merata. Hal ini dilakukan dengan melakukan perlindungan dan pembelaan, agar mereka dapat hidup ditengah persaingan yang 175 semakin meluas. Pemberdayaan demikian dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat sasaran, menggunakan keterlibatan kelompok dalam programprogram pembangunan. Senada pemikiran tadi, pemberdayaan dapat dipahami dari berbagai perspektif yang dapat dikembangkan satu dengan lainnya saling terkait, pemberdayaan dapat dilihat dari perspektif sosial, politik dan psikologis (Friedmenn, 1992 : 33). Pendapat lain menyebutkan 4 perspektif pemberdayaan yakni pemberdayaan politik, ekonomi, sosial budaya dan pemberdayaan lingkungan. (Ndraha, 2000 -.80-81). Dari beberapa pendapat tadi dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, dari perspektif politik. Konsep sentral pemberdayaan adalah power (Hanna and Robinson, 1994 : xii). Pemberdayaan merupakan proses menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan politik, yakni kekuasaan yang dimiliki pemerintah atau negara yang dikonfrontasikan dengan rakyat atau masyarakat. Tidak dapat dipungkiri timbulnya kesenjangan, ketidakadilan, eksploitasi, kemiskinan terjadi akibat pemegang kekuasaan yang terlalu mendominasi seluruh sumber-sumberdaya untuk kepentingan dan kelanggengan para pemegang kekuasaan. Padahal rakyat dalam konteks demokrasi sebagai pemilik kedaulatan. Oleh karena itu, dengan pemberdayaan, rakyat yang tidak memiliki keberdayaan (kekuasaan) diberi power melalui empowerment. Paul (1987) menyebutkan pemberdayaan berarti “Equitable sharing of power” (pembagian kekuasaan yang adil), sehingga meningkatkan kesadaran politik dan 176 kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil pembangunan. Pemberdayaan berarti akses setiap individu/kelompok terhadap proses pembuatan keputusan, terhadap pusat-pusat kekuasaan yang dapat mempengaruhi tingkat “bargaining” dan kehidupan masa depan, melalui berbagai strategi, gerakan, maupun keterlibatan dalam proses kebijakan . Pemberdayaan Politik, bertujuan meningkatkan bargaining position yang diperintah terhadap pemerintah. Melalui bargaining tersebut, yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan dan kepedulian, tanpa merugikan orang lain. Kedua dari perspektif sosial. Pemberdayaan berarti menyangkut akses terhadap sumber-sumber informasi, partisipasi ,pengetahuan, ketrampilan,kecakapan, ,lembaga-lembaga sosial dan lembaga keuangan. Menurut Mayo and Craig (1995 : 5), Functionalist sociologist seperti Parsons mengkonseptualisasikan “power” dalam masyarakat sebagai sejumlah variabel (variable sum). Sesuai dengan perspektif ini, total power dalam masyarakat bukan merupakan sesuatu yang jadi (not fixed) melainkan sebagai variabel; power berada pada anggota masyarakat secara keseluruhan, dan power dapat bertambah, seperti masyarakat mencapai tujuan kolektifnya. Dalam logika seperti ini, pemberdayaan dari ketidakberdayaan dapat dicapai dalam keteraturan dan dinamisasi kehidupan masyarakat yang ada tanpa dampak negatif yang signifikan terhadap power yang besar. Pemberdayaan Sosial, bertujuan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (human invesment), penggunaan (human utilization) dan perlakuan seadil-adilnya terhadap manusia. 177 Ketiga, Pemberdayaan Ekonomi, dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan yang daya masyarakat dalam mengatasi dampak negatif pertumbuhan, pembayar resiko salah urus, pemikul beban pembangunan, kegagalan program. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, lebih banyak bertumpu pada kemampuan untuk meningkatkan daya beli atau pendapatan mereka melalui berbagai usaha produktif . Keempat, perspektif psikologis, yakni digambarkan rasa potensi individu (individual sense of potency) yang menunjukkan rasa percaya diri (Pranarka dan Tjokrowinoto, 1996 : 61). Pemberdayaan psikologis berarti berkembangnya motivasi, kreasi, rasa memiliki, kebersamaan, martabat dan harga diri manusia, hasrat dan kebebasan seseorang terhadap lingkungan yang mempengaruhi dirinya. Rasa potensi diri akan memberi pengaruh positif untuk meningkatkan kekuatan sosial politiknya. Suatu masyarakat yang berdaya berarti masyarakat mampu membangun dirinya sendiri (self development), menciptakan kelompok kerja yang dinamis (groups dynamics), dan merubah perilakunya (changing behavior) dengan meninggalkan kebiasaan yang lebih menguntungkan dalam melakukan kegiatan. 6. Penutup. Berdasarkan uraian sebelumnya dapatlah disimpulkan sebagai berikut: 1. Strategi pembangunan ini yang mengorientasikan pada community development memberi peluang terjadinya perubahan dalam tatanan masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, peningkatan partisipasi dan 178 desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya yang ada melalui pengembangan institusi lokal/desa sebagai wahana agar keberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan dapat terwujud . 2. Program-program pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat akan gagal manakala tidak diorientasikan pada pemihakan yang nyata kepada kelompok penduduk miskin , menciptakan kegiatan sosial ekonomi produktif yang lestari dalam wadah kelompok /lembaga yang ada. Kemudian penguatan lembaga sosial ekonomi dan pembinaan yang didasarkan pada azas pembelajaran . 3. Pemberdayaan masyarakat sebagai proses perubahan sikap, nilai, dan tindakan kearah kemandirian, dapat ditumbuhkan melalui “proses belajar” yakni dengan mengoptimalkan peran komunitas dalam proses pembangunan melalui pola mekanisme dan jaringan kerja dengan berbagai stake holder terkait, sehingga setiap perubahan kebijakan (desentralisasi) dapat diterima dan diaktualisasikan kedalam realitas program. 4. Pemberdayaan sebagai sebuah alternatif dalam perkembangan konsep pembangunan untuk mencari solusi terhadap kegagalan model pembangunan yang telah diterapkan sebelumnya. Dalam kerangka itu, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yakni melalui : “Enabling, empowering & protection.” Tentu dalam penerapannya diperlukan adaptasi dan modifikasi, agar lebih match dengan situasi dan lingkungan yang ada. 179 DAFTAR PUSTAKA Arief, Sritua, 1998, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Jakarta : CIDES. Cohen, John M. & Uphoff ,1977, Rural Development Participation : Concepts and Measures for Project Design, Implementation and Evaluation, New York, Ithaca : Cornell University. Craig,Gary and Mayo, 1993, Community Empowerment A Reader in Participation and Development, London,Zed Book Dwipayana, Ari AAGN dan Eko, Sutoro, 2003, Membangun Good Governance di Desa, Yogyakarta : IRE. Eko, Sutoro, 2004, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta : APMD Press. Friedmann, John., 1992, Empowerment : The Politics of Alternative Development, Cambridge : Blacwell. Hanna, M.G. and Robinson, 1994, Strategies for Community Empowerment : Direct-Action and Transformative Approaches to Social Change Practice, New York : The Edwin Mellen Press. Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan & Pemerataan), Jakarta : CIDES. Osborne, David & Gaebler ,1992, Reinventing Government, How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, New York : Addison Wesley Company. Prijono, Onny S, Pranarka (ed), 1996, Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta : Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Suharto, Edi, 2005, Membangun Masyarakat MemberdayakanRakyat : Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Bandung, Refika Aditama. Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan, Yogyakarta : Gava Media. Sumodiningrat, Gunawan ,1999, Pemberdayaan Masyarakat & JPS, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Suwaryo, Utang, 2005, Pergeseran Penyelenggaraan Pemerintahan dan Good Governance di Tingkat Desa, dalam Governance, Bandung : Puslit Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah LP Unpad. 180 Makalah dan Peraturan Perundangan Menko Kesejahteraan Rakyat RI , 2006, Sambutan pada Seminar Wokrshop Nasional: “Transformasi kebijakan Publik dan Bisnis dalam upaya Memecahkan Problem Kemiskinan di Indonesia, Kerjasama Fisip Unpar dan BKLP Ilmu Adm.se-Indonesia, Bandung. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta. Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa , Jakarta, CV Citra Utama. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional th. 2004- 2009, Jkt, Sinar Grafika . ==@@== 181 POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA M a k a l a h Disusun Oleh : H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS PADJADJARAN 2007 182 / # # $ # ( # "# # # # # 1 A * # # " $ / G ) # # # # " # # ' " # # # # # # @ A 0 ? 0 $ # "# # ' # 9 # # : # # " # # 0 "# # # @ " # # $ # ! # # # # # " 0 # L # F # # " ! # $ * +,,5 183 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................. i DAFTAR ISI .......................................................... ii 1. Pendahuluan .................................................. 1 2. Mencari Akar Politisasi Birokrasi ................... 3 3. Konsep Politisasi Birokrasi ............................. 6 4. Dampak Politisasi Birokrasi ............................ 11 5. Penutup ............................................................ 17 DAFTAR PUSTAKA .............................................. 19 184 POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA 1. Pendahuluan Berbicara tentang birokrasi sudah banyak dibahas oleh banyak pihak baik oleh para praktisi maupun teoriti . Birokrasi dalam keseharian kita selalu dimaknai sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya, semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani urusan orang banyak. Akibatnya, tidak heran jika kemudian muncul persepsi bahwa apa pun yang dilakukan oleh pemerintah adalah dalam rangka melayani kepentingan warga masyarakat melalui birokrasi tersebut. Pemaknaan terhadap birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas, tentu merupakan pemaknaan yang sifatnya idealis. Bahkan tak salah jika Max Weber memandang birokrasi sebagai organisasi yang rasional, suatu mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi dan juga sebagai suatu bentuk organisasi sosial yang memiliki ciri-ciri khas (Albrow, 1975). Tetapi, diakui atau tidak, pemaknaan yang ideal terhadap 185 fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi, tidaklah sepenuhnya bisa menjelaskan orientasi birokrasi di Indonesia. Perjalanan panjang kehidupan birokrasi di negeri ini, selalu saja ditandai oleh dominannya aspek politis di bawah komandi penguasa negara. Kasus birokrasi pada masa Orde Lama dan di masa Orde Baru pada dasarnya merupakan cermin dari kuatnya penguasa negara dalam mencengkeram tubuh birokrasi. Di era Orde reformasi kendati perintah tidak sekuat sebelumnya, namun tetap saja kekuasaan masih cukup dominan. Kehidupan birokrasi yang ditumpangi, atau bahkan didominasi muatan-muaan politis oleh penguasa negara, jelas menjadikan tujuan birokrasi melenceng dari arah yang semula dikehendaki. Performance birokrasi yang kental dengan aspekaspek politis inilah, yang pada gilirannya melahirkan stigma “politisasi birokrasi”. Akibat hal tersebut, orientasi pelayanan pulik yang semestinya dijalankan, menjadi bergeser ke arah orientasi yang sifatnya politis. Dalam kaiatan dengan pemilihan kepala daerah misalnya, bahwa peran birokrasi masih cukup mempengaruhi terhadap berbagai dukungan ,sehingga terkesan 186 adanya blok atau kelompok-kelompok pendukung calon A maupun calon lainnya, kendati tidak selalu muncul kepermukaan. 2. Mencari Akar Politisasi Birokrasi Dengan mengambil pelajaran berharga dari kekeliruan pemerintahan Orde Lama yang menempatkan “politik sebagai panglima”—namun terbukti gagal dalam membangun perekonomian bangsa--,pemerintahan Orde Baru meyakini bahwa hanya dengan menjadikan “ekonomi sebagai panglima”, perekonomian bangsa dapat ditata kembali. Alasan logis inilah yang pada akhirnya memaksa pemerintah Orde Baru untuk secara berani menempatkan Paradigma Pertumbuhan (growth paradigm) dalam melaksanakan pembangunan. Dipilihnya paradigma pertumbuhan sebagai kerangka acuan pembangunan, tentu bukan tanpa asumsi-asumsi yang rasional. Setidak-tidaknya menurut Tjokrowinoto (2001, 114) terdapat 3 asumsi yang mendasarinya. Pertama, kondisi ekonomi bangsa yang porak-poranda dan terbengkelai ketika Orde Lama berkuasa, menjadikan Orde Baru merasa perlu memperbaiki kehidupan perekonomian. Tujaunnya tentu saja agar ekonomi secara makro dapat pulih kembali, sehingga gagasan pembangunan bisa terealisasi. 187 Kedua, di saat stabilitas politik masih belum menentu. Paradigma Pertumbuhan diharapkan bisa menjadi senjata bagi dilaksanakannya konsep Trilogi Pembangunan (stabiolitas, pertumbuhan, dan pemerataan). Ketiga, pemerataan ekonomi adalah satu tujuan yang ingin dicapai setelah terlebih dahulu mengusahakan terciptanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan kata lain, cita-cita untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi diprioritaskan terlebih dahulu, baru kemudian merambah ke upaya pemerataan ekonomi. Namun dalam tatanan praktis, 3 asumsi rasional tersebut telah mengakibatkan munculnya ukuran-ukuran pembangunan yang sifatnya ekonomistik. Memilih strategi pertumbuhan seagai fokus pembangunan, jelas bukanlah kebijakan yang keliru. Paradigma Pertumbuhan yang tidak diperkirakan sebelumnya adalah ketidaksiapan pemerintah sendiri untuk menjalankan strategi pertumbuhan itu. Logikanya, strategi pertumbuhan sangatlah membutuhkan modal yang besar untuk melaksanakan pembangunan, sementara pada saat itu bangsa ini tengah mengidap krisis ekonomi yang parah. Ini artinya, pemerintah sangat membutuhkan modal bagi tereaalisasinya pembangunan, dan untuk itu menjadikan birokrasi sebagai alat memanjakan para pemilik modal adalah tawaran yang sulit dihindari. Besarnya hasrat penguasa negara untuk menjalankan strategi pertumbuhan, lagi-lagi telah menutup mata dan hatinya 188 bahwa kekuasaan itu pada hakekatnya haruslah bergulir teratur sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Keberhasilan menjalankan strategi pertumbuhan yang menekankan pembangunan ekonomi, semakin mengkondisikan pengusaha di bawah rezim otoriter untuk terus menumpukkan kekuasaannya. Dengan kata lain, pelanggengan kekuasaan adalah cita-cita pemerintah Orde Baru yang terus digelorakan. Akibatnya, praktis tidak ada lagi netralitas dari cara kerja birokrasi. Fakta inilah yang semakin memperjelas sosok politisi birokrasi yang sebenarnya. Jika kita sermati usaha-usaha pemerintah Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaannya, maka disitulah sebenarnya konsep politisasi birokrasi itu mulai tampak jelas. Birokrasi yang semestinya bertindak rasional seperti yang dijerlaskan Max Weber, oleh Orde baru dibelokkan menjadi bertindak secara irrasional. Ada 3 bentuk irrasionalitas birokrasi menurut Tjokrowinoto (2001: 117) yaitu Pertama, birokrasi bekerja bukan untuk melayani kepentingan publik , tapi ditujukan untuk melayani kepentingan para pengusaha dan pemilik modal. Kedua, birokrasi yang orientasi utamanya adalah pelayanan, 189 namun dibelokkan menjadi pengontrol berlakunya kebijakankebijakan netgara. Ketiga, birokrasi yang seharusnya netral di hadapan masyarakat, tapi justru berpihak kepada partai politik milik pemerintah. 3. Konsep Politisasi Birokrasi Birokrasi yang pada awalnya diidealkan sebagai institusi resmi yang tidak memihak, namun karena dimasuki oleh kepentingan partai politik, menjadi harus memihak. Birokrasi tak ubahnya sebuah kapal yang ke mana pun arah berlayarnya, sangat tergantung kepada kehendak politis sang nakhoda. Oleh karena itu, baik secara konseptual maupun operasional, tampaknya sulit untuk mengatakan bahwa birokrasi di indonesia memihak kepada kepentingan masyarakat banyak. Berkaca dari pengalaman Orde Baru dalam mengelola kehidupan birokrasinya, sebenarnya dapat diketahui bahwa politisasi birokrasi di masa itu sangatlah kental dengan upaya kooptasi penguasa negara terhadap institusi birokrasi. Konsep Bureaucratic-Polity yang pertama kali dikemukakan oleh Fred Riggs dalam melihat kehidupan birokrasi di Thailand, yang 190 kemudian digunakan pula oleh Harold Crouch(1980) , untuk melihat kasus birokrasi di indonesia, telah membuktikan kenyataan itu. Menurut Harold Crouch, Bureaucratic-Polity di indonesia mengandung 3 ciri utama. Pertama, Lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrari. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai politik dan secara timbal balik menguatkan birokrasi. Analisis ini menjelaskan kepada kita, bahwa kepentingan penguasa negara yanag diwakilkan lewat institusi mengalami penguatan bukan hanya karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga karena ketidakmampuan birokrasi sendiri untuk melepaskan diri dari cengkreraman penguasa negara. Jadi, meskipun politisasi birokrasi bukanlah semata-mata identik dengan upaya untuk mempolitiskan birokrasi, ia juga sarat dngan usaha untuk menciptakan 191 masyarakat yang buta akan politik dan birokrasi itu sendiri. Konsep Bureaucratic-:Polity sedikit banyaknya tentu berhubungan dengan hal ini. Ketidaktranparanan pengelolaan birokrasi kita, jelas teramat rentan bagi tidak sampainya misi pelayanan yang diemban oleh birokrasi. Apalagi untuk konteks indonesia, tingkat pendidikan politik masyarakat yang maasih tergolong rendah, bukan Cuma memungkinkan teradinya kooptrasi birokrasi atas masyarakat, tapi yang lebih parah adalah tendensi penipuan erbentuk produk kebijakan yang dikemas rapi dalam wujud “demi pembangunan nasional”. Tapi bernuansa KKN. Peminggiran posisi masyarakat dalam mainstream pelayanan publik ini, jelas bukan sesuatu hal yang positif. Sebab, bagaimana pun juga kekuatran kontrol birokrasi tidak hanya melibatkan anggotaanggotanya sendiri, namun juga melibatkan masyarakat secara luas dan para kliennya (orang-orang yang memerlukan jasa birokrasi). Itu artinya, masyarakat haruslah diposisikan dalam mainstream pelayanan publik yang berkomitmen kerakyatan. Birokrasi secara realitas lebih merujuk kepada cita-cita untuk menguatkan eksistensi masyarakat melalui penghargaan 192 terhadap beraneka-ragam kebutuhan dan kepentingan masyarakat, tanpa melihat simbol-simbol politik di belakangnya. Sedangkan politik, meski dalam tataran ideal mengagungkan realisasinya nilai-nilai demokrasi, ia tetap saja cenderung berlaku otoriter yang justri melanggar prinsip-prinsip bekerjanya birokrasi. Dalam bahasa lain yang lebih politis, birokrasi dilatarbelakangi oleh pengalaman profesionalisme dan keahlian di bidangnya masing-masing melalui cara-cara meritokrasi yang tentunya juga demokratis, sedangkan partai politik dilatarbelakangi oleh pengalaman profesi perjuangan untuk mempengaruhi dan bahkan untuk merebut kekuasaan agar bisa memerintah (to govern) , tentunya melalui cara-cara yang demokratis pula”. Politisasi birokrasi di indonesia, baik yang dilakukan dengan cara memanfaatkan partai politik atau mempolitisasi masyarakat, adalah bukti dari berlakunya konsep Bureaucratic- Polity seperti yang pernah disampaikan oleh Harold Crouch di atas. Seiring dengan perjalanan waktu, konsep Bereaucratic- Polity mengalami pula perubahan – perubahan mendasar. Kalau 193 dulu para politisi lewat sponsor penguasa negara berusaha mengontrol ketat birokrasi, kini keadaan itu telah berubah. Jika reformasi politik di Indonesia dijadikan alasan pembenar sebagai pertanda bagi dimulainya masa kejayaan partai politik, maka langkah ambisius partai politik untuk menempatkan kader – kadernya di lingkungan birokrasi pemerintahan, tentu adalah dalam rangka mengontrol penyalahgunaan birokrasi oleh penguasa negara lagi. Menjelaskan fenomena politisasi birokrasi, selain dilihat dari konsep Bereaucratic-Polity ( Jackson,1978) , juga dirasa tepat dengan menggunakan konsep birokrasi patrimonialbreamtenstaat. Menurut Manuel Kaisiepo, dalam konsep birokrasi yang demikian ini, yang berlaku adalah proposisi “kekuasaan (politik) menghasilkan kekayaan (uang). Tentu bukan rahasia lagi, jika keterlibatan birokrasi dalam pertarungan politik seperti yang selama ini terjadi, lebih dominan karena dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomis. Artinya, birokrasi secara institusional adalah lahan empuk bagi diraihnya sumber-sumber keuangan yang memadai demi perjuangan politik sebuah kekuasaan. 194 4. Dampak Politisasi Birokrasi Dilihat dari kaca mata demokrasi, politisasi birokrasi adalah kebijakan yang ounter-productive dengan semangat demokrasi. Pengalaman sejarah di era Orde baru seperti yang telah diungkapkan di awal tulisan ini, menunjukkan bahwa kebijakan penguasa negara yang menjadikan birokrasi sebagai alat politik, telah menyebabkan tidak berjalannya mekanisme prosedural resmi di tubuh internal birokrasi. Crouch (1980) menyebutkan bahwa bureaucratic polity memunculkan dominasi kekuatan birokrasi dan melemahnya kekeuatan parpol,parlemen dan kelompok-kelompok penekan/ kepentingan dalam masyarakat. Jika diamati secara seksama, kebijakan politisasi birokrasi lebih banyak dampak negatifnya, ketimbang dampak positifnya. Setidak-tidaknya terdapat 4 dampak negatif yang muncul sehubungan dengan kebijakan politisasi birokrasi tersebut. Pertama, kebijakan menempatkan atau mendudukkan orang-orang partai politik yang sesuai dengan selera menteri yang bersangkutan, jelas mengakibatkan tidak berfungsinya mekanisme promisi jabatan pada jabatan karier yang ada dalam 195 struktur pemerintahan. Hal ini mengandung makna bahwa sangat tidak tepat jika secara tiba-tiba Menteri pada sebuah Departemen atau Kementerian justru mengangkat kader dari partai politiknya untuk duduk pada jabatan karier tersebut. Apalagi untuk posisi jabatan karier itu mempersyaratkan orang yang bakal mendukungnya sebagai seorang Pegawai Negeri sipil (PNS) yang benar-benar telah mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) pemerintahan berjenjang (mulai dari Diklat Adum sampai Spati). Kedua. Kebijakan politisasi birokrasi dengan sendirinya akan menciptakan rasa anti-pati atau perasaan tidak bisa bekerja sama dengan orang-orang yang tidak berasal dari partai politik yanhg sama. Kondisi ini sangat mungkin terjadi, terutama jika alasan utama yang melandasi rukruitmen pada jabatan karier itu adalah “rasa kecocokan” dan “bisa diajak kerja sama”. Faktor alasan inilah yang pada gilirannya bisa menimbulkan sikap like and dislike dalam sebuah organisasi pemerintahan. Akibat dari kondisi ini tak lain adalah terabaikannya fungsi utama birokrasi sebagai sarana untuk melayani kepentingan masyarakat. Dalam konteks ini birokrasi tidak butuh orang-orang yang separtai 196 politik, tapi memerlukan orang-orang yang konsisten dalam bekerja dan mengutamakan kepentingan bersama (bukan kepentingan partai politik). Ketiga, kebijakan memberikan orang-orang partai politik sebuah jabatan penting di pemerintahan, secara tidak langsung berarti tidak mengindahkan kiberjanya prinsip meritokrasi dalam pelaksanaan tugas birokrasi sehari-hari. Prinsip untuk menempatkan seseorang pada sebuah jabatan yang sesuai dengan keahliannya, jelas mutlak diterapkan di lingkungan pemerintahan. Dalam perspektif ini, memposisikan atau mwerekrut orang-orang partai politik yang notabene lebih menguasai intrik-intrik politik praktis ketimbang keahlian di bidang tugas-tugas khusus pemerintahan, tentu merupakan langkah yang tidak bijaksana. Birokrasi menysyaratkan pelayanan maksimal, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas kepada masyarakat. Birokrasi juga menghendaki prinsip meritokrasi dijalankan secara baik dan benar. Hanya orang yang benar-benar ahli (profesional) di bidangnya, yang dapat menghidupkan birokrasi. Jika tidak, tentu birokrasi akan mati atau setidaknya tidak efisien. 197 Keempat, trauma politik masa lalu harus benar-benar kita jadikan pelajaran yang sangat berharga untuk masa-masa mendatang. Penampilan birokrasi Indonesia di masa Orde Baru yang “terlalu berkuasa”, mau tidak mau harus kita jauhi. Sebab pada masa itu birokrasi tidak hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan publik, tetapi juga sebagai pembuat sekaligus pengawas dari kebijakan itu sendiri. Dan karenanya orang-orang birokrasi jugalah yang paling banyak menikmati hasilnya. Bagaimanapun juga, sebagai sebuah bangsa kita tidak bisa melaksanakan proses pemerintahan dan pembangunan tanpa adanya birokrasi. Sebab dalam sebuah negara modern, birokrasi merupakan piranti pokok yang dapat menunjang terlaksananya roda pemerintahan dan pembangunan. Tetapi kita tidak bisa pula mengingkari bahwa kebijakan politisasi birokrasi atau penempatan orang-orang partai politik pada posisi-posisi penting di pemerintahan, merupakan sebuah kebijakan yang tidak sesuai dengan semangat birokrasi itu sendiri. Gejala yang diperlihatkan oleh birokrasi Indonesia pasca bergulirnya Era reformasi, di mana kecenderungan partai-partai politik untuk menguasai Departemen atau kementerian dan 198 BUMN semakin kuat, adalah fakta baru yang semakin sulit untuk kita hindari. Politisasi birokrasi yang dilakukan dengan cara memaksa memasukkan orang-orang partai politik ke dalam struktur Departemen atau Kementerian dan BUMN, berarti membuka peluang bagi terciptanya pengkotakan birokrasi ketika melayani masyarakat. Di samping itu, kebijakan politisasi birokrasi cenderung menjadikan birokrasi sebagai sarana untuk mencari manfaat-manfaat yang sifatnya ekonomis bagi keuntungan partai politik. Menghilangkan kebijakan politisasi birokrasi di tubuh birokrasi kita, tampaknya merupakan agenda utama yang perlu direalisasikan dalam upaya mereformasi tubuh birokrasi. Sesuai dengan fungsi utamanya sebagai aktor pelayanan publik, birokrasi hendaknya memulai langkah maju dengan menghilangkan jejak politisasi birokrasi sejauh mungkin. Ada 2 hal yang berkenaan dengan upaya penghilangan jejak politisasi birokrasi itu (Tjokrowinoto,2001,131 ). Pertama, birokrasi harus seteril dari orang-orang partai politik, khususnya untuk posisi jabatan karier mulai dari eselon teringgi sampai eselon terendah. Alasannya adalah jabatan199 jabatan karier ini merupakan jabatan strategis yang sangat menentukan dalam mekanisme pengambilan keputusan internal organisasi. Oleh karena prinsip kerja abirokrasi adalah memaksimumkan efisiensi administratif, maka birokrasi yang strerik dari kepentingan politis sebuah partai politik, diharapkan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Kedua, birokrasi harus terus mengedepankan prinsip meritokrasi dalam hal rekruitmen personilnya. Artinya, mengingat kebutuhan masyarakat akan pelayanan semakin meningkat, maka keharusan aparat birokrasi yang capabler (ahli) dibidangnya serta memiliki kemampuan menterjemahkan keinginan masyarakat adalah kebutuhan mendesak yang tak bisa ditawartawar lagi. Dengan prinsip meritokrasi pula, kebijakan politisasi birokrasi diharapkan bisa dihapus sedini mungkin. Sebab, dengan menjadikan birokrasi sebagai lahan empuk menarik keuntungan bagi para politisi, maka citra birokrasi akan semakin terpuruk di mata masyarakat. 200 5. Penutup . 1. Politisasi birokrasi bukanlah jawaban yang tepat dalam memperbaiki kinerja birokrasi di Indonesia . Birokrasi yang ditumpangi oleh kekuatan partai politik tidak hanya menjadikan ia semakin politis dan bisa jadi dijauhi masyarakat, tapi juga rentan terhadap pengabdian aspek kualitas dari personil-personilnya. Dalam politik yang berlaku adalah bagaimana kekuasaan itu bisa diperoleh dan dipertahankan, sementara dalam birokrasi yang berlaku adalah bagaimana dalam kondisi apa pun masyarakat bisa terlayani segala kebutuhan dan kepentingannya. 2. Birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik tidak pernah mengenal pilih-kasih dalam melaksanakan kewajibannya. Sebagai organisasi yang rasional dan mengedepankan efisiensi administratif, birokrasi perlu dipelihara dan dipertahankan eksistensinya, terutama dalam usaha mewujudkan demokrasi. Meskipun birokrasi dan demokrasi adalah dua konsep yang paling bertentangan, keduanya masih bisa disatukan dalam sebuah tatanan 201 masyarakat yang dekat dengan simbol-simbol pelayanan publik. 3. Birokrasi yang netral dan tidak memihak pada kepentingan politis partai politik, merupakan idaman masyarakat dalam sebuah pemerintahan yang menganut sistem desentralisasi. Ketika birokrasi bersentuhan dengan politik atau struktur birokrasi dimasuki orang-orang partai politik, maka saat itu juga tujuan birokrasi akan mulai melenceng dari arah semula sebagai institusi resmi yang melayani urusan publik. Hal itu perlu dihindari karena fungsi dan peranan demikian akan menghancurkan eksistensi birokrasi itu sendiri dimata publik dan menurunkan kredibilitas dalam pergaulan dunia internasional . 202 DAFTAR PUSTKA Albrow, Martin, 1996, Birokrasi, (terjemahan) ,Yogyakarta,Tiara Wacana Crouch, Harold, 1980, The New Order : The Prospect for Political Stability, Canberra, The Australian UniversityPress . Santoso, Priyo Budi, 1995, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Jakarta, PT Radja Grapindo Persada. Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001, Birokrasi Dalam Polemik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 203 Hasil Penelitian PENGARUH KOMUNIKASI TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN DI KABUPATEN CIANJUR LAPORAN PENELITIAN 2007 204 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian. Pembangunan perdesaan sebagai bagian integral dari pembangunan daerah dan nasional, dewasa ini mendapat sorotan yang amat tajam dari berbagai kalangan. Persoalan ini selain menyangkut sebagian besar (75%) masyarakat Indonesia berdiam di desa (BPS, 2001), juga karena banyak persoalan pembangunan yang belum mampu dipecahkan di tingkat desa, misalnya masalah pengangguran, ketimpangan, kemiskinan yang kurang lebih 60 % diam di desa. (BPS, 2001). Isue utama dalam pembangunan perdesaan, adalah menyangkut masalah pemberdayaan masyarakat (desa) yang senantiasa beriringan dengan masalah perangkap lain seperti kemiskinan. Chamber (1988 : 113-114) menyatakan bahwa ada keterkaitan antara ketidakberdayaan dan dimensi perangkap yang lain seperti kemiskinan (poverty), kerentanan (vulnerability), keterasingan (isolation) menjadi sumber ketidakberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan. Sedangkan menurut pendapat Cabb (dalam Suharto, 2005 : 61), bahwa “Ketidakberdayaan masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor seperti : ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, pelatihan, jaminan politik dan adanya ketegangan emosional“. Oleh karena itu, perlu ada upaya pembangunan perdesaan yang dijiwai semangat otonomi yang ditujukan guna menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk partisipasi, kemandirian dan kemampuan sangat relevan bagi pembangunan yang 205 berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. (Supriatna, 2000 : 19). Konsepsi di atas secara eksplisit sejalan dengan arah kebijakan Nasional pembangunan perdesaan pada Peraturan Presiden No.7 Th. 2005 Bab 25 yaitu : “Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitasnya, baik sebagai insan maupun sebagai sumberdaya pembangunan, serta penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan kerja sama untuk memperkuat posisi tawar” . Pada bagian lain ditegaskan bahwa Program peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan tersebut dilakukan melalui peningkatan kapasitas pemerintahan di tingkat lokal dalam mengelola pembangunan perdesaan sesuai prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik., penguatan lembaga dan organisasi berbasis masyarakat dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dan peningkatan akses masyarakat pada pada informasi serta sumber-sumber daya pembangunan. (Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, 2004- 2009). Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat untuk mampu dan berkembang secara mandiri sangat diperlukan dalam proses pembangunan, baik di tingkat nasional maupun tingkat perdesaan. Salah satu upaya ke arah itu adalah melalui pengembangan kelembagaan yang mampu berfungsi dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Berbagai program bantuan pemerintah yang mengalir ke desa belum secara signifikan mampu mengangkat harkat hidup masyarakat desa, memerangi kemiskinan desa, mencegah urbanisasi, menyediakan lapangan kerja. Yang terjadi adalah ketergantungan, konservatisme dan pragmatisme masyarakat desa terhadap bantuan pemerintah (Eko, 2004 : 290). Kegagalan program pemerintah tersebut disebabkan oleh banyak hal, dari mulai strategi dan pendekatan yang keliru sampai pada pengelolaan program yang salah urus. 206 Lemahnya keberdayaan masyarakat desa dalam melakukan perubahan terkait dengan kurangnya masyarakat desa memperoleh akses informasi terhadap sumber-sumber daya pembangunan sebagai konsekwensi adanya dinamika dan perubahan kebijakan-kebijakan yang seharusnya mereka ketahui dan mereka jalankan. Oleh sebab itu, tidak heran apabila timbul ketimpangan aktivitas dan dinamika lembaga desa. Adanya salah persepsi yang berakibat pada munculnya konflik-konflik sosial yang mengarah pada tindakan-tindakan kontra produktif dan tidak mampunya masyarakat dalam mengadopsi nilai-nilai baru dalam pembangunan. Hal lain yang tidak bisa diabaikan dalam pengembangan lembaga, yakni bahwa Kepala Desa harus tanggap terhadap pesan-pesan pembangunan dan mampu menyampaikan pesan-pesan itu kedalam bahasa atau lambang yang kiranya dapat dipahami oleh masyarakatnya. Belum efektifnya komunikasi yang dibangun berimplikasi pada tidak sedikit pesan-pesan pembangunan yang tidak sampai pada khalayak. Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan tersebut, dalam penelitian ini penulis memfokuskan lokasi penelitian di wilayah Kabupaten Cianjur yang merupakan wilayah hinterland (penyangga) Propinsi Jawa Barat dan Propinsi DKI Jakarta. Pertimbangan lokasi penelitian ini karena posisi geografis Kabupaten Cianjur sebagai pintu gerbang ibukota Propinsi Jawa Barat dan sebagai urat nadi lalu lintas pergerakaan manusia, barang dan jasa dengan ibukota negara. Letak geografis Cianjur yang menjadi daya tarik untuk memacu mobilitas sumberdaya lokal, yang pada gilirannya membawa dampak terhadap 207 aktivitas kelembagaan desa dan pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan. Bertolak dari latar belakang tadi penulis melakukan penelitian dengan mengambil judul „ Pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyrakat dalam Pembangunan Perdesaan di kabuopaten Cianjur“ 1.2. Rumusan Masalah. Bila dicermati dari fenomena di atas, maka dapat dikemukakan problem statement yaitu bahwa "Upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan melalui komunikasi . Tegasnya bahwa Pengembangan lembaga desa yang diidentifikasikan melalui Komunikasi belum optimal memberdayakan masyarakat dalam pembangunan perdesaan”. Dengan memperhatikan latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan komunikasi dalam Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Cianjur. 2. Bagaimana keadaan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Cianjur. 3. Seberapa besar pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan pedesaan di Kabupaten Cianjur. 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian. 1.3.1. Maksud Penelitian : Penelitian ini dilakukan dengan maksud menguji dan menganalisis pengaruh komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan 208 perdesaan . Melakukan penelusuran berbagai teori yang berhubungan dengan pengembangan lembaga desa dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan , menguji dan menganalisis kemudian membuat rekomendasi pragmatis berupa bahan informasi dalam penyusunan kebijakan pemerintah daerah . 1.3.2 Tujuan Penelitian yaitu : 1. Memperoleh informasi mengenai pengaruh faktor komunikasi terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan. 2. Melakukan pengujian secara empiris terhadap teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian ini yang berkaitan dengan objek penelitian. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.Kegunaan Akademik . Dari aspek teoritis , dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan teor Administrasi Pembangunan khususnya teori-teori pemberdayaan. 2. Kegunaan Praktis . a. Temuan-temuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan bahan informasi dan sumbangan pemikiran dalam bentuk rekomendasi dan rumusan-rumusan pemikiran yang aktual, pragmatis bagi para pengambil keputusan (praktisi). b.. Kemudian bagi para peneliti, dapat dijadikan sumber informasi guna melakukan penelitian lebih lanjut dalam kajian serupa dari variabel lain yang tidak diidentifikasikan, sehingga serta memberikan kontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu Administrasi Pembangunan. 209 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka. 2.1.1. Hasil Penelitian terdahulu. Penelitian tentang topik yang dibahas, pernah dilakkan oleh peneliti sebelumnya. Akadun (2002) yang mengupas tentang “Model Keberdayaan Aparatur Birokrasi Dalam Rangka Efektivitas Penyelenggaraan Pelayanan Pemerintah Di Kabupaten Bandung”. Penelitian tersebut mengambil objek aparat pemerintah dan penduduk Kabupaten Bandung yang memperoleh pelayanan dari Dinas/Badan/Instansi di Pemerintah Kabupaten Bandung, dengan jumlah sampel sebanyak 116 orang. Model keberdayaan yang diukur/diuji dengan mengelaborasi pendapat dari Friedman, yaitu dari keberdayaan sosial, politik, dan psikologis. Kesimpulannya, bahwa keberdayaan sosial menjadi faktor utama yang mempengaruhi efektivitas penyelenggaraan pemerintah, sedangkan keberdayaan politik dan keberdayaan psikologis menjadi faktor proaktif dan dinamisator bagi efektivitas penyelenggaraan pemerintah. Dalam penelitiaan tersebut, nampaknya kurang banyak dibahas mengenai masalah keberdayaan aparatur birokrasi dengan lingkungan organisasi dan kemampuan sumber daya non manusia maupun peran masyarakat dan dunia usaha dalam rangka efektivitas penyelenggaraan pemerintah. 210 2.1.2. Pembangunan Masyarakat Perdesaan Pembangunan masyarakat desa sebagai bagian dari pembangunan sosial diarahkan pada aspek kelembagaan dan peran partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Combs & Manzoor (1980 : 13) menjelaskan bahwa penduduklah yang sering menjadi masalah utama negara-negara miskin dan berkembang. Jumlah penduduk kedua kategori negara tersebut sekitar 1,19 milyar orang, sedangkan pada Tahun 1990 meningkat menjadi 2,62 milyar. Penduduk miskin, selain tersebar di perdesaan, juga menjadi bagian dari masyarakat kota. Seiring dengan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat di tingkat nasional maupun global berimplikasi pada perubahan kebijakan sistem pemerintahan ,maka diperlukan suatu strategi atau arah kebijakan pembangunan yang bersifat terpadu yang pada dasarnya mempunyai tiga arah (Sumodingrat, 1999 : 191), yakni : Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran serta masyarakat. Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran serta masyarakat lokal Dari pemikiran tersebut, nampak bahwa upaya pemberdayaan masyarakat selain memerlukan instrumen melalui berbagai program (bantuan, dana), sarana prasarana, peningkatan kualitas SDM. Sedangkan instrumen tadi tidak akan berarti tanpa ada penguatan lembaga lokal baik pemerintahan desa maupun 211 lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Aparat desa harus mampu menampung aspirasi, menggali potensi, dan menggerakkan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan. Sejalan dengan berbagai strategi di atas, perubahan kebijakan pemerintah yang mengedepankan semangat desentralisasi sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 secara filosofis, sosiologis dan administratif menunjukkan adanya pergeseran orientasi penyelenggaraan administrasi pembangunan dan manajemen pemerintahan dari sentralistik ke desentralisasi. Ini berarti pada level suprastruktur, menghendaki adanya reformasi sistem pengelolaan pembangunan yang merubah fungsi dan peran birokrasi pemerintah sebagai fasilitator, katalisator melalui pelayanan yang lebih berpihak pada masyarakat. Sedangkan pada level infra struktur (masyarakat) memberi ruang terhadap aktualisasi pelaksanaan dan pengembangan kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam menjabarkan, menerapkan dan menata kelembagaan lokal dalam rangka pemberdayaan masyarakat. 2.1.3 Komunikasi Guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat tadi melalui pengembangan lembaga, banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilannya Dalam administrasi pembangunan beberapa faktor fundamental dalam rangka pemberdayaan yaitu ditentukan oleh “Kepemimpinan, komunikasi, koordinasi dan pendidikan.” Tjokroamidjojo, 1991 : 226). 212 Komunikasi merupakan faktor menentukan dalam keberhasilan dinamika organisasi. Seperti dikatakan oleh Barnard dalam Steers (1980 : 162), bahwa : “Dalam teori organisasi yang lengkap, komunikasi menduduki tempat yang sentral. Karena struktur, luas, dan ruang lingkup organisasi hampir sepenuhnya ditentukan oleh komunikasi. Sejalan pemikiran tersebut, Foy yang dikutip Sumaryadi (2005 : 118) menyebutkan bahwa “Pemberdayaan membutuhkan komunikasi yang baik (good communication), komunikasi adalah landasan yang mendasari setiap perubahan organisasi “. Berkaitan dengan hal tersebut, Keith Davis (1979 : 372) mengemukakan : “Communication is defined as the process of passing information and understanding from one person to another”. Sedangkan Rogers & Shoemaker (1981 : 34) mengemukakan komunikasi :”Sebagai proses pemindahan pesan dari suatu sumber dengan tujuan terjadinya perubahan perilaku si penerima”. Ini berarti, bahwa komunikasi selain berfungsi menyampaikan informasi dan pengetahuan dari seseorang kepada orang lain, sehingga terjadi tindakan kerjasama, juga komunikasi membantu mendorong membentuk sikap dan menanamkan kepercayaan dengan cara mengajak, meyakinkan dan mempengaruhi perilaku komunikan. Bertolak dari pernyataan di atas, meneggambarkan bahwa proses pembangunan dalam suatu masyarakat (desa) tidak mungkin dapat terlaksana dengan efektif, tanpa komunikasi terutama yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Sebagai faktor penentu dalam organisasi, pemimpin sebagai sumber penyampaian pesan atau komunikator harus senantiasa berkomunikasi dengan semua pihak, baik melalui hubungan yang formal maupun informal. 213 Sukses tidaknya pelaksanaan tugas pemimpin tergantungan kemampuan bagaimana dia berkomunikasi (effective leadership means effective communication) (Effendy, 1981 : 39). Oleh karena itu, betapa besar peranan seorang pemimpin sebagai katalisator dan dinamisator pembangunan untuk ikut terlibat didalam pemecahan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat. Komunikasi sebagai proses komunikasi yaitu : ”Proses penyampaian pikiran dan/atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media.” (Effendy, 1986 : 15). Dengan demikian, proses komunikasi pimpinan adalah proses penyampaian pikiran/perasaan pimpinan kepada pegawai dengan menggunakan lambang (symbol) yang berarti yang diperlukan untuk membangun transaksi komunikasi yang diinginkan. Ada empat elemen yang menentukan efektivitas proses komunikasi, yaitu : “Encoding, Channel, Decoding, and Feedback”. (Smeltzer et al., 1991 : 7). Keterkaitan antara keempat elemen tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut : GAMBAR 2.1 MODEL PROSES KOMUNIKASI PIMPINAN Channel Encode Decode Feedback Sumber : Smeltzer et al., (1991 : 12). 214 Pendapat lain menyebutkan bahwa proses komunikasi melibatkan beberapa faktor yang saling terkait dan fungsional, yaitu : Source, message, Channel, Receiver, dan Feedback. (Hawkins,1981 : 7; Sharma, 1982 : 4). Kemudian Muhammad (1995 : 16) memberi gambaran model proses komunikasi dua arah yang paling sering digunakan oleh pimpinan dalam suatu organisasi. Namun meskipun semua unsur yang terdapat didalamnya terpenuhi, dalam aktivitas komunikasi tidak dapat menjamin pesan akan mencapai sasarannya. Banyak faktor yang mendukung juga menghambat (gangguan) yang turut mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dalam berkomunikasi. GAMBAR 2.2 . MODEL PROSES KOMUNIKASI 2 ARAH Sumber : diadaptasi dari Arni Muhammad (1995 : 16). a) Source SOURCE MESSAGE CHANNEL RECEIVER ENVIRONMENT FRAME OF REFERENCE FRAME OF REFERENCE ENCODING DECODING NOISE NOISE FEED BACK 215 Disebut juga sebagai komunikator, yakni bisa seseorang, kelompok, lembaga yang ingin menyampaikan pesan kepada pihak lain. Pertama, tentu seorang komunikator menyandi (encode) pesan dalam pikiran /perasaan yang diformulasikan kedalam lambang (bahasa) yang dapat dimengerti oleh komunikan. Smeltzer menyebutkan “Encoding is the process of coding any symbol in to message that contains the meaning to be confeyed.” (Smeltzer et al., 1991 : 7). Sementara itu, Gibson (1995 : 107) mengartikan encoding sebagai : ”Proses penyandian yang menerjemahkan gagasan komunikator menjadi serangkaian tanda yang sistematis menjadi bahasa yang mengungkapkan tujuan komunikator.” Setiap pimpinan melakukan komunikasi harus sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi penerima. Sebab jika tidak, bukan tidak mustahil pesan tidak akan sampai pada sasarannya. Dalam proses encoding ini, pimpinan harus mampu memilih dan menggunakan simbol terbaik yang dapat menyampaikan gagasan mereka, dapat dimengerti oleh penerima, sehingga terjadi kesamaan makna antara pengirim dan penerima. Maknanya, tidak melekat pada simbol yang digunakan, tetapi pada sejauh mana penerima dan pengirim pesan memaknai sama terhadap simbol tersebut. Seseorang meng-encode ketika ia menggunakan simbol untuk menampilkan gagasannya. Simbol yang digunakan dapat berupa bahasa verbal atau non verbal, isyarat, gambar, warna dan lain-lain, yang secara langsung mampu menterjemahkan dan mengungkapkan gagasan seseorang tersebut sebagai suatu pesan. Sikap pemimpin yang berusaha menyamakan diri dengan bawahan akan menimbulkan simpati. Bagi pemimpin yang mempunyai emphaty, maka tidak 216 akan membiarkan orang lain berada dalam kegelisahan, kekecewaan dan frustasi, dan ini berarti dia mau terjun langsung terhadap persoalan yang mengganggu. Oleh karena itu, Schramm (dalam Effendy, 1998 : 13) menyarankan ,bahwa komunikasi akan berhasil apabila “pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference),yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experience and meaning) yang pernah diperolah komunikan”. Demikian pentingnya bagi pemimpin organisasi untuk dapat memahami frame of reference bawahannya tadi, mengetahui waktu, situasi dan kondisi yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesannya, dapat memilih saluran dan media yang cocok, serta menyediakan umpan balik untuk mengetahui efek dari komunikan. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan, bahwa Kepala Desa sebagai pemimpin harus tanggap terhadap pesan-pesan pembangunan dan mampu menterjemahkan pesan-pesan itu kedalam bahasa atau lambang yang kiranya dapat dipahami oleh masyarakatnya. Untuk menunjukkan kesamaan arti dari pesan-pesan yang disampaikan, Schramm (dalam Effendy, 1998 : 124), menyarankan agar pesan direncanakan isinya sedemikian rupa, sehingga mengandung perubahan-perubahan psikologis dan sosiologis. b). Message Adalah informasi/pesan yang akan dikirimkan kepada sipenerima, pesan bisa dalam bentuk verbal maupun non verbal. Pesan secara verbal bisa dalam bentuk terknis maupun lisan, sadangkan pesan yang non verbal berupa isyarat,gerakan tubuh, ekspresi muka dan nada suara. Pesan (message) yang disampaikan terdiri atas isi (content) dan lambang (symbol). Pesan pembangunan 217 biasanya dalam bentuk : program, kebijakan- kebijakan, berbagai instruksi /perintah dari aktor pembangunan terutama para pejabat atau para pengambil keputusan. Tujuan komunikasi seperti telah disinggung sebelumnya selain untuk menyamakan persepsi, tapi juga bagaimana mengubah sikap, pendapat atau opini dan perilaku masyarakat. c). Channel Channel adalah media yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Selain itu, saluran merupakan mata rantai yang menghubungkan komunikator dengan komunikan. Dalam lingkungan suatu organisasi, saluran-saluran yang paling umum digunakan adalah audio visual. Saluran yang digunakan oleh pimpinan sebagai komunikator sangat tergantung kepada pesan dan pendekatan yang digunakan untuk mengirim pesan. Ini sesuai dengan yang dikemukakan Smeltzer et al. (1991 : 8) bahwa : ”A leader suol select the best channel to eliminate communicational distorsio”. Dalam upaya pemberdayaan masyararakat, kecocokan menggunaan media amat menentukan terhadap keberhasilan komunikasi yang dijalankan. Media komunikasi interpersonal kelihatannya masih merupakan komunikasi yang cukup penting di pedesaan. Sebagaimana disebutkan Sukanto (1981 : 65) bahwa : Sistem komunikasi interpersonal masih amat dibutuhkan, dimana tingkat pendidikan dan minat masyarakatnya masih rendah terhadap media massa modern”. Karena sifatnya yang interpersonal, maka komunikasi dipedesaan sangat banyak tergantung kepada para pemimpin masyarakat dan para pemuka (opinion leader). 218 d) Decoding dan Penerima Agar proses komunikasi dapat berlangsung dengan baik, pesan yang disampaikan harus di-encode (ditafsirkan) sesuai dengan penerima. Jadi decoding adalah : ”Proses penafsiran lambang yang mengandung pikiran dan perasaan komunikator dalam konteks pengertian penerima”. (Effendy, 1989 : 18). Di samping itu : ”Proses komunikasi akan berlangsung dengan baik bila terjadi adanya kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan.” (Effendy, 1989 : 17). Untuk itu, perlu dipertimbangkan bagaimana perhatian selektif yang dilakukan penerima pesan. Komunikan dapat memilih apa yang tidak mau ia dengar/lihat. Selain itu, faktor kerangka acuan (frame of reference) dan faktor pengelaman penerima ketika menafsirkan pesan juga turut menentukan adanya persamaan makna pesan yang dikirimkan oleh komunikator. e) Feedback Pengertian umpan balik sebagaimana dikemukakan Effendy (1989 : 45) yaitu : ”Proses sampainya tanggapan komunikan kepada komunikator, setelah komunikan menilai suatu pesan yang ditujukan kepadanya.” Sedangkan, Smeltzer et al. (1991 : 11) menyatakan bahwa feedback merupakan :”The most assential factor to ensure that the message as received completely”. Untuk mengetahui bagaimana sikap atau respon masyarakat melalui lembaga desa yang ada terhadap program-program dan segala usulan, saran atau gagasan yang disampaikan, dalam komunikasi ini dilihat melalui feed back (umpan balik). Tersedianya umpan balik dalam komunikasi penting artinya untuk 219 menguji seberapa jauh pesan-pesan pembangunan yang disampaikan itu bisa dimengerti, bagaimana hubungan yang terjadi melalui saluran komunikasi yang tersedia dapat menimbulkan dampak positif terhadap perubahan tingkah laku masyarakat dan mendapat dukungan dari masyarakat. Dari berbagai pemaparan tadi dapat dikatakan sebagai faktor penentu dalam proses pembangunan maupun penggerakkan masyarakat, maka Kepala Desa sebagai pemimpin harus senantiasa berkomunikasi dengan semua pihak, baik kedalam (internal) maupun keluar (eksternal) organisasi secara formal maupun informal. Suksesnya pelaksanaan tugas pemimpin, sebagian besar ditentukan oleh kemahirannya menjalin komunikasi yang tepat dengan semua pihak, secara horisontal maupun vertikal ke atas dan ke bawah. Dalam kaitannya dengan pembedayaan, dapat diungkap seberapa besar pemimpin atau Kepala Desa sebagai agen pembangunan, katalisator, fasilitator mampu menyampaikan pesan, perintah dan setiap informasi atau kebijakan secara jelas kepada masyarakat. Bagaimana saluran-saluran (media) yang digunakanan cocok dengan situasi kondisi dan latar belakang khalayak sasaran. Seberapa besar tingkat keterbukaan dan intensitas komunikasi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang terlibat baik masyarakat maupun lembaga-lembaga terkait sehingga dapat memperluas dukungan dan akses masyarakat terhadap sumber-sumber daya pembangunan perdesaan. Untuk merubah sikap, perilaku masyarakat diperlukan komunikasi organisasi yang efektif, agar pesan-pesan atau program-program pembangunan yang dapat diterapkan dan diterima lingkungannya. 220 2.1.4. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Dengan demikian pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.(Sulistiyani, 2004 : 77). Pengertian “proses” menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah kondisi masyarakat yang kurang atau belum berdaya, baik knowledge, attitude, maupun practice (KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan, sikapperilaku sadar dan kecakapan-ketrampilan yang baik. Sejalan dengan pemahaman tersebut, konsep pemberdayaan merupakan ide menempatkan manusia lebih sebagai subjek dari dirinya sendiri (Pranarka dan Tjokrowinoto, 1996 : 56). Karena itu, proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu : Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan atau kemampuan kepada mereka yang mengalami ketidakberdayaan. Proses ini dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna membangun kemandirian melalui institusi. Upaya ini bisa dilakukan melalui pemberian kuasa dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan berbagai kegiatan, program yang mereka butuhkan sesuai kondisi dan kemampuan sumber-sumber yang ada. Kedua, proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu atau kelompok agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Proses menstimulasi bisa dilakukan melalui upaya pemberdayaan meliputi usaha menyadarkan, mendukung, mengembangkan potensi diri dengan berbagai pelatihan ketrampilan dan pengembangan , bantuan dalam penyusunan mekanisme organisasi dan pendanaan serta bantuan teknis lainnya. 221 Menurut The Webster & Oxford English Dictionary,kata empowerment mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain). Kedua berarti to give ability to or enable (sebagai upaya memberi kemampuan atau keberdayaan). Sementara itu, Dubois dan Miley (1986 : 12) menyatakan bahwa Pemberdayaan (empowerment) : “A process throught which people become strong enaugh to participate within, share in the control of and influence events and institution of fecting their lives (and that in part) empowerment neccesitates that people gain particular skills, knowledge, and sufficient power to influence their lives and the lives those they care about”. Jadi pemberdayaan merupakan proses yang menyeluruh, suatu proses aktif antara motivator, fasilitator dan kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan. Dengan demikian dalam proses pemberdayaan, setiap individu, kelompok, masyarakat dapat menjadi lebih mandiri dan mampu untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Berdasarkan pemikiran tadi, maka inti pemberdayaan adalah memandirikan masyarakat dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung (Kartasasminta, 1997 : 7). Sedangkan Stewart (1994 : 47) menyebutkan, inti pemberdayaan adalah membuat mampu (enabling). Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa hakekat pemberdayaan itu tiada lain merupakan suatu upaya yang dilakukan individu, kelompok, organisasi atau negara dalam kerangka peningkatan kekuatan, pemberian keberdayaan atau otoritas, pelimpahan kekuasaan atau 222 wewenang terhadap suatu komunitas atau masyarakat tertentu yang dipandang kurang memiliki keberdayaan. Hal ini berguna untuk memperoleh akses terhadap berbagai bidang kehidupan baik sosial, ekonomi, budaya, hukum, maupun politik agar dapat ikut terlibat (berpartisipasi) dalam perumusan kebijakan politik maupun pelaksanaan program pembangunan guna menata kehidupan yang lebih demokratis. Senada pemikiran tadi, pemberdayaan dapat dipahami dari berbagai perspektif yang dapat dikembangkan satu dengan lainnya saling terkait, pemberdayaan dapat dilihat dari perspektif sosial, politik dan psikologis (Friedmenn, 1992 : 33). Pendapat lain menyebutkan 4 perspektif pemberdayaan yakni pemberdayaan politik, ekonomi, sosial budaya dan pemberdayaan lingkungan. (Ndraha, 2000 -.80-81). Dari beberapa pendapat tadi dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, dari perspektif politik. Konsep sentral pemberdayaan adalah power (Hanna and Robinson, 1994 : xii). Pemberdayaan merupakan proses menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan politik, yakni kekuasaan yang dimiliki pemerintah atau negara yang dikonfrontasikan dengan rakyat atau masyarakat. Pemberdayaan Politik, bertujuan meningkatkan bargaining position yang diperintah terhadap Kedua dari perspektif sosial. Pemberdayaan berarti menyangkut akses terhadap sumber-sumber informasi, partisipasi ,pengetahuan, ketrampilan,kecakapan, ,lembaga-lembaga sosial dan lembaga keuangan. Dalam logika seperti ini, pemberdayaan dari ketidakberdayaan dapat dicapai dalam keteraturan dan 223 dinamisasi kehidupan masyarakat yang ada tanpa dampak negatif yang signifikan terhadap power yang besar. Pemberdayaan Sosial, bertujuan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (human invesment), penggunaan (human utilization) dan perlakuan seadil-adilnya terhadap manusia. Ketiga, Pemberdayaan Ekonomi, dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan yang daya masyarakat dalam mengatasi dampak negatif pertumbuhan, pembayar resiko salah urus, pemikul beban pembangunan, kegagalan program. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, lebih banyak bertumpu pada kemampuan untuk meningkatkan daya beli atau pendapatan mereka melalui berbagai usaha produktif . Keempat, perspektif psikologis, yakni digambarkan rasa potensi individu (individual sense of potency) yang menunjukkan rasa percaya diri (Pranarka dan Tjokrowinoto, 1996 : 61). Pemberdayaan psikologis berarti berkembangnya motivasi, kreasi, rasa memiliki, kebersamaan, martabat dan harga diri manusia, hasrat dan kebebasan seseorang terhadap lingkungan yang mempengaruhi dirinya. Rasa potensi diri akan memberi pengaruh positif untuk meningkatkan kekuatan sosial politiknya. Suatu masyarakat yang berdaya berarti masyarakat mampu membangun dirinya sendiri (self development), menciptakan kelompok kerja yang dinamis (groups dynamics), dan merubah perilakunya (changing behavior) dengan meninggalkan kebiasaan yang lebih menguntungkan dalam melakukan kegiatan. 224 2.2 Kerangka Pemikiran Paralel dengan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan & pembangunan desa dari pola sentralistik ke desentralisasi berimplikasi pada perubahan kebijakan sistem pemerintahan ,maka diperlukan suatu strategi atau arah kebijakan pembangunan yang bersifat terpadu. Strategi itu pada dasarnya mempunyai tiga arah. Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran serta masyarakat. Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran serta masyarakat lokal. (Sumodiningrat, 1999 : 130) Pemberdayaan menunjukan pada kemampuan orang khususnya kelompok lemah, sehingga mereka memiliki kemampuan atau keberdayaan dalam : a. Memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan hanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, kemiskinan. b. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan. c. Berpartisiapsi dalam proses pembangunan dan keputusan yang mempengaruhi masa depannya. (Suharto, 2005 : 58). Sebagai proses, pemberdayaan berarti serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan terutama kelompok lemah dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari 2 aspek penting yaitu : Pertama, pemberdayaan sebagai proses mengembangkan kemandirian, keswadayaan, memperkuat posisi (bargaining position) terhadap setiap keputusan atau kebijakan pemerintah. Kedua sebagai proses memfasilitasi masyarakat dalam memperoleh akses terhadap sumber-sumberdaya,memberikan ruang gerak dan 225 memberi dorongan untuk tumbuh dan berkembangnya kreasi, partisipasi dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat, banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilannya, Tjokroamidjojo menyebutkan beberapa faktor fundamental dalam rangka pemberdayaan yaitu ditentukan oleh “Kepemimpinan, komunikasi, koordinasi dan pendidikan.” (Tjokroamidjojo, 1991 : 226). Komunikasi memegang peranan penting untuk menyebarluaskan berbagai program, kegiatan, kebijakan dan melakukan perubahan serta menjalin hubungan dengan berbagai kelompok atau lembaga terkait. Tanpa komunikasi tidak akan terjadi interaksi. Hal ini bertolak dari asumsi bahwa organisasi dan dinamikanya tidak berada dalam isolasi, ia sebantiasa berinteraksi kedalam maupun keluar organisasi. Seperti dikatakan Tjokroamidjojo (1991 : 227), bahwa : “Komunikasi juga dimaksudkan untuk menumbuhkan berbagai perubahan nilai dan sikap yang inheren dalam proses pembaharuan tanpa menimbulkan tekanan, frustasi dan friksi.” Menyadari pentingnya komunikasi oleh pimpinan dalam suatu organisasi, Lindgren (dalam Effendy, 1981 : 39) menyatakan “Effective leadership means effective communication”. Hakekat kepemimpinan ialah apa yang si pemimpin komunikasikan dan bagaimana ia mengkomunikasikannya. Karena itulah, maka dinyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif berarti komunikasi yang efektif. Ini berarti pula bahwa seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus bisa berkomunikasi secara efektif. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus 226 senantiasa meningkatkan kemampuan berkomunikasinya. Hal ini tentunya bukan hanya ditujukan kedalam anggota organisasi yang bersangkutan (intern), tetapi juga kepada lingkungan masyarakat dimana organisasi itu berada (ekstern). Dalam kaitannya ini dapat diungkap seberapa besar pemimpin atau Kepala Desa sebagai agen pembangunan, katalisator, fasilitator mampu menyampaikan pesan, perintah dan setiap informasi atau kebijakan secara jelas kepada masyarakat. Bagaimana saluran-saluran (media) yang digunakanan cocok dengan situasi kondisi dan latar belakang khalayak sasaran. Seberapa besar tingkat keterbukaan dan intensitas komunikasi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang terlibat, baik masyarakat maupun lembaga-lembaga terkait sehingga dapat memperluas dukungan dan akses masyarakat terhadap sumber-sumber daya pembangunan perdesaan. Untuk merubah sikap dan perilaku masyarakat diperlukan komunikasi organisasi yang efektif, agar pesan-pesan atau programprogram pembangunan yang dapat diterapkan dan diterima lingkungannya. Ukuran keberdayan dapat dilihat berbagai aspek yaitu diantaranya dari perspektif politik, sosial maupun psikologis (Friedmenn, 1992). Pertama, dari perspektif politik, diukur melalui akses setiap individu/kelompok terhadap sumber informasi, pendanaan, keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan, kesempatan untuk memperoleh informasi secara merata, kejelasan wewenang untuk melakukan pilihan keputusan/tindakan sesuai kebutuhan dan kemampuan yang ada.(Hanna and Robinson, 1994 : xii; Paul, 1987). 227 Kedua dari perspektif sosial, diukur melalui : bagaimana masyarakat mampu memiliki akses terhadap resources baik material, informasi, maupun kekuasaan, melalui proses penguatan kelembagaan untuk dapat berpartisipasi dalam setiap tahap proses pembangunan, memperoleh faktor-faktor produktif dan menentukan pilihan masa depannya sebagai bagian dari dinamika, tanpa menimbulkan hambatan atau konflik yang berarti. Adanya peningkatan ketrampilan dan pengetahuan untuk ikut mengelola proses pemerintahan/pembangunan. Mayo and Craig (1995 : 5); (Kabeer dalam Pranarka dan Moeljarto, 1996 : 64). Ketiga, dari perspektif psikologis, yang diukur melalui berkembangnya rasa potensi individu (individual sense of potency). (Pranarka; Moeljarto, 1996 : 61). Pemberdayaan psikologis berarti berkembangnya motivasi, rasa percaya diri, rasa memiliki, berkembangnya kreasi, kebersamaan, harga diri manusia, hasrat dan kebebasan seseorang terhadap lingkungan yang mempengaruhi dirinya. Rasa potensi diri akan memberi pengaruh positif untuk meningkatkan kekuatan sosial politiknya, menciptakan kelompok kerja yang dinamis (groups dynamics), dan merubah perilakunya (changing behavior) dengan membiasakan perilaku yang positip yang lebih menguntungkan dalam melakukan kegiatan. 2.3. Hipotesis Berdasarkan kerangka pikiran yang telah diuraikan sebelumnya dapatlah dirumuskakan hipotesis sebagai berikut :“ Pengaruh Komunikasi terhadap 228 tingkat Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan di Kabupaten Cianjur ditentukan oleh derajat Kemampuan Komunikator, Pesan, Media, Komunikan dan Umpan Balik.” 229 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Dengan memperhatikan pada tujuan penelitian, maka penelitian ini bersifat deskriptif verifikatif. Penelitian deskriptif ditujukan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat terhadap fakta-fakta, sifat-sifat dengan interpretasi yang tepat (Whitney, 1960). Sifat verifikatif dalam penelitian inipun selain memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena yang diteliti serta menerangkan hubungan antar variabel juga melakukan pengujian hipotesis, mendapatkan makna dan implikasi dari masalah yang dileliti. (Natsir, 1988 : 64). Sesuai dengan fenomana sosial yang tercermin dalam tujuan penelitian tadi, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode survey eksplanatori (explanatory survey). Penggunaan metode ini dimaksudkan bukan hanya untuk menerangkan konsep dan fakta, peristiwa dewasa ini (explanation), tetapi bermaksud menganalisis dan menjelaskan pengaruh kausal antara variabelvariabel melalui pengujian hipotesis”. (Singarimbun, 1989 : 5; Rusidi, 1996 : 15). Dengan survey eksplanatori diharapkan dapat mengungkap secara cermat pengaruh pengembangan lembaga desa terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan. 3.2. Variabel Penelitian dan Operasionalisasi Variabel. 3.2.1. Variabel Penelitian. 230 Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yakni variabel bebas (independent variable), yakni Komunikasi dengan variabel terikat (dependent variable) yaitu Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan. 3.2.2 Operasionalisasi Variabel Penelitian Definisi operasional dari masing-masing variabel yaitu : 1. Komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan melalui saluran komunikasi langsung (interpersonal) maupun media komunikasi tertentu yang bertujuan untuk merubah pengertian, kepercayaan, sikap dan tindakan penerimanya. Komunikasi dalam penelitian ini diorientasikan pada komunikasi pimpinan dalam hal ini lebih ditekankan bagaimana komunikasi yang dilakukan oleh Kepala Desa sebagai pemimpin di tingkat desa dalam rangka penyebaran informasi/pesanpesan, pemberian pengertian yang dapat menimbulkan perubahan sikap-sikap, kepercayaan dan memperoleh dukungan lingkungan masyarakat. B. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan yaitu suatu proses memberikan daya, kekuatan kepada masyarakat dalam mengurus berbagai kegiatan, program yang dibutuhkan agar memiliki kemampuan dan kemandirian. Pemberdayaan juga berarti proses menstimuli, mendorong dan memotivasi masyarakat dengan berbagai bimbingan, pelatihan dan bantuan agar memiliki keberdayaan baik secara sosial, ekonomi, politis maupun psikologis. Jadi pemberdayaan diukur dari aspek proses dan produk yakni bagaimana menstimuli, memberikan daya dan dari aspek hasilnya, yakni dalam bentuk tingkat keberdayaan baik sosial, ekonomi, politik maupun psikologis. 231 Untuk menggambarkan mengenai operasionalisasi variabel, maka penulis sajikan dalam tabel berikut ini : TABEL 3.1 OPERASIONALISASI VARIABEL BEBAS No. VARIABEL DIMENSI INDIKATOR NO. PERT. Komunikasi Komunikator Pesan Media Komunikan Umpan Balik - Penyampaian pesan - Daya tanggap pimpinan - Daya empati - Katalisator - Kejelasan pesan - Kesesuaian dengan sikon - Mamfaat perubahan - Saluran interpersonal - Forum pertemuan - Intensitas pertemuan - Pemanfaatan jaringan - pemamfatan media massa - Daya respon - Kemampuan berubah - Jalinan hubungan - Dukungan lingkungan - Suasana dialogis - Keterbukaan - Tindak lanjut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15,16 17 18 19 20 232 TABEL 3.2 OPERASIONALISASI VARIABEL TERIKAT No. VARIABEL DIMENSI INDIKATOR NO. PERT. Pemberdayaan Sosial Politis Ekonomis Psikologis - Akses terhadap informasi - Kemudahan dalam pelayanan - Keswadayaan - Pemeliharaan gotong royong - Kerjasama sinergis - Kemampuan bargaining - Pemamfaatan wewenang - Peran aktif - Pemihakan - Pemanfaatan bantuan - Realisasi bantuan. - Kelancaran berusaha - Kemampuan daya beli. - Sikap terhadap perubahan - Tanggung jawab. - Kemandirian - Keyakinan 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34,35 36 37 38 3. 3. Metode Penarikan Sampel Kabupaten Cianjur yang memiliki 30 kecamatan terdiri dari 345 desa dan 6 kelurahan terbagi kedalam 3 wilayah, yakni Wilayah Utara sebanyak 15 kecamatan, Wilayah Tengah 7 kecamatan dan Wilayah Selatan 8 kecamatan. Dapat dikatakan bahwa populasi penelitian adalah seluruh lembaga desa yang berperan memberdayakan masyarakat desa di Kabupaten Cianjur. Dalam 233 penelitian ini lembaga desa yag dipilih sebagai mana telah diuraikan sebelumnya yakni ditentukan 3 lembaga desa, yakni Pemeritah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, dengan pertimbangan ketiga lembaga tersebut sama-sama ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan, menentukan arah pembangunan dan mengalami perubahan fungsi, peran serta kedudukan Kepala Desa yang semula menjadi ex officio sebagai ketua pada semua lembaga desa, kini terpisah dengan mengembangkan pola hubungan yang lebih didasarkan pada semangat kemitraan. Dari hasil prasurvey diperoleh rincian populasi sebagai berikut : TABEL 3.3 WILAYAH PENELITIAN DAN JUMLAH POPULASI No Wilayah Kecamatan Desa Populasi 1 Utara 15 183 549 2 Tengah 7 90 270 3 Selatan 8 78 234 Total 30 351 1053 Sumber : Hasil Penelitian, 2007 Untuk mendapatkan sampel yang representatif, maka pemilihan sampel dilakukan secara “Proportionate Stratified Random Sampling”. Untuk menentukan ukuran sampel digunakan rumus berikut : n = n0 1 + n0 – 1 N z ½ a 2 n0 = 2 BE 234 (Harun Al Rasyid, 1996 : 40-48) dengan catatan : n0 > 0,05 N n =
n0
1 + n0 – 1
N
N = Besarnya populasi ( organisasi ).
n = Besarnya sampel
a = Resiko kekeliruan yang mungkin terjadi.
Dengan menggunakan rumus di atas dan mengambil :
¨ Persentasi (p) = 0,5
¨ Derajat Kepercayaan = 95%, a = 5%
¨ Bound of Error (BE) = 8%
Maka besarnya sampel :
Z ½ a
2
1, 96
2
n0 = 2 BE = 2 x 0,08 = 150,062
0,05 N = 0,05 x 1053 = 53.25
jadi : n0 > 0,05 N atau 150,062 > 53.25
maka rumus penentuan sampel yang dipakai :
235
n =
n0
= 150,062
1 + n0 – 1 1 + 150,062 – 1
N 1053
= 131,644 = 132 responden
Oleh karena jumlah lembaga desa yang menjadi sampel berjumlah
132, maka distribusi sampel per wilayah dihitung secara
proportionate dengan cara :
Rumus: 3.2
ni = Besarnya sampel wilayah penelitian
Ni = Jumlah organisasi perwilayah
N = Besarnya populasi
n = Total sampel
maka dengan menggunakan rumus di atas diperoleh alokasi sampel per
wilayah sebagai berikut :
Setelah diketahui besarnya sampel yang berjumlah 132, maka perlu
diketahui besarnya desa sampel dengan membagi 3, karena tiap desa diwakili
oleh 3 lembaga desa ,maka diperoleh 44 desa sampel. Dengan menggunakan
proporsional untuk masing masing wilayah, maka dapat diketahui dengan rumus
yang sama dihitung secara proportionate dengan cara :
Rumus: 3.3
ni = Besarnya desa sampel wilayah penelitian
ni =
Ni
X n
N
ni =
Ni
X n
N
236
Ni = Jumlah sampel perwilayah
N = Besarnya total sampel
n = Total desa sampel
Dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh alokasi sampel desa per
wilayah sebagai berikut :
TABEL 3.4
ALOKASI SAMPEL DESA PER WILAYAH PENELITIAN.
No Wilayah Desa Populasi Sampel Desa sampel
1 Utara 183 549 69 23
2 Tengah 90 270 34 11
3 Selatan 78 225 29 10
Total 351 1053 132 44
Sumber : Hasil penelitian, diolah, 2007.
Dari tabel tersebut dapat diuraikan, selain pemilihan sampel dilakukan secara
“Proportionate Random Sampling, juga dilakukan dengan sampling klaster dua
tahap atau Two-stage cluster sampling. (Rasyid, 1988 : 23; Nasir, 1988 : 332).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
a. Studi kepustakaan, melalui studi kepustakaan data dikumpulkan dengan
cara mempelajari dan menelaah berbagai referensi, peraturan-peraturan
perundangan, kebijakan laporan-laporan dan dokumen-dokumenyang ada di
Pemerintah Kabupaten, Kecamatan dan Desa serta lembaga desa lainnya yang
ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti.
237
b. Observasi, yaitu dengan jalan mengadakan pengamatan langsung di
lapangan dan mencatat mengenai masalah-masalah penting yang ada
hubungannya dengan penelitian ini. Dengan observasi diarahkan untuk
memperoleh gambaran empirik berupa data yang relevan berupa kondisi dan
situasi lapangan.
c. Wawancara, yaitu dilakukan dengan para pejabat yang berkompeten baik
tingkat kabupaten, kecamatan maupun dengan para tokoh masyarakat tingkat
desa, yang menjadi objek penelitian guna membantu memahami gejala
sosial yang timbul secara cermat dan kritis.
d. Kuesioner. Dalam penelitian ini digunakan sebagai instrumen pokok untuk
menjaring sejumlah data yang relevan. Dengan kuesioner dapat
mengungkapkan data yang menyangkut persepsi, sikap, berdasarkan nilai,
pengalaman dan keyakinan responden.
Untuk keperluan analisis secara kuantitatif, maka jawaban pilihan tersebut
dengan menggunakan skala 1 sd 5 dengan kriteria sebagai berikut :
Alternatif jawaban _______ positif
negatif
1. Sangat setuju /Selalu /Sangat baik diberi skor 5 1
2. Setuju / sering / baik diberi skor 4 2
3. Ragu-ragu / kadang-kadang/cukup diberi skor 3 3
4. Tidak setuju / hampir tidak pernah/ kurang diberi skor 2 4
5. Sangat tidak setuju / tidak pernah/ jelek diberi skor 1 5
Dalam penyusunan kuesioner, penulis menggunakan model skala Likert’s
dengan metode summated ratings. Menurut Vredenbregt (1996 : 108) skala
Likert’s tersebut merupakan skala ordinal. Oleh karena itu agar dapat dilakukan
238
pengujian hipotesis penelitian ini dengan path analysis (analisis jalur), maka data
yang diperoleh dengan skala Likert;s perlu dinaikkan menjadi skala interval
dengan menggunakan Method of Successive Interval (MSI).
3.5. Penskalaan
Setelah dilakukan analisis instrumen penelitian, selanjutnya jika instrumen
tersebut valid, reliabel dan konsisten, selanjutnya nilai jawaban responden diubah
skalanya menjadi skala pengukuran interval dengan menggunakan metode
Successive Interval yang caranya dilakukan menurut seperti berikut ini :
a) Perhatikan nilai jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuesioner
b) Untuk setiap pertanyaan tersebut, lakukan perhitungan ada berapa responden
yang menjawab skor 1, 2, 3, 4, 5 = frekuensi ( f )
c) Setiap frekuensi dibagi dengan banyaknya responden dan hasilnya = ( p )
d) Kemudian hitung proporsi kumulatifnya ( pk )
e) Dengan menggunakan tabel normal, dihitung nilai Z untuk setiap proporsi
kumulatif yang diperoleh
f) Tentukan nilai densitas normal ( fd ) yang sesuai dengan nilai Z
g) Tentukan nilai interval (scale value ) untuk setiap skor jawaban dengan rumus
sebagai berikut :
(Area below upper limit) - (Area below lower limit)
( Density at lower limit) - (Density at upper limit)
Scale Value =
h) Sesuaikan nilai skala ordinal ke interval, yaitu Skala Value (SV) yang nilainya
terkecil (harga negatif yang terbesar) diubah menjadi sama dengan jawaban
responden yang terkecil melalui transformasi berikut ini.
239
Transformed Scale Value : SV = SV + { SV min } + 1
3.6. Metode Analisis Data
Sesuai dengan hipotesis dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka analisis penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif.
Disamping itu, untuk lebih memahami fenomena yang diamati, maka dilengkapi
juga dengan analisis kualitatif yakni melalui metode deskriptif. Dalam analisis
data kualitatif yaitu didasarkan pada hasil distribusi skor data yang diperoleh
dengan skor data yang tertinggi yang dicapai. Dari perbandingan nilai tersebut,
sehingga dapat diungkap keadaan atau tingkat kemampuan variabel-variabel yang
diteliti.Adapun mengenai uji hipotesis yang digunakan dalam analisis kuantitatif
digunakan analisi korelasi dan analisis jalur.
b. Pengujian Koefisien Jalur
Sebelum mengambil kesimpulan mengenai hubungan kausal yang
telah digambarkan dalam diagram jalur, terlebih dahulu diuji keberartian
untuk setiap koefisien jalur yang telah dihitung. Untuk menguji koefisien jalur
tersebut dapat ditempuh melalui dua cara yaitu : secara keseluruhan (overall)
dan secara individual.
1. Pengujian Secara Keseluruhan
Hipotesis pada pengujian keseluruhan ini adalah :
Ho : pYx1 = pYx2 = pYY = …. = pYxk = 0
Tidak Terdapat hubungan yang signifikan antara Komunikasi dengan
pemberdayaan masyarakat.
H1 : Sekurang-kurangnya ada sebuah pYxi ¹ 0
Terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi dengan
pemberdayaan masyarakat.
Dengan statistik uji F pada Tabel ANOVA :
F =
n k R
k R
YX X X
YX X X
k
k
- -
-
1
1
1 2
1 2
2
2
240
Dengan derajat bebas v1 = k dan v2= n-k-1 tolak Ho jika F hitung lebih
besar dari Fa, v1,v2 atau bandingkan nilai signifikansi (pada SPSS) dengan nilai
a, jika nilai sig < a maka Ho ditolak. Hipotesis statistik yang akan diuji : Ho : pYxi = 0 , Faktor Komunikasi tidak berpengaruh nyata terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan desa di Kabupaten Cianjur H1 : pYxi ¹ 0 Faktor Komunikasi berpengaruh nyata terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan desa di Kabupaten Cianjur Rumus pengujian : 1 (1 2 ) 1 2 ... 5 - - - = n k R CR p t YX X X ii YX i i i= 1,2…6 Statistik uji di atas mengikuti distribusi t dengan derajat bebas n-k-1, tolak Ho jika t hitung lebih besar dari t(1-a;- n-k-1). atau bandingkan nilai signifikansi (pada SPSS) dengan nilai a, jika sig.< a maka Ho ditolak. Sedangkan keberartian koefisien korelasi antar variabel X1 sampai dengan X6 dengan hipotesis sebagai berikut : Ho : rxixj = 0 i, j = 1,2,...,6 H1 : rxixj ¹ 0 Dengan statistik uji sebagai berikut : t r n k r = - - - 1 1 2 241 Kriteria uji : Tolak H0 jika t hitung > t tabel = t(1-a/2 ; n-k-1) atau t hitung < -t (1-a/2 ; n-k-1) Jika dari hasil pengujian koefisien korelasi antara variable X signifikan, hal itu menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang nyata antar faktorKomunikasi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1.1. Keadaan Geografis Kabupaten Cianjur Kabupaten Cianjur secara geografis terletak berada di tengah Propinsi Jawa Barat, yakni diantara 6. 21’ – 7. 25’ Lintang Selatan dan 106. 42’ – 107. 25’ Bujur Timur. Letak Kabupaten Cianjur sangat strategis yang berada pada jalur regional dan sebagai urat nadi mobilitas penduduk, barang dan jasa antar 2 propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat. Posisi tersebut telah memberikan peluang dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang memberi dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat Cianjur. Dengan kearanekaragam kegiatan telah berkembang sedemikian rupa, sehingga menunjukkan kontribusi yang begitu besar dalam mendukung percepatan pembangunan diberbagai sektor termasuk pembangunan perdesaan. Luas wilayah Kabupaten Cianjur adalah 350.148 Ha yang secara administratif berbatasan dengan : - Sebelah Utara adalah Kabupaten Bogor dan Purwakarta; 242 - Sebelah Barat adalah Kabupaten Sukabumi; - Sebelah Selatan adalah Samudera Indonesia; dan - Sebelah Timur adalah Kabupaten Bandung dan Garut. Secara geografis wilayah Kabupaten Cianjur terbagi dalam 3 bagian, yakni : Cianjur Bagian Utara, Cianjur Bagian Tengah, dan Cianjur Bagian Selatan. 1. Cianjur Bagian Utara, merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede yang sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan areal perkebunan dan persawahan, secara topografi berada pada ketinggian sekitar 2.962 m di atas permukaan laut. Wilayahnya juga meliputi daerah puncak dengan ketinggian sekitar 1.450 m, wilayah perkotaan Cipanas (Kecamatan Pacet dan Sukaresmi) dengan ketinggian 1.110 m, serta Kota Cianjur dengan ketinggian sekitar 450 m di atas permukaan laut. Sebagian daerah ini merupakan dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan perkebunan dan persawahan. Di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor terdapat Gunung Salak, yang merupakan gunung api termuda dan sebagian besar permukaannya ditutupi bahan vulkanik . Cianjur Bagian Barat ini meliputi 15 Kecamatan, yakni Kecamatan Cibeber, Bojong Picung, Ciranjang, Karang Tengah, Cianjur, Warung Kondang, Cugenang, Pacet, Mande, Cikalong Kulon, Sukaluyu, Cilaku, Sukaresmi, Gekbrong dan Cipanas. 2. Cianjur Bagian Tengah, merupakan perbukitan, tetapi juga terdapat dataran rendah persawahan, perkebunan yang dikelilingi oleh bukit-bukit kecil yang tersebar dengan keadaan struktur tanahnya yang labil, sehingga sering terjadi tanah longsor. Terdapat 7 Kecamatan di wilayah tengah terdiri dari : 243 Kecamatan Tanggeung, Pagelaran, Kadupandak, Takokak, Sukanagara, Campaka dan Campaka Mulya. 3. Cianjur Bagian Selatan, merupakan dataran rendah yang terdiri dari bukit-bukit kecil diselingi pegunungan yang melebar ke Samudera Indonesia. Diantara bukit-bukit dan pegunungan tersebut terdapat pula persawahan dan ladang huma. Dataran terendah di selatan Cianjur mempunyai ketinggian sekitar 7 m di atas permukaan laut. Seperti halnya daerah Cianjur Bagian Tengah, Bagian Selatanpun tanahnya labil dan sering terjadi longsor. Disini terdapat juga areal persawahan dan perkebunan, tetapi tidak begitu luas. Kecamatan yang termasuk wilayah ada 8 kecamatan yang terdiri dari : Kecamatan Agrabinta, Leles, Sindang Barang, Cidaun, Naringgul, Cibinong, Cikadu dan Cijati. Dari data lapangan diperoleh bahwa secara keseluruhan di Kabupaten Cianjur terdapat 30 Kecamatan, 345 Desa dan 6 kelurahan. Ini berarti Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kabupaten yang amat luas, dengan luas keseluruhan 35.148 ha. Selanjutnya mengenai pengembangan pusat kegiatan dan pelayanan di Kabupaten Cianjur didasarkan pada adanya lima pertimbangan, yakni : 1) Mewujudkan Visi dan Misi Kabupaten Cianjur; 2) Menyelaraskan antara perkembangan penduduk dan kebutuhan kelengkapan sarana dan prasarana pada setiap wilayah; 3) Pemecahan pengembangan wilayah; 4) Mewujudkan aspirasi masyarakat; serta 5) Mewujudkan rencana struktur tata ruang, 4.1.2 Visi , Misi, Arah Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Daerah 244 Kabupaten Cianjur. Visi Kabupaten Cianjur adalah “Cianjur lebih cerdas, sehat, sejahtera dan berakhlaqul karimah”. Sedangkan Misi Kabupaten Cianjur yaitu : 1. Meningkatkan akses terhadap pendidikan yang bermutu. 2. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 3. Meningkatkan pembangunan ekonomi yang berbasis potensi lokal. 4. Meningkatkan pembinaan akhlaqul karimah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Program percepatan pembangunan di Kabupaten Cianjur memakai pola pembagian wilayah pembangunan partisipatif. Tahun 2006-2011 merupakan tahap Lima Tahun mewujudkan Cianjur yang cerdas, sehat, sejahtera, dan berakhlaqulkarimah, adalah tahap pertama pembangunan yang diamanatkan dalam RPJP Daerah 2006-2026 yang merupakan dasar dari pembangunan ekonomi. Pada intinya hal ini merupakan pola pembangunan komprehensif dan holistik seluruh komponen masyarakat Kabupaten Cianjur. Pola pembangunan wilayah partisipatif dalam pelaksanaannya terbagi dalam 5 (lima) tahun anggaran, dimana 30 Kecamatan di Kabupaten Cianjur dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah pembangunan fokus per tahun anggaran, sehingga secara bertahap dan sistematis dalam 5 tahun anggaran akan terjadi proses pembangunan partisipatif, yaitu kondisi dimana masyarakat selaku subjek pembangunan berperan serta aktif dalam upaya peningkatan kualitas hidup (Indeks Pembangunan Manusia). Kondisi yang diterapkan diharapkan mampu meningkatkan keberdayaan, kredibilitas dan kreativitas, serta mampu menciptakan kemandirian masyarakat Kabupaten Cianjur. 245 4.1.3. Program Penanggulangan Kemiskinan, Pemberdayaan masyarakat dan Pembinaan oleh Pemerintah Daerah. Berdasarkan perhitungan, batas garis kemiskinan (Pendapatan per kapita) pada tahun 2004 di Kabupaten Cianjur sebesar Rp.121.902,00/kapita/bulan, kemudian diperkirakan meningkat menjadi Rp.141.382,04/kapita/bulan pada tahun 2011. Jumlah penduduk miskin (versi BLT) pada tahun 2004, sedangkan pada tahun 2005 KK miskin sebanyak 161.552 KK atau 28,24%, sedangkan pada tahun 2011 KK miskin diprediksikan tinggal 18,24% dari jumlah penduduk pada tahun 2011. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang dijabarkan dengan Perda Kabupaten Cianjur Nomor 22 tahun 2000 tentang Organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Cianjur dan Keputusan Bupati Cianjur Nomor 28 tahun 2001, bahwa nomenklatur PMD adalah “Kantor Pemberdayaan Masayarakat Desa” berkedudukan di tingkat Kabupaten Cianjur, merupakan unsur penunjang pemerintah kabupaten dipimpin oleh seorang kepala kantor yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati Cianjur melalui Sekretaris Daerah dan mempunyai eselonering III/a. Dalam menjalankan tugas pokoknya Kantor PMD mempunyai fungsi yaitu: (a) Penyelenggaraan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten di bidang pemberdayaan masyarakat desa. (b) Penyiapan bahan perumusan kebijakan umum pemerintah kabupaten di bidang pemberdayaan masyarakat desa. (c) Perumusan kebijakan teknis di bidang pemberdayaan masyarakat desa. 246 (d) Penyelenggaraan pelayanan umum serta pelaksanaan teknis pemberdayaan masyarakat desa. (e) Pembinaan teknis pemberdayaan aparatur dan hubungan aparatur pemerintah. (f) Penyelenggaraan tugas yang diberikan Bupati. (g) Pembinaan terhadap kelompok jabatan fungsional. Dalam menjalankan fungsinya tersebut Kantor PMD Kabupaten Cianjur bekerja menganut prinsip partisipatif, pendekatan kelompok (group work) atau lembaga kemayarakatan yang ada di desa , sesuai dengan budaya setempat dan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dan bukannya menciptakan ketergantungan (capacity building). PMD selaku Instansi pemerintah daerah berperan selaku koordinator dan fasilitator setiap program dan kegiatan pembangunan/pemberdayaan masyarakat di desa. Sedangkan masyarakat berperan tidak lagi hanya sebagai obyek pembangunan/pemberdayaan saja, tetapi adalah juga sebagai subyek atau pelaku pembangunan/pemberdayaan dirinya sendiri melalui kegiatan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di desa. Adapun Susunan Organisasi Kantor PMD Kabupaten Cianjur terdiri : (a) Kepala Kantor (b) Subbagian Tata Usaha (c) Seksi Pengembangan Desa (d) Seksi Binal Lembaga Masyarakat Desa (e) Seksi Bina Lembaga Masyarakat Desa (f) Seksi Bina Perekonomian Desa (g) Seksi Bina Sarana dan Prasarana Desa (h) Seksi Pemanfaatan Sumber Daya Alam Keadaan personalia Kantor PMD Kabupaten Cianjur adalah 36 orang terdiri dari :34 orang PNS dan 2 orang Tenaga Bantuan. Berdasarkan Tingkat Pendidikan S2 sejumlah 2 orang, S1 = 9 orang, D3 = 1 orang dan SLTA = 24 orang. Dari seluruh pegawai yang telah mengikuti Diklat Struktural & Teknis 247 Fungsional Diklatpim Tk. II 1 orang, SPAMa 1 orang, ADUMLA = 6 orang, ADUM = 10 orang, Kursus Manajemen Proyek 4 orang, Kursus Bendaharawan 4 orang, Substantif ke-PMD-an 7 orang dan Kursus Administrasi Kepegawaian 4 orang. Namun seiring dengan banyaknya perubahan di berbagai sektor pemerintahan maka program pemberdayaan masyarakat desa yang ditangani/dikelola dan menjadi kewenangan Kantor PMD-pun mulai banyak mengalami perubahan serta sedikit demi sedikit berpindah kewenangan ke instansi lain dan berubah nomenklatur serta mekanisme pelaksanaannya. Akibatnya makna dari program pemberdayaannyapun mulai hilang yaitu kurang memperhatikan peningkatan partisipasi dan keswadayaan masyarakat yang menjadi ciri dari pemberdayaan masyarakat itu sendiri. 4.2. Karakteristik Responden. Untuk menggambarkan mengenai keadaan responden, maka penulis sajikan kara kteristik berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, usia dan dari unsur terkait sebagaimana terlihat dalam tabel di berikut ini : TABEL : 4.1 KEADAAN RESPONDEN BERDASARKAN PENDIDIKAN LEMBAGA DESA No. PENDIDIKAN PEM.DESA B P D L P M F % 1. 2. 3. 4. 5. SD SLTP SLTA D3 S1 3 12 23 4 2 - 9 21 2 12 - 5 25 6 8 3 26 69 12 22 2,27 19,70 52,27 9,09 16,67 JUMLAH 44 44 44 132 100,00 Sumber : Hasil Penelitian, 2007 248 Dari sejumlah sampel yang diteliti, ternyata pengurus lembaga desa berpendidikan SD 3 orang ( 2,27 %), SLTP 26 orang (19,70 %), SLTA 69 orang (52,27 %), PT terdiri dari D- 3 12 orang dan S-1 22 orang (16,67 %). Dengan komposisi tingkat pendidikan seperti ini, hal ini terkait dengan kemampuan daya serap dan daya adaptasi para pengurus kelembagaan desa dalam menjalankan tugas ,fungsi dan kewenangannnya dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa. Namun tingkat pendidikan akan banyak ditunjang oleh pengalaman yang telah digeluti sebelumnya. Bagaimana mengenai keadaan usia responden, hal ini terlihat dalam tabel di bawah ini. TABEL : 4.2. KEADAAN RESPONDEN BERDASARKAN USIA LEMBAGA DESA No. U S I A PEM.DESA B P D L P M F % 1. 2. 3. 4. 5. 20 – 29 30 – 39 40 – 49 50 – 59 60 ke atas 6 10 15 10 3 4 8 26 5 1 8 12 14 8 2 18 30 55 23 6 13,64 22,72 41,67 17,43 4,54 JUMLAH 44 44 44 132 100,00 Sumber : Hasil Penelitian, 2007 Melihat tabel di atas sebagian besar responden yang berusia 40-49 (41,67 %), disusul yang berusia 30-39 (22,72 %), dan yang paling sedikit yang berusia 60 ke-atas (4,54 %). Hal ini menunjukkan bahwa para pengurus lembaga desa sebagian besar relatif yang sudah berusia dewasa. Terkait dengan usia ini umumnya mereka berada pada masa produktif. TABEL : 4.3 KEADAAN RESPONDEN BERDASARKAN MATA PENCAHARIAN 249 LEMBAGA DESA No. Mata Pencaharian PEM.DESA B P D L P M F % 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Petani/Buruh tani Guru Pamong Desa Wiraswasta/Dagang PNS non Guru Pensiunan 16 - 22 6 - - 7 19 - 9 8 1 5 18 - 11 7 3 28 37 22 26 15 4 21,21 28,03 16,67 19,70 11,36 3,03 JUMLAH 44 44 44 132 100,00 Sumber : Hasil Penelitian, 2007 Dari tabel di atas, mempelihatkan sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai guru dan petani , disusul petani dan yang lainnya. Kondisi mata pencaharian di desa sampel menunjukkan juga kecenderungan bahwa masyarakat desa di kabupaten Cianjur masih didominasi mereka yang bekerja sebagai guru dan petani. Hal ini dikarenakan guru dianggap sebagai salah satu elit desa yang umumnya memiliki tingkat pengetahuan dan kepekaan sosial yang relatif lebih baik. Sedangkan para petani dilibatkan ,hal ini sejalan dengan banyaknya kegiatan pembangunan desa yang berorientasi pada sektor pertanian. Jenis mata pencaharian ini tentu akan memiliki keterkaitan dengan pola hidup dan pola kerja dalam membangun desa. 4.3. Analisis Deskriptif Variabel Penelitian. Bab ini menyajikan hasil penelitian yang dituangkan dalam dua analisis yaitu analisis deskriptif dan analisis statistik kuantitatif. Analisis deskriptif berusaha menyajikan gambaran menyeluruh sesuai dengan objek penelitian dan teori yang dijadikan rujukan untuk diuji 250 melalui data empiris yang diperoleh atas dasar hasil penyebaran kuesioner, wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Pendeskripsian dan analisis variabel didasarkan pada akumulasi berbagai indikator dan dimensi yang diukur, selanjutnya diinterpretasikan berdasarkan analisis data primer maupun sekunder. Pengukuran atas variabel-variabel penelitian ditentukan berdasarkan penilaian sikap, persepsi atau pandangan responden terhadap setiap item pertanyaan yang diajukan kemudian data diolah dalam bentuk tabulasi. Selanjutnya jawban setiap indikator terakumulasi dalam dimensi dan akulmulasi dimensi tersebut merupakan kategori sikap responden terhadap suatu variabel. 4.3.1 Variabel Komunikasi Faktor komunikasi memegang peranan penting dalam upaya pemberdayaan masyarakat terutama dalam menciptakan iklim perubahan yang kondusif. Oleh karena itu, Kepala Desa sebagai sumber penyampai pesan harus benar-benar tanggap terhadap informasi dan setiap kebijakan pembangunan dan mampu menterjemahkannya ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi yang tepat, dapat memilih saluran media yang cocok serta menyediakan umpan balik untuk mengetahui respon masyarakat. Dengan demikian, diharapkan mampu menumbuhkan berbagai perubahan nilai dan sikap yang positip, adanya persepsi yang sama dan terjalinnya hubungan yang harmonis dengan pihak atau lembaga 251 lain yang terkait. Untuk mengungkap hasil penelitian dari sub variabel komunikasi, pada tabel berikut disajikan data tersebut. TABEL 4.4 VARIABEL KOMUNIKASI ( n= 132 ) NO. Jawaban KODE Fi A B C D E Xi fi.xi fi.xi KATEGORI DIMENSI KEMAMPUAN KOMUNIKATOR 1 Penyampaian pesan P1 4 53 29 30 16 1 2 3 4 5 4 106 87 120 80 397 Cukup 2 Daya tanggap pimpinan P 2 4 52 62 13 1 1 2 3 4 5 4 104 186 52 5 351 Cukup 3 Daya empati P 3 31 58 37 5 1 5 4 3 2 1 155 232 111 10 1 509 Tinggi 4 Katalisator P 4 6 42 73 10 1 5 4 3 2 1 30 168 219 20 1 438 Cukup JUMLAH 1695 Cukup DIMENSI PESAN 5 Kejelasan pesan P 5 17 72 39 3 1 5 4 3 2 1 85 288 117 6 1 497 Tinggi 6 Kesesuaian dengan sikon P 6 11 50 65 5 1 5 4 3 2 1 55 200 195 10 1 461 Tinggi 7 Mamfaat perubahan P 7 11 67 46 7 1 1 2 3 4 5 11 134 138 28 5 316 Rendah JUMLAH 1274 Cukup DIMENSI MEDIA 8 Saluran interpersonal P 8 7 44 71 9 1 5 4 3 2 1 35 176 213 18 1 443 Cukup 9 Forum pertemuan P 9 17 77 35 2 1 5 4 3 2 1 85 308 105 4 1 503 Tinggi 10 Intensitas pertemuan P 10 11 70 48 2 1 5 4 3 2 1 55 280 144 4 1 484 Tinggi 11 Pemanfaatan jaringan P11 4 52 48 24 4 5 4 3 2 1 20 208 144 48 4 424 Cukup 12 Pemamfatan media massa P12 24 62 39 6 1 5 4 3 2 1 120 248 117 12 1 498 Tinggi JUMLAH 2352 Tinggi DIMENSI KOMUNIKAN 13 Daya respon P13 18 59 45 9 1 5 4 3 2 1 90 236 135 18 1 480 Tinggi 14 Kemampuan berubah P14 15 63 46 7 1 1 2 3 4 5 15 126 138 28 5 312 Rendah 15 Jalinan hubungan P15 9 44 66 12 1 1 2 3 4 5 9 88 198 48 5 348 Cukup Jalinan hubungan P16 9 44 60 18 1 1 2 3 4 5 9 88 180 72 5 354 Cukup JUMLAH 1494 Cukup DIMENSI UMPAN BALIK 16 Dukungan lingkungan P17 8 77 39 5 3 5 4 3 2 1 40 308 117 10 3 478 Tinggi 17 Suasana dialogis P18 14 49 50 16 3 5 4 3 2 1 70 196 150 32 3 451 Tinggi 18 Keterbukaan P 19 14 69 38 8 3 5 4 3 2 1 70 276 114 16 3 479 Tinggi 19 Tindak lanjut P20 9 29 28 52 14 5 4 3 2 1 45 116 84 104 14 363 Cukup JUMLAH 1771 TOTAL SKOR SUB VARIABEL 858 6 Cukup Sumber : Hasil Penelitian, 2007. SV – X6 D16 D17 D18 D19 D20 Nilai indeks minimum = 1 X 20 x 132 = 2.640 Nilai indeks maksimum = 5 X 20 x 132 = 13.200 Range = 13.200 - 2.640 = 10.560 Jenjang range = 10.560 : 5 = 2.112 252 SANGAT RENDAH RENDAH CUKUP TINGGI SANGAT TINGGI 2.640 4.752 6.864 8.976 11.088 13.200 8.586 8.586 X 100% = 65% 13.200 Sumber : Hasil olah data, 2007. Mengkaji tabel di atas, memperoleh gambaran bahwa tanggapan responden dari sub variabel komunikasi menunjukkan hasil yang bervariasi dari hasil perolehan masing-masing dimensi, namun dari apa yang diungkapkan dari tabel tadi merupakan gambaran satu kesatuan yang saling berkaitan secara komulatif. Menurut hasil pengolahan data, didapat skor total sebesar 8586 yang berarti berada pada kategori cukup baik. Dari data tersebut bermakna, bahwa kemampuan berkomunikasi Kepala Desa berdasarkan unsur-unsur komunikasi yang diuji dapat dikatakan cukup berhasil dengan segala variasinya . Dimensi Komunikator. Ditinjau dari dimensi komunikator (P.1-4) yang menyangkut dalam penyampaian pesan, daya tanggap, kemampuan menyampaikan pesan secara jelas terhadap pesan-pesan pembangunan, daya empati dan sebagai katalisator, dari data yang diolah cukup mendapat tanggapan yang positif dengan total skor 1695 yang berarti cukup tinggi Dari data tersebut menunjukkan, bahwa kemampuan komunikasi pimpinan sudah cukup baik, hal ini menurut pernyataan sejumlah responden, yaitu “Karena Kepala Desa berkepentingan dalam melancarkan roda pemerintah dan pembangunan, terutama yang berhubungan dengan implementasi kebijakan yang telah digariskan dari tingkat atasnya yang senantiasa melibatkan setiap unsur dalam masyarakat”. 253 Dari uraian di atas, yang jelas bahwa kemampuan daya tanggap Kepala Desa dalam menerima dan menyampaikan setiap informasi kepada masyarakat melalui media tertentu senantiasa diupayakan dan masyarakat pada umumnya mengetahui sebagian dari informasi pembangunan yang tengah terjadi. Tapi itu semua belum menjamin dapat merubah sikap dan tindakan masyarakat ke arah positif, jika tidak dibarengi dengan sikap empathy dari kepala desa untuk mengatasi persoalanpersoalan yang timbul di masyarakat, terutama untuk turut merasakan dan terjun mengatasi masalah yang dihadapi warga. Sebab dengan sikap empathy tersebut menurut Onong U. Effendi (1981 : 129), “Akan menimbulkan simpati, karena ia dapat memahami frame of reference masyarakat, mengetahui waktu, situasi dan kondisi yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesan dan dapat memilih saluran media yang cocok serta mau mendengar keluhan dari masyarakatnya”. Dimensi Pesan . Dari hasil olah data menunjukkan ,bahwa dari sisi penyampaian pesan (P5-7) hasil olah data menunjukkan kategori cukup. Dari hasil olah data di atas, diperoleh gambaran bahwa masih banyak ditemui mengenai kesulitan yang dihadapi Kepala Desa dalam penyampaian pesan, selain karena kondisi masyarakat yang sangat beragam dari segi kepentingan, waktu dan lokasi yang jauh, juga kesibukan mengurus tugas-tugas sebagai Kepala Desa dan tugas-tugas lain diluar sebagai Kepala Desa untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Karena disamping menjadi Kepala Desa, ada pekerjaan lain seperti sebagai pedagang, pengusaha, PNS dan sebagainya. Dengan demikian memang diakui, bahwa sebagian responden menyatakan masih banyak informasi penting yang kurang banyak diketahui, misalnya 254 mengenai penanganan BLT, Raskin, Program-program bantuan dari pemerintah. Hal ini bisa menimbulkan suasana kurang kondusif terutama pada peran lembaga desa lain sebagai mitra kerja .Hal ini menurut sejumlah responden disebabkan Kepala Desa biasanya hanya menyampaikan pesan-pesan tertentu terbatas pada orang-orang tertentu saja. Adanya selektifitas dalam penyampaian informasi seperti ini, menurut penuturan pengurus lembaga desa tidak bisa dikatakan salah, karena tidak setiap informasi layak untuk dikonsumsi oleh semua masyarakat, namun jika ada hal-hal yang justru seharusnya diketahui kemudian tidak disebarkan, hal ini bisa menimbulkan prasangka dan hubungan yang kurang harmonis. Penggunaan Media Terkait hal tadi, jika diamati hasil penelitian di lapangan, mengenai kemampuan Kepala Desa dalam menggunakan media dalam berhubungan dengan masyarakat terutama tokoh masyarakat/ulama yang ada di desa, .dari pernyataan (P.8-12 ) diperoleh skor 2352 yang berarti dapat dikategorikan nilai tinggi. Data tersebut menunjukkan betapa Kepala Desa dalam merangkul masyarakat desa, melalui media dalam bentuk forum pertemuan, saluran interpersonal dan pemamfatan jaringan masih banyak menghadapi kesulitan. Tendensi ini nampak dalam upaya mengajak masyarakat dan kelompok masyarakat yang ada masih bersifat parsial belum terintegrasi, baik secara fungsional maupun struktural. Contoh konkrit misalnya, dalam upaya menggalakkan swadaya masyarakat, penggalakan kegiatan PKK, pendirian dan pengelolaan BUMDES, penyelenggaran Imunisasi, Pembinaan generasi muda dan 255 sebagainya. Menurut penuturan dari para pengurus lembaga desa biasanya bila terjadi kebuntuan informasi, karena belum optimalnya intensitas dalam pemamfatan media yang digunakan karena kendala di lapangan. Dari sisi komunikan, bagaimana efektivitas komunikasi dari sisi komunikan, terutama yang berkaitan dengan daya respon, kemampuan berubah, jalinan hubungan secara internal maupun eksternal. Dari perhitungan hasil olah data jumlah skor yang diperoleh dari (P.13- 16 ), menunjukkan persentase yang dinilai sedang. Tinggi rendahnya pemahaman masyarakat akan pesan-pesan yang disampaikan dapat dilihat dari daya respon, sikap kemampuan dan jalinan hubungan yang dibina. Dari daya respon masyarakat tentu sangat tergantung dari banyak faktor diantaranya, nilai mamfaat stimulan, pengakuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap informasi yang diterima. Pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat desa pasip, apatis tidak selamanya benar, justru dewasa ini dengan adanya perubahan konstelasi politik pada level atas, memiliki implikasi pada masyarakat tingkat desa. Menurut penuturan dari pejabat kecamatan bahwa “Masyarakat desa kini sudah semakin kritis, bahkan mampu mengekspresikan diri dalam bentuk unjuk rasa melalui cara-cara tertentu yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan pihak penguasa, cara mereka lebih merupakan bentuk latah (peniruan) cara-cara yang mereka lihat dari mass media, walaupun kadang tidak jelas arahnya sasarannya”. Dari ilustarsi tersebut, mengisyaratkan bahwa masyarakat desa melalui lembaga yang ada sebenarnya mulai menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab sebagai masyarakat untuk kemajuan di desanya. Dari hasil 256 penelitian lapangan menunjukkan bahwa tanggapan masyarakat terhadap perubahan peran, fungsi dan misi kelembagaan desa sebenarnya belum banyak dihayati oleh aparat pada khususnya dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah perubahan yang substansial. Adanya perubahan pada struktur organisasi, prosedur teknis yang diberlakukan dalam era otonomi ini, belum berimplikasi pada perubahan nilai dan orientasi lainnya. Adanya sikap apatisme dan pasip terhadap program yang dibangun oleh lembaga desa biasanya disebabkan adanya ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Kepala Desa yang dipandang tidak sesuai dengan harapan serta adanya kelompok oposisi dari simpatisan Kepala Desa yang kalah dalam pemilihan Kepala Desa sebelumnya. Selanjutnya dalam konteks peranan Kepala Desa sebagai penghubung (linker) dengan sumber-sumber yang diperlukan , yaitu menyangkut hubungan dengan lembaga-lembaga desa lain secara horizontal dan dan pihak-pihak supra desa secara vertikal dalam soal pembangunan desa,kendatipun hal ini dilakukan tapi belum optimal. Sebenarnya membangun hubungan antar lembaga desa amat penting mengingat dalam era desentralisasi, seorang Kepala Desa sebagai pemimpin tidak lagi menjadi penguasa tunggal, tapi dalam setiap tindakan harus mampu berkolaborasi dengan lembaga desa lainnya sebagai mitra dan lembaga supra sebagai pembina. Dari hasil olah data mengenai hubungan kerja dengan lembaga pembina menunjukkan tingkat kategori sedang. Hal ini bermakna kendatipun upaya-upaya untuk melakukan hubungan kerja itu ada, namun cenderung lebih merupakan kegiatan rutin belum terstruktur yang mengarah pada upaya perubahan signifikan terhadap keberdayaan masyarakat yang mampu secara kreatif dan mandiri. 257 Untuk mengungkap umpan balik, yakni bagaimana sikap masyarakat terhadap berbagai pesan yang disampaikan, perlu diketahui umpan balik yang dapat menimbulkan dampak dan perubahan tingkah laku serta dukungan masyarakat. Dari hasil olah deskriptif diperoleh keterangan sebagian responden memberi tanggapan yang positif.(P17-20 ). Hal ini diperlihatkan dari jawaban responden dengan jumlah skor 1771 yang berarti cukup. Perolehan nilai ini perlu dikritisi dengan mengungkap terlebih dulu tentang bagaimana suasana dialogis yang dibangun di tingkat desa ketika terjadi stagnasi informasi yang berakibat pada lambatnya dalam penanganan masalahan yang harus segera dipecahkan. Data tersebut agak berbeda dari hasil wawancara dengan para pengurus LPM, BPD yang menyebutkan : “Pada dasarnya masyarakat senantiasa mendukungan terhadap upaya pembangunan untuk kemajuan desa, namun itu semua sangat tergantung bagaimana pihak pemerintah dalam menciptakan suasana dialogis, keterbukaan dan tindak lanjut dari apa yang telah diusulkan atau disepakati bersama”. Suasana dialogis tercipta bila semua pihak memandang adanya rasa saling percaya untuk membangun rasa kebersamaan. Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada umumnya sikap dan dukungan masyarakat terhadap pembangunan desa masih cukup tinggi, walaupun dukungan tersebut karena adanya mobilisasi dari aparat untuk ikut terjun membantu dalam pembangunan sarana dan prasana fisik. Dalam masyarakat masih ada pandangan bahwa urusan pembangunan merupakan urusan pemerintah. Persepsi semacam ini terpatri cukup lekat, akibat sentralisasi politik 258 pembangunan oleh pemerintah sebelumnya (Orde Baru) demikian dominan, sehingga akses kehidupan lembaga desa menjadi amat terbatas. Persoalan seperti itu tentu bukan merupakan tanggung jawab pada pundak Kepala Desa semata, tapi menjadi tanggung jawab semua pihak yang berkompeten terhadap “survivenya” lembaga desa dalam menjalankan fungsi dan peranannya dalam pembangunan desa, terutama tim Pembina Lembaga Desa oleh pemerintah supra desa. 4.3.2. Variabel Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan. Untuk menganalisis derajat pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, dengan mengacu pada kerangka pemikiran sebelumnya, dalam penelitian ini dilihat dari 4 dimensi, yakni dimensi pemberdayaan sosial, politik, ,ekonomi dan psikologis (Friedmann, 1992 : 33; Ndraha, 2000: 80-81). Mendorong pemberdayaan masyarakat berarti memberi ruang bagi pengembangan kreasi ,potensi dan inovasi masyarakat, memberi peluang masyarakat untuk mengakses terhadap sumber-sumber dan pelayanan publik, memberi ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Berdasarkan hasil olah data, diperoleh deskripsi sebagai berikut : TABEL 4.5 VARIABEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (n= 132) NO. JAWABAN KODE fi A B C D E xi fi.xi fi.xi KATE GORI DIMENSI PEMBERDAYAAN SOSIAL 20 Akses terhadap informasi P21 8 54 68 1 1 1 2 3 4 5 8 108 204 4 5 329 Rendah 21 Kemudahan dalam pelayanan P22 14 74 41 2 1 5 4 3 2 1 70 296 123 4 1 494 Tinggi 22 Keswadayaan P23 20 60 40 8 4 5 4 3 2 1 100 240 120 16 4 480 Tinggi 23 Pemeliharaan gotong royong P24 15 56 58 2 1 1 2 3 4 5 15 112 174 8 5 314 Rendah 259 24 Kerjasama sinergis P25 11 29 70 20 2 5 4 3 2 1 55 116 210 40 2 423 Cukup JUMLAH 2040 Cukup DIMENSI PEMBERDAYAAN POLITIK 25 Kemampuan bargaining P26 5 42 76 8 1 5 4 3 2 1 25 168 228 16 1 438 Cukup 26 Pemamfaatan wewenang P27 4 39 80 8 1 5 4 3 2 1 20 156 240 16 1 433 Cukup 27 Peran aktif P28 16 78 35 2 1 5 4 3 2 1 80 312 105 4 1 502 Tinggi 28 Pemihakan P29 16 65 46 4 1 1 2 3 4 5 16 130 138 16 5 305 Rendah JUMLAH 1678 Cukup DIMENSI PEMBERDAYAAN EKONOMI 29 Pemanfaatan bantuan P30 1 40 52 35 4 1 2 3 4 5 1 80 156 140 20 397 Cukup 30 Realisasi bantuan. P31 30 78 22 0 2 5 4 3 2 1 150 312 66 0 2 530 Tinggi 31 Kelancaran berusaha P32 23 66 38 4 1 5 4 3 2 1 115 264 114 8 1 502 Tinggi 32 Kemampuan daya beli. P33 14 82 34 2 0 1 2 3 4 5 14 164 102 8 0 288 Rendah JUMLAH 1717 Cukup DIMENSI PEMBERDAYAAN PSIKOLOGIS 33 Sikap terhadap perubahan P34 1 35 72 23 1 5 4 3 2 1 5 140 216 46 1 408 Cukup Sikap terhadap perubahan P35 4 36 66 24 2 5 4 3 2 1 20 144 198 48 2 412 Cukup 34 Tanggung jawab. P36 8 81 26 9 8 5 4 3 2 1 40 324 78 18 8 468 Tinggi 35 Kemandirian P37 15 40 51 21 5 5 4 3 2 1 75 160 153 42 5 435 Cukup 37 Keyakinan P38 14 69 37 9 3 5 4 3 2 1 70 276 111 18 3 478 Tinggi JUMLAH 2201 Cukup TOTAL SKOR SUB VARIABEL 7636 Cukup Sumber : Hasil penelitian, 2007. SV – Y D21 D22 D23 D24 Nilai indeks minimum = 1 X 18 x 132 = 2.376 Nilai indeks maksimum = 5 X 18 x 132 = 11.880 Range = 11.880 - 2.376 = 9.504 Jenjang range = 9.504 : 5 = 1.901 SANGAT RENDAH RENDAH CUKUP TINGGI SANGAT TINGGI 2.376 4.277 6.178 8.078 9.979 11.880 7.636 7.636 X 100% = 64% 11.880 Sumber :Hasil olah data,2007 Mencermati hasil penelitian berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa keberdayaan masyarakat dalam pembangunan yang dilihat dari 4 dimensi menunjukkan tingkat kemampuan yang secara umum cukup memberi harapan, dengan skor yang diperoleh sebesar 7636. 4.3.2.1. Pemberdayaan Sosial. 260 Dari dimensi keberdayaan sosial yang diperlihatkan dari (P.21-25) mengisyatkan bahwa kemampuan masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan terutama keterlibatan baik secara individu maupun kelompok dalam proses pembangunan desa sudah cukup memadai. Hal ini bisa ditelusuri dari hasil penelitian dari beberapa indikator yakni dari akses masyarakat terhadap informasi, pelayanan, derajat keswadayaan, pemeliharaan nilai gotong royong dan kerjasama sinergis, ternyata responden memberi tanggapan cukup baik, dengan skor yang diperoleh 2040 yang berarti cukup. Hal ini berarti bahwa secara sosiologis masyarakat desa memiliki kemampuan untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi antar anggota maupun komunitas organisasi baik secara horizontal maupun vertikal. Lembaga desa sebagai pengejawantah dari wadah interaksi sosial tentu memberi sarana bagaimana masyarakat desa dapat mengaktualisasikan diri dalam ranah kehidupan sehingga terjadi simbiose mutualistik. Hasil tabulasi data sebagaimana tersurat dalam tabel, menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap informasi belum sepenuhnya kondusif. Padahal seperti diketahui, bahwa informasi merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dalam suatu sistem sosial yang terbuka. Akses informasi akan bermamfaat manakala masyarakat membutuhkannya. Dari hasil wawancara ada kesan bahwa “Untuk beberapa informasi penting kadang-kadang ada pihak tertentu yang sengaja menyembunyikan apabila informasi itu dipandang dapat memicu reaksi masyarakat, karena menyangkut hal-hal yang sensitif. Contohnya tidak semua kalangan pengurus lembaga desa mengetahui bagaimana dana bantuan itu diterima dan digulirkan oleh Kepala Desa. Dan bagi masyarakat desa 261 sendiri kadang-kadang tidak begitu mempedulikan apa yang dilakukan oleh pemerintah desa, selama tidak merugikan dan mengusik ketenteraman dan kepentingan mereka. Ini artinya dari aspek keberdayaan sosial kesadaran masyarakat tentang pentingnya akses informasi terhadap sumber-sumber daya dan pelayanan masih dirasakan belum begitu nampak menjadi kebutuhan. Selanjutnya, mengenai keswadayaan masyarakat dalam pembangunan desa, dari hasil tabulasi data , memperlihatkan bahwa keswadayaan masyarakat tersebut terkait dengan jenis/sifat program yang akan dikerjakan. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan responden diperoleh keterangan “Selama ini dirasakan masih ada pandangan keliru dari masyarakat, seolah-olah urusan pembangunan adalah urusan pemerintah. Jika ada bantuan atau pinjaman dari pemerintah dianggap sebagai pemberian hadiah (charity) yang dalam pengelolaanya kadang-kadang kurang terkontrol dengan baik”. Hal ini terungkap dari program-program pembangunan, terutama pembangunan sarana fisik seperti jalan, sarana pendidikan, sarana kesehatan biasanya mereka membantu sebatas tenaga. Itupun bila mereka bekerja biasanya mengharapkan imbalan (materi) walaupun tidak didasarkan pada perhitungan yang wajar. Namun hasil tabulasi data mengenai keswadayaan ini menunjukkan kategori tinggi dengan skor 494. Melalui penelusuran wawancara diperoleh keterangan, bahwa relatif tinggirnya keswadayaan, umumnya lebih banyak pada program-program pembangunan yang bernuansa keagamaan, derajat keswadayaannya masih tergolong tinggi. Sedangkan untuk program-program yang sifatnya proyek, masyarakat desa umumnya menuntut imbalan seperlunya. 262 Kemudian mengenai pemeliharaan nilai gotong royong, dapat dikatakan masyarakat masih memandang sebagai sebuah keniscayaan dalam arti masih dianggap penting. Gotong royong dipelihara sebagai bagian dari proses kehidupan yang memberi mamfaat ketika sumber-sumber daya yang diperlukan semakin langka. Namun , seiring adanya perubahan dan dinamika kehidupan terdapat kecenderungan kesadaran gotong royong masyarakat desa dalam membangun mulai pudar. Dari tabulasi data berada pada kisaran rendah ke sedang. Kendati demikian, dari sisi kerjasama kelompok masih dikatakan cukup kental, mengingat kerjasama kelompok biasanya terfokus pada suatu pekerjaan, urusan tertentu serta adanya saling ketergantungan. Sebagai contoh ketika didesa akan diadakan perbaikan prasarana jalan, jembatan, ibadah, lomba kebersihan, perayaan biasanya masyarakat mengikuti dan aktif dalam kegiatan tersebut. Hanya keterlibatan dalam persoalan yang memerlukan pemikiran, perubahan sebagian besar masyarakat kurang merespon dengan baik . Oleh karena itu, pendekatan terhadap upaya pemberdayaan sosial , harus melibatkan tokoh masyarakat, lembaga dan kelompok-kelompok masyarakat melalui pendekatan keagamaan atau religius. Melalui pendekatan religius, dipandang pendekatan yang lebih “matc” karena kultur dan sikap masyarakat desa di Cianjur yang religius dan paternalistik. Jadi bila tokoh masyarakat (Kiai,Ustadz) mendukung terhadap suatu program/perubahan yang disampaikan pemerintah melalui lembaga desa, maka masyarakat akan lebih mudah menerima pula terhadap program /kebijakan tersebut. 4.3.2.2. Pemberdayaan politik 263 Pemberdayaan masyarakat desa dari dimensi politik, yakni bagaimana para pengurus lembaga desa mampu dengan wewenang yang diberikan mampu melakukan bargaining,memanfaatkan wewenang dan dukungan terhadap program dan pemihakan pada masyarakat. Berdasarkan hasil tabulasi data (P.26-29 ) menunjukkan bahwa dimensi pemberdayaan politik masyarakat berada pada kategori cukup dengan skor 1678. Dengan melihat data di atas, bahwa kondisi keberdayaan politik masyarakat dalam penyusunan dan implementasi program melalui lembaga desa yang diwakili oleh para pemimpin lembaga belum sepenuhnya mampu melakukan bargaining power dengan para pengambil keputusan (decision maker) lembaga supra desa, memanfaatkan wewenang dan pemihakan dalam menggoalkan kepentingan masyarakat. Kemudian mengenai seberapa besar lembaga desa mampu memamfaatkan wewenang yang ada, apakah sudah benar-benar dijalankan dengan optimal, berdasarkan hasil olah data memperlihatkan, masyarakat umumnya memberi tanggapan sangat variatif namun cenderung cukup positip. Bahwa Kepala Desa belum sepenuhnya memamfaatkan wewenang sesuai dengan batas kemampuan yang ada. Kepala Desa sesuai kewenangan yaitu memimpin, membina, mengatur, mengkordinasikan dan memfasilitasi dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan (pasal 14 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005). Sedangkan bidang manajemen pemerintahan dan pembangunan berfungsi merencanakan, menjalankan dan mempertanggungjawabkan kepada pihak-pihak tertentu. 264 Berdasarkan jawaban responden, bahwa lembaga Trimitra desa belum sepenuhnya dapat menjalankan fungsi secara optimal. Adanya perubahan peran dan fungsi kelembagaan desa yang baru belum menunjukkan perubahan kinerja dari lembaga desa terutama menyangkut keberdayaan politik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh pejabat kecamatan : “Perubahan UU tentang otonomi daerah yang berimbas ke desa dalam perjalanannya belum dapat direspon seperti yang diharapkan, kewenangan yang dimiliki lembaga desa, dalam prakteknya kini tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Hanya kini masyarakat memiliki keberanian untuk mengekspresikan sikapnya dalam bentuk unjuk rasa, namun kemampuan untuk menyusun program-program yang betul-betul aspiratif serta “mach” dengan kebijakan pemerintah masih perlu pembinaan lebih lanjut”. Adapun dari segi keaktifan anggota lembaga desa dalam memperjuangkan aspirasi dalam proses pembangunan dipandang positip dengan kategori tinggi . Hal ini dapat dilihat dari semakin aktifnya para pengurus lembaga desa dalam menjalankan fungsinya masing-masing dengan telah menghasilkan berbagai kegiatan, program-program pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Meski diakui tidak semua program yang disepakati dapat terealisasi, mengingat keterbatasan-keterbatasan SDM, dana yang tersedia. Oleh karenanya, dukungan birokrasi sangat penting, tentu dengan fungsi dan peranan yang berbeda dengan era sebelumnya. Peran pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya kekuatan tunggal dalam melakukan perubahan, tetapi lebih sebagai fasilitator, motivator dalam pembangunan. 4.3.2.3. Pemberdayaan Ekonomi Dari dimensi pemberdayaan ekonomi hasil olah data (P.30-33), memiliki variasi nilai yang secara komulatif berada pada kategori cukup. 265 Data di atas memperlihatkan bahwa keberdayaan ekonomi masyarakat desa di Kabupaten Cianjur melalui perolehan bantuan, memanfaatkan untuk melakukan usaha agar daya beli meningkat belum menunjukkan kemampuan seperi yang diharapkan. Dari segi kesempatan mendapat bantuan, baik secara komulatif melalui desa maupun secara individu itu sangat bergantung dari jenis program yang diluncurkan. Ada program bantuan yang bersifat pemerataan artinya diberikan kepada seluruh desa, misalnya seperti program Dana Bantuan Pembangunan Desa (PDBD). Namun ada juga program -program dari pemerintah yang sifatnya selektif, seperti Program Pengembangan Kecamatan, Program IDT dan sebagainya. Sedangkan dari segi kelancaran usaha dan pemanfatan bantuan , hal ini berkenaan dengan kondisi masyarakat desa pada umumnya masih rendah kemampuan jiwa entrepreneur untuk mengusahakan pemamfatan modal, sehingga tidak sedikit pinjaman tidak bisa diusahakan bahkan dikembalikan karena usaha macet atau digunakan untuk keperluan lain yang tidak sesuai dengan sasarannya. Selain itu, pada umumnya usaha diperdesaan, seperti usaha dagang, usaha tani, atau jasa pertukangan biasanya kalah bersaing dengan pengusaha luar yang lebih kuat dan berpengalaman. Menurut penuturan tokoh masyarakat yang duduk dalam seksi perekonomian LPM : “Masyarakat desa pada umumnya memiliki sedikit ketrampilan dan pengalaman dalam usaha dengan skala usaha yang terbatas, usaha seperti ini sangat rentan terhadap persaingan mutu dan harga, gangguan alam seperti puso, masa peceklik, dan minimnya modal usaha, sehingga kendati dari sisi usaha menuntut kerja keras, tapi tetap saja tidak menjamin keberlangsungan usaha ke depan”. 266 Oleh karena itu, pentingnya kelembagaan desa yang membidangi urusan ekonomi masyarakat yakni selain untuk melindungi dari kemungkinan persaingan yang tidak sehat, juga agar usaha mereka tetap survive dengan segala keterbatasannya. Adapun menyangkut daya beli masyarakat di Kabupaten Cianjur, menurut laporan publikasi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Cianjur tahun 2006 menyebutkan “Walaupun secara kuantitas ada peningkatan pendapatan, akan tetapi daya beli riil yang diakibatkan oleh inflasi nilai rupiah termasuk daya beli masyarakat, ternyata belum bisa mendongkrak daya beli masyarakat secara signifikan”. (Bappeda & BPS Kabupaten Cianjur, 2006 : 25). Dari perkembangan 5 tahun terakhir terjadi penurunan tajam setelah tahun 2001, tepatnya Indeks Daya Beli masyarakat tahun 2001 (57,56), tahun 2002 turun menjadi (52,63), tahun berikutnya ada kenaikan tipis yakni tahun 2003 (53,09), tahun 2004 (53,17) dan tahun 2005 (53,86). Jika dibandingkan dengan Indeks Daya Beli kabupaten lain di Jawa Barat, Kabupaten Cianjur masih berada di bawah Jawa Barat, yakni tahun 2005 sudah mencapai (59,18). 4.3.2.4. Pemberdayaan Psikologis Selanjutnya dari dimensi pemberdayaan psikologis, bahwa pemberdayan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh akses masyarakat terhadap sumber-sumberdaya, modal (dana), tapi berkaitan dengan pembentukan perilaku yang sadar akan potensi diri dan daya 267 yang dapat dikembangkan dengan memotivasi ke arah yang lebih baik. Dari dimensi psikologis, pemberdayaan berarti juga bagaimana mengukur sikap masyarakat terhadap perubahan, tanggungjawab terhadap kemajuan lembaga dan program-program yang telah direncanakan, kemandirian dan keyakinan untuk melakukan voice, kontrol untuk kemajuan lingkungan dimana mereka berada. Dari hasil olah data lapangan, hasil perhitungan data deskriptif (P.34-38) menunjukkan nilai skor 2201, ini berarti masuk kategori cukup. Bila dilihat secara cermat tinggi rendahnya pemberdayaan pskilogis ini variatif. Seperti bagaimana sikap masyarakat dalam merespon perubahan , umumnya mereka masih relatif lambat. Hal ini berdasarkan hasil kaji empiris, umumnya masyarakat lambat menerima perubahan, dikarenakan selain mereka tidak memiliki cukup akses terhadap informasi, terbatasnya relasi sosial dengan lingkungan supra struktur, masih lekatnya nilai-nilai tradisional yang kurang kondusif serta sikap depensif (menunggu) terhadap apa-apa yang belum jelas dan terbukti mamfaatnya. Pemberdayaan berarti juga adanya sense of belonging dari warga masyarakat terhadap lembaga desa dan seluruh produk kebijakannya. Rasa memiliki sesungguhnya bisa mengikat manakala aspirasi mereka terakomodasi oleh lembaga-lembaga desa yang ada. Dari hasil olah data sebagian masyarakat merasa bahwa terikat atau tidaknya mereka pada kelembagaan desa yang ada amat tergantung 268 dari citra lembaga desa itu sendiri dimata masyarakat. Citra lembaga desa tercermin seberapa besar lembaga mampu memberi manfaat, menjadi alat penyalur dan memberi layanan pada masyarakat. Selama keberadaan lembaga desa hanya mengurus dirinya dan membuat jarak dengan masyarakat tentu akan berpengaruh pada dukungan pada setiap program/kegiatan yang dibuat. Dari pengamatan di lapangan, tingginya tanggapan masyarakat karena keberadaan lembaga desa kendati belum mampu sepenuhnya memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan dan pembangunan, namun secara umum masyarakat tetap memandang bahwa bagaimanapun lembaga desa secara psikologis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tata kehidupan sosial dalam memperjuangkan, mempertahankan nilai-nilai maupun menyalurkan aspirasi masyarakat. Berdasarkan olah data pada dan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat “Pada umumnya masyarakat senantiasa mendukung terhadap program-kebijakan pembangunan yang dibuat pemerintah, besar kecilnya dorongan mereka untuk mendukung dan berperan aktif sangat tergantung sejauhmana pemimpin (Kepala Desa beserta jajarannya) mau memperhatikan kebutuhan mereka”. 4.4 Pengujian Hipotesis Pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. 269 Dalam uraian ini penulis akan melakukan pengujian secara statistik dari variabel yang diidentifikasikan . Dari hasil perhitungan dengan menggunakan SPSS 15, didapat koefisien korelasi variabel Komunikasi terhadap variabel pemberdayaan masyarakat dengan hasil r = 0,3735, ini berarti terdapat hubungan yang cukup kuat antara dimensi komunikasi dengan pemberdayaan masyarakat. Karena nilai r korelasinya > 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif, semakin
besar nilai dimensi komunikasi maka semakin besar pemberdayaan
masyarakat.
Berdasarkan pengujian dengan menggunakan path analysis
menunjukkan adanya pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan
Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Y). , seperti ditunjukkan dari
hasil perhitungan ternyata diperoleh koefisien sebesar 0,3735,
koefisien determinasinya sebesar 0,2107. Hal ini berarti bahwa 0,2107
proporsi variabel pemberdayaan masyarakat diterangkan oleh variabel
komunikasi, hubungan ini signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Ini
berarti, semakin efektif proses komunikasi akan semakin tinggi pula
derajat pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan.
Temuan ini didukung oleh hasil penelitian Soesilo Zauhar (1984 : 64)
yang menyimpulkan adanya korelasi yang positif antara komunikasi dengan
pemberdayaan masyarakat desa. Inti dari hubungan ini jelas sebagaimana
dikonsepsikan dari tujuan pengembangan lembaga desa, yakni agar organisasi
beserta pembaharuannya dapat diterima dan didukung oleh lingkungan
masyarakatnya. Sedangkan penerimaan ataupun dukungan lingkungan tersebut
270
hanya mungkin terjadi jika adanya proses penyampaian pesan, gagasan atau
pembaharuan yang dihantarkan lembaga desa terhadap lingkungan
masyarakatnya.
Dengan demikian, adanya aliran informasi intra dan ekstra dalam
lembaga desa yang bukan hanya sebagai sasaran instruksi, pembinaan
semata dari pihak pemerintah supra desa, tetapi juga sebagai wahana
penyalur aspirasi dan partisipasi masyarakat (komunakan) secara
timbal balik. Tersedianya umpan balik seperti itu memungkinkan untuk
diketahuinya sikap atau respon dari pihak yang terlibat yang dapat
menimbulkan perubahan persepsi, sikap, tindakan ke arah yang lebih
baik.
271
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah penyusun menguraikan analisis pembahasan dalam penelitian ini,
maka berikutnya akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Komunikasi yang dijalankan oleh pimpinan (kepala desa) dari beberaopa
dimensi yang diukur secara deskripstif menunjukkan hasil yang positif (
tinggi) . Ini menunjukkan bahwa faktor komunikasi pada umumnya telah
berjalan dengan baik, kendati pada beberapa diimensi masih relatif cukup.
2. Pemberdayaan masyarakat sebagai proses perubahan sikap, nilai, dan tindakan
kearah kemandirian dapat ditumbuhkan melalui “proses belajar”, memperoleh
kategori tinggi.
3. Berdasarkan penelitian faktor komunikasi dari sisi proses berdasarkan hasil uji
statistik melalui dimensi kemampuan komunikator, media, pesan, komunikan
dan feed back menunjukan pengaruh signifikan terhadap pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan. Sumbangan faktor komunikasi relatif cukup
berarti, hal ini mengisyaratkan bahwa dalam pemberdayaan masyarakat
diperlukan interaksi dan hubungan kerja timbal balik yang efektif baik secara
internal maupun eksternal dengan berbagai pihak terkait, sehingga setiap
kebijakan dapat diterima, diaktualisasikan kedalam realitas program.
272
5.2 Saran
1. Hendaknya setiap produk-produk lembaga desa berupa usulan program, baik
yang bersifat fisik maupun non fisik benar-benar dipertimbangkan dalam
rapat-rapat koordinasi pembangunan di tingkat atasnya. Pemberian program
dengan model blue print (cetak biru) yang sudah diplot secara detail dan
bersifat uniformitas oleh lembaga supra desa, hendaknya tetap harus
mengindahkan kemampuan dan kebutuhan variasi lokal. Dengan demikian,
nilai dan strategi dari model bottom up planning yang dipadukan dengan top
down planning bukan hanya slogan yang menjurus pada formalitas belaka,
tetapi benar-benar diimplementasikan dalam wujud nyata.
2. Untuk memberi motivasi, semangat dan kerjasama yang baik, guna terbinanya
konsolidasi ke dalam dan ke luar serta menghindari perbedaan persepsi dan
prasangka-prasangka yang timbul dalam masyarakat, sudah sewajarnya
apabila Kepala Desa sebagai dinamisator dan fasilitator dapat menciptakan
suasana keterbukaan dan kebersamaan. Disamping itu, perlu menciptakan
untuk saling pengertian, saling menerima dan memberi, misalnya dalam
bentuk rangsangan (insentif) ataupun penghargaan yang dapat dirasakan oleh
masyarakat sebagai nilai tambah dari pengorbanan dan keikutsertaan mereka
dalam membantu kelancaran, akselerasi dan kesinambungan pembangunan
desa yang bersangkutan.
3. Kemudian bagi para teoritisi, diharapkan adanya pengkajian dan penelitian
lebih lanjut mengenai pemberdayaan masyarakat dalam kaitan dengan faktor
lain yang belum diteliti.
273
DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyid, Harun, 1994, Statistika Sosial, Penyunting : Teguh Kismantoroadji,
Bandung : Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Black, James A., and Dean J. Champion, 1976, Methods and Issues in Social
Research, New York, London, Sydney, Toronto : John Wiley & Sons,
Inc.
Breton, Margot, 1994, Relating Competence : Promotion and Empowerment,
Journal of Progressive Human Services, 5 (1),27-45.
Bryant, Coralie dan White , 1989, Manajemen Pembangunan untuk
Negara Berkembang (terjemahan), Jakarta : LP3ES.
Chambers, Robert, 1988 , Pembangunan Desa: Mulai dari belakang
(terjemahan), Jakarta, LP3ES.
Cohen, John M. & Uphoff ,1977, Rural Development Participation :
Concepts and Measures for Project Design, Implementation and
Evaluation, New York, Ithaca : Cornell University.
Craig,Gary and Mayo, 1993, Community Empowerment A Reader in
Participation and Development, London,Zed Book
.
Combs, Phillip H & Manzoor, 1980, Memerangi Kemiskinan di Pedesaan
melalui Pendidikan Non Formal ( terjemahan ) Jakarta, YIIS.
Davis, Keith, 1979, Human Behavior at Work Organizational Behavior, McGraw-
Hill Publishing Company, Ltd.,New Delhi.
Dubois ,Brenda & .Miley, 1992, Social Work : An Empowering Profession,
Boston : Allyn and Bacon.
Effendy, Onong Uchjana, 1981, Kepemimpinan Dan Komunikasi, Bandung :
Alumni.
____________________, 1989, Human Relations dan Public Relations dalam
Management, Bandung : Alumni.
____________________, 1998, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, Bandung,
Remadja Rosda Karya.
Eko, Sutoro, 2004, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta
: APMD Press.
274
Friedenberg, Lisa, 1995, Psychological Testing ; Design , Analysis, and Use,
Singapore : Allyn and Bacon.
Friedmann, John., 1992, Empowerment : The Politics of Alternative Development,
Cambridge : Blacwell.
Gibson, James L, Ivancevich dan Donnely , 1994, Organisasi dan Manajemen,
Perilaku, Struktur Proses, (terjemahan ) Edisi keempat, Jakarta :
Erlangga.
Hanna, M.G. and Robinson, 1994, Strategies for Community Empowerment :
Direct-Action and Transformative Approaches to Social Change Practice,
New York : The Edwin Mellen Press.
Hawkins, Briant L, Preston, Paul, 1981, Managerial Communication, Santa
Monica California, Goodyear Publishing Company,Inc.
Juwanto, Gunawan, 1985, Komunikasi Dalam Organisasi, Yogyakarta : Pusbang
Manajemen Andi Offset.
Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan
Pertumbuhan & Pemerataan), Jakarta : CIDES.
___________________, 1997, Administrasi Pembangunan : Perkembangan
Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES.
Ndraha, Talizuduhu, 1981, Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Pembangunan Di
Berbagai Desa, Jakarta : Yayasan Karya Prisma.
Prijono, Onny S, Pranarka (ed), 1996, Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan
Implementasi, Jakarta : Centre for Strategic and International Studies
(CSIS).
Rogers, Everett .M &. Shoemaker, 1981, Komunikasi Inovasi, Suatu Pendekatan
Lintas Sektoral, (Terjemahan), Yogyakarta : Kelompok Diskusi UGM.
Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian, 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta
: LP3ES.
Smeltzer, Larry Waltman, John, Leonard Donald, 1991, Managerial
Communication a Strategic Approach, USA, Ginn Press.
Suharto, Edi, 1997, Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial,
Spektrum Pemikiran, Bandung : LSP,STKS.
__________, 2005, Membangun Masyarakat MemberdayakanRakyat : Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Bandung, Refika Aditama.
275
Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan,
Yogyakarta : Gava Media.
Sumaryadi, I Nyoman, 2005, Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom &
Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta, Citra Utama.
Sumodiningrat, Gunawan, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar Offset.
_____________________, 1999, Pemberdayaan Masyarakat & JPS, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Supriatna, Tjahya, 2000, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Jakarta : PT.
Asdi Mahasatya.
Tjokroamidjojo, Bintoro, Mustopadidjaya , 1988, Kebijaksanaan Dan
Administrasi Pembangunan, Jakarta : LP3ES.
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1991, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta :
LP3ES.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 1993, Politik Pembangunan Sebuah Analisis, Konsep,
Arah dan Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana.
____________________, 1999, Pembangunan : Dilema Dan Tantangan,
Yogyakarta : Tiara Wacana.
SUMBER LAINNYA.
Akadun, 2002, Model Keberdayaan Aparatur Birokrasi Dalam Rangka
Efektivitas Penyelenggaraan Pelayanan Pemerintah di Kabupaten
Bandung, Bandung, Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran.
Menko Kesejahteraan Rakyat RI , 2006, Sambutan pada Seminar Wokrshop
Nasional: “Transformasi kebijakan Publik dan Bisnis dalam upaya
Memecahkan Problem Kemiskinan di Indonesia, Kerjasama Fisip Unpar
dan Badan Kerjasama Lembaga Pengembang Ilmu Adm.se-Indonesia,
Makalah, Bandung.
Rusidi, 1996, Metodologi Penelitian (Diktat Kuliah), Bandung : Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Peraturan Perundangan dan Dokumen Lainnya
276
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta.
Peraturan Pem. RI Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa , Jakarta, CV Citra Utama.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004- 2009, Jakarta,
Sinar Garfika .
Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2001, Rencana Strategis Badan
Pemberdayaan Masyarakat Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun
Anggaran 2001-2005, Bandung.
Pemerintah Daerah Cianjur, Program Pembangunan Daerah 2001- 2005
Kabupaten Cianjur.
Keputusan Bupati Cianjur Nomor 28 Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Lembaga
Kemasyarakatan di Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 08 Tahun 2002 Tentang Rencana
Strategis Kabupaten Cianjur.
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 6 tahun 2006, Tentang Organisasi
dan Tata Pemerintahan Desa
277
L A M P I R A N
Angket
PENGARUH KOMUNIKASI
TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAAN
di Kabupaten Cianjur
_______________________________________________
Petunjuk pengisian :
1. Berilah tanda silang (X ) pada jawaban yang sesuai dengan pendapat
Bapak/Ibu atau kenyataan yang sebenarnya.
2. Kami mohon semua pertanyaan dapat diisi
3. Lembaga desa disini yakni yg tergabung dalam Tri-mitra
(Pemdes,BPD,LPM)
Identitas responden
Nomor responden : …………………………..
Umur : ……. tahun
Jenis kelamin : laki-laki / Perempuan *)
Pekerjaan tetap : ………………………………..
Unsur Lembaga Desa : Pemdes /BPD /LPM *).
Jabatan : …………………………
Pendidikan Terkhir : SD/ SLTP/ SLTA/ D-3/ S-1/ S-2 *)
Pelatihan yang pernah diikuti : …………………………….
===================================================
VARIABEL : KOMUNIKASI
I. Dimendi Kemampuan komunikator
1. Kepala desa selama ini karena kesibukannya, sehingga tidak semua
pesan/informasi dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
2. Dengan banyaknya tuntutan atau keluhan masyarakat, selama ini kepala
desa nampaknya kurang begitu respon dalam mengatasi masalah tersebut.
278
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
3. Dalam menarik simpati masyarakat untuk melakukan perubahan, apakah
kepala desa senantiasa ikut terjun langsung dalam menghadapi hal
masalah yang dihadapi selama ini ?
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
4. Dalam memecahkan masalah pembangunan desa,apakah Kepala desa suka
mempertemukan antara masyarakat dengan pejabat yang berwenang. ?
a. Selalu d. Jarang sekali
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
B.Dimensi Pesan
5. Dalam penyampaian informasi atau pesan-pesan pembangunan yang
disampaikan Kepala Desa, sering menimbulkan berbagai kesalahpahaman
? Apakah itu dirasakan Bapak/Ibu.
a. Selalu d. Jarang/hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
6. Dalam penyampaian pesan –pesan pembangunan melalui berbagai forum
pertemuan, bisanya Kepala desa dalam penyampaiannya senantiasa
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat .
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
7. Setiap pesan-pesan pembangunan/kebijakan yang baru selama ini
masyarakat belum merasakan mamfaatnya .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
C. Dimensi Media
8. Dalam mengadakan pendekatan kepada masyarakat oleh Kepala Desa ,
apakah suka dilakukan secara informal (melalui anjang sana atau
mengajak bicara secara pribadi, misalnya) ?
a. Selalu d. Jarang sekali
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
279
9. Menurut Bapak/Ibu apakah forum pertemuan (seperti pengajian) ,apakah
digunakan dalam menyampaikan pesan oleh Kades ?
a. Selalu d. Jarang
b. Sering e. Hampir tidak pernah
c. Kadang-kadang
10. Forum pertemuan dengan para tokoh masyarakat , apakah sering dilakukan
oleh kepala desa ?
a. Selalu d. Jarang
b. Sering e. Hampir tidak pernah
c. Kadang-kadang
11. Dalam melakukan hubungan kerja keluar, apakah memamfaatkan jaringan
hubungan kerja melalui forum-forum lain (paguyuban,asosiasi) ?
a. Selalu memamfaatkan d. Hampir tidak memanfaatkan
b. Sering memamfaatkan e. Tidak pernah memanfaatkan
c. Kurang memamfaatkan
12. Selain pesan atau informasi pembangunan yang diterima dari para pejabat
yang berwenang, apakah Bapak/Ibu sering memanfaatkan dari sumber
media massa (TV, Radio) ?
a. Selalu d. Jarang sekali
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
D. Dimensi Komunikan
13. Dalam menerima setiap perubahan kebijakan, bagaimana kemampuan
lembaga desa dalam menanggapi terhadap perubahan tersebut .
a. Selalu merespon dengan baik d. Hampir tidak pernah
b. Sering merespon e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
14. Selama ini perubahan - perubahan yang terjadi di lembaga -lembaga desa
nampaknya sangat lambat. Setujukah dengan hal tgersebut .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
15. Apakah hubungan yang dilakukan Kepala Desa dengan
organisasi/lembaga sosial lain yang selevel (BPD,LPM, PKK, LSM)
nampak banyak menemui kesulitan ?
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
16. Dengan keadaan desa yang tersebar ke berbagai pelosok , apakah
hubungan kerja dengan pemerintah tingkat atasnya banyak menghadapi
hambatan (kesulitan) ?
280
a. Sangat menghambat d. Tidak menjadi hambatan
b. Menghambat e. Tidak menghambat sama sekali .
c. Cukup menghambat
E. Dimensi Umpan balik
17. Bagaimana dukungan lingkungan masyarakat terhadap langkah-langkah
yang dilakukan lembaga–lembaga desa yang ada ?
a. Selalu mendukung d. Hampir tidak pernah mendukung
b. Sering mendukung e. Tidak pernah mendukung
c. Kadang-kadang mendukung
18. Dalam memecahkan persoalan pembangunan di desa, menurut
pengalaman apakah ada suasana dialogis (saling bertukar pikiran) antara
Kepala Desa dengan semua elemen lembaga yang ada termasuk tokohtokoh
masyarakat desa ?
1. Ya, selalu d. Jarang sekali
2. Sering e. Tidak pernah
3. Kadang-kadang
19. Dalam acara penyampaian informasi atau laporan pertanggung jawaban,
sudah tercermin adanya suasana keterbukaan/saling pengertian ?
a. Sangat setuju d. Kurang setuju
b. Setuju e. Tidaka setuju
c. Ragu-ragu
20. Dari hasil musyarawarah yang telah disepakati , bagaimana tindaklanjut
dari setiap permasalahan yang dihadapi .
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering; e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
VARIABEL PEMBERDAYAAN
A. Dimensi Sosial
21. Selama ini masyarakat masih merasa sulit memperoleh informasi yang
diperlukan dalam rangka ikut mengontrol kinerja pemerintah desa.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
22. Menurut Bapak/Ibu, apakah selama ini masyarakat mendapat
kemudahan memperoleh layanan dari pemerintah sesuai dengan harapan
a. Sangat sesuai d. Tidak sesuai
b. Sesuai e. sangat tidak sesuai
c. Kurang sesuai
281
23. Bila diperhatikan apakah bantuan yang diberikan pemerintah baik dana
maupun teknis sudah mampu memancing swadaya masyarakat yang
lebih besar ?
a. Sangat mampu d. Tidak mampu
b. Mampu e. Sama sekali tidak mampu
c. Kurang mampu
24. Dengan adanya perubahan pengaturan/kebijakan tentang lembaga desa
(Pemdes,LPM,BPD) tidak berdampak positip pada tatanan gotong
royong masyarakat .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
25. Menurut Bapak/Ibu, dengan perubahan kebijakan ,apakah lembaga desa
lebih memperlihatkan kemampuan kerjasama secara sinergis dengan
lembaga supra desa (Kec/Pemda ) ?
a. Sangat mampu d. Kurang mampu
b. Mampu e. Tidak mampu
c. Cukup mampu
Dimensi Politis
26. Dari pengamatan Bapak/Ibu, para pengurus lembaga desa semakin
mampu untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
27. Menurut pendapat Bapak/Ibu apakah keberadaan lembaga desa dalam
menjalankan fungsi & wewenangnya telah sesuai dengan apa yang
diharapkan ?
a. Sangat sesuai d. Kurang sesuai
b. Sesuai e. Tidak sesuai
c. Cukup sesuai
28. Seberapa besar peranserta aktif masyarakat untuk menjalankan program
pembangunan desa melalui wadah kelembagaan desa yang ada ?
a. Sangat aktif d. Tidak aktif
b. Aktif e. Sangat tidak aktif
c. Kurang aktif
29. Selama ini , program bantuan pemerintah dalam pelaksanaannya kurang
menyentuh kepada kelompok warga yang miskin.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
282
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
Dimensi ekonomis
30. Adanya bantuan-bantuan dari pemerintah .menurut pengalaman dari sisi
pemanfaatan masih belum sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai .
a. Sangat setuju d. Kurang setuju
b. Setuju e. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
31. Bagaimana kemampuan lembaga desa dapat merealisasikan bantuan atau
program yang diperoleh dari pemerintah tingkat atasnya?
a. Sangat mampu d. Tidak mampu
b. Mampu e. Sangat tidak mampu
c. Kurang mampu
32. Menurut Bapak/Ibu, seberapa besar program-program pembangunan telah
dirasakan warga masyarakat untuk kelancaran berusaha .
a. Sangat dirasakan d. Tidak dirasakan
b. Dirasakan e. Sangat tidak dirasakan.
c. Kurang dirasakan
33. Dengan program bantuan pemerintah, kondisi daya beli masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan belum ada kemajuan berarti .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju.
c. Ragu-ragu
Dimensi Psikologis
34. Bagaimana umumnya sikap masyarakat terhadap upaya-upaya inovasi
yang disampaikan pemerintah melalui lembaga di tingkat desa. ?
a. Sangat lambat d. Cepat
b. Lambat e. Sangat cepat
c. Agak lambat
35. Dengan perkembangan pembangunan yang semakin cepat berubah ini,
seberapa besar kemampuan Lembaga desa dalam menselaraskan dengan
tuntutan-tuntutan tadi ?
a. Umumnya mampu menyelaraskan a. Kurang mampu
b. Sebagian mampu b. Tidak mampu menyelaraskan
c. Sebagian kecil
36. Dengan posisi Bapak/ Ibu dalam kepengurusan lembaga desa saat ini,
dirasakan tanggungjawab semakin bertambah .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
283
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
37. Apakah ada kesan selama ini, bahwa pemerintah desa beserta lembaga
desa lainnya masih terlalu banyak menggantungkan diri dari uluran
tangan pemerintah ?
a. Selalu tergantung d. Tidak begitu tergantung
b Sering tergantung e. Tidak tergantung
c Kadang-kadang
38. Apakah Bapak/Ibu yakin dengan perkembangan peranan lembaga desa
seperti ini kemajuan pembangunan desa ini akan segera dapat dicapai ?
a. Sangat yakin d. Tidak yakin
b. Yakin e. Sangat tidak yakin
c. Kurang yakin
==== Terima kasih ====
0 comments:
Posting Komentar